Menimbang Calon Pengganti Ranieri di Kursi Panas Leicester



Guus Hiddink (kanan) saat masih menjadi pelatih Chelsea bersama Claudio Ranieri/BBC.com

Melihat tabel klasemen Liga Primer Inggris hari ini, Leicester City sudah turun satu strip ke zona degradasi. Si Rubah Biru berada secara bertolak belakang dengan musim lalu di saat-saat seperti ini. Dengan 21 poin,  Jamie Vardy dan kolega berada di area merah yang sama dengan Hull City yang mengemas jumlah poin yang sama serta Sunderland di urutan buncit dengan dua poin lebih sedikit.

 Leicester masih bisa keluar dari ancaman degradasi setidaknya bisa langsung melompat naik dua tangga , melampaui Crystal Palace dan Middlesbrought yang juga berada dalam ancaman degradasi. Hal itu bisa terjadi bila satu laga di tangan, dibandingkan tim-tim lain yang sudah memainkan 26 pertandingan, berakhir dengan tiga poin. 

Tantangan untuk mendapat tiga poin benar-benar sulit. Tim yang akan dihadapi pada dini hari 28 Februari nanti adalah Liverpool, pemilik peringkat lima. Berbeda dengan Leicester, kondisi Liverpool jauh lebih baik sehingga mendapatkan tiga poin bukan pekerjaan mudah.

Misi sulit itu berpelukan dengan tantangan lain yang sedang dihadapi sepeninggal Claudio Ranieri. Pelatih asal Italia yang baru saja ditendang keluar dari King Power Stadium itu sedang dicarikan penggantinya.

Tidak sulit memang mendapatkan pelatih baru saat ini karena stok pelatih mumpuni melimpah. Uang dan lobi bisa menyelesaikannya. Namun, apakah dengan itu persoalan Leicester langsung beres? Dalam hitungan hari dan bulan Leicester bisa langsung terselamatkan?

Pada titik ini, para pengganti Ranieri akan berpikir dua kali. Di satu sisi uang dalam jumlah besar akan masuk ke kantung pribadi, tetapi di sisi lain nasib serupa Ranieri selalu datang membayang kapanpun. 

Ah, biarkan pertimbangan itu menjadi urusan yang bersangkutan. Mari kita prediksi siapa saja calon pengganti Ranieri , sia tua malang itu, setidaknya untuk menahkodai The Foxes di 13 laga sisa musim ini.
Nama Roberto Mancini disebut-sebut oleh banyak media Inggris sebagai salah satu bidikan. Pelatih asal Italia ini pernah mengkukir sejarah indah di Liga Inggris, mempersembahkan gelar pertama bagi Manchester Biru dalam 44 tahun pada 2012 silam. 

Pelatih 52 tahun itu tercatat pernah merasakan seragam Leicester City  sebagai pemain pinjaman pada 2001. Ia sempat tampil empat kali. Setelah meninggalkan kursi pelatih Inter Milan pada musim panas tahun lalu, Mancini praktis tidak memiliki kesibukan apapun. 

Bila datang tawaran kembali ke Liga Inggris tentu sesuatu yang sulit untuk ditolak. Karakternya yang kuat terutama saat berada di ruang ganti menjadi nilai tambah untuk melecut semangat para pemain Leicester. Namun karakter meledak dan berapai-api ini bisa saja menjadi bumerang karena mudah menyulut disharmoni. Dan bila tak terkendalikan, bukan tidak mungkin nasibnya akan seperti karibnya Ranieri.

Pelatih hebat lain yang sedang lowong adalah Guus Hiddink. Pria Belanda berusia 70 tahun itu, seperti tergambar dari usianya, adalah sosok berpengalaman menangani tim-tim besar.

Salah satu keunggulan Hiddink adalah kemampuannya menciptakan ruang ganti yang harmonis dengan menjaga interkasi yang hangat sebelum, selama dan setelah pertandingan berlangsung. Bahkan mantan pelatih Real Madrid ini mampu menenangkan ruang ganti bermasalah seperti yang dilakukannya di Chelsea pada 2009. Hasilnya adalah Piala FA, dan semi final Liga Champions.

Meski kaya pengalaman kepelatihan, Hiddink sepertinya belum terbiasa, untuk mengatakan memilii pengalaman, membangunkan kembali tim yang benar-benar tengah terpuruk seperti Leicester di zona merah.

Mungkin saja mantan pelatih timnas Inggris, Roy Hodgson menjadi pilihan tepat. Tantangan berat pertama adalah merebut hati fans Leicester yang telah jatuh cinta dengan Ranieri. Ditambah lagi masyarakat Inggris belum benar-benar melupakan nasib naas tim nasional mereka di Euro 2016 lalu yang membuat Roy akhirnya memilih mundur.

Tetapi ada hal penting yang patut diingat. Dibanding para pelatih yang disebutkan sebelumnya, dan mungkin beberapa nama lagi, Roy punya pengalaman menghadapi tim dengan situasi seperti Leicester. 
Roy Hodgson dan Nigel Pearson (kanan)/BBC.com
Itu terjadi saat membesut Fulham. Roy ditunjuk pada Desember 2007, saat tim tersebut bertengger di urutan ke-18, berjarak dua poin dari zona nyaman sebagai hasil dari dua kemenangan yang berhasil diraih. Selain menyelamatkan klub tersebut, Ia juga sukses mengangkatnya ke level Eropa. Tampil di final Liga Europa tak lama setelah bangun dari keterpurukan.

Roy adalah sosok berpengalaman dan tidak kurang pula rasa percaya dirinya. Mungkin saja kedua hal itu menjadi formula yang pas untuk Leicester.

Masih ada beberapa kandidat lain yang patut disebut. Ada Frank de Boer yang lebih dulu mengalami nasib serupa Ranieri setelah menduduki kursi pelatih Inter Milan selama 85 hari. Pria Belanda itu pernah punya pengalaman melatih klub Belanda Ajax Amsterdam setelah sebelumnya malang melintang di sejumlah klub, salah satunya raksasa La Liga, Barcelona.

Selain itu pelatih bernama lengkap Franciscus de Boer pernah mengutarakan keinginannya untuk berkarir di Inggris, salah satu kompetisi yang belum pernah dijamahnya. Namun ada informasi bahwa Leicester City bukanlah tim yang ia bidik.

Seperti de Boer, begitu juga Alan Pardew. Ia dipecat Crystal Palace pada Desember lalu setelah mengalami situasi yang sama seperti Ranieri. 

Berbeda dengan  de Boer dan Pardew sebagai “orang luar”, pemilik Leicester bisa membidik beberapa “orang dalam” yang memiliki pengalaman dengan klub tersebut. Martin O'Neill, pelatih Irlandia memiliki kenangan manis bersama Leicester sejak 1995 hingga 2002. Selama masa itu, pria yang kini berusia 64 tahun itu pernah membawa Leicester merasakan kompetisi tertinggi di Negeri Ratu Elizabeth dan dua kali memenangkan Piala Liga.

Bila kembali ke King Power Stadium ia bakal disambut sebagai pahlawan. Pengalaman masa lalu amat membantunya mengendalikan ruang ganti dengan dukungan penuh dari luar lapangan.

Namun tidak mudah bagi Leicester mendapatkan O’Neill. Ia masih menikmati karir internasional dan memiliki “utang” mengantar Irlandia ke Piala Dunia 2018 di Rusia. Ia tak ubahnya orang benar namun di waktu yang salah.

Bila bukan O’Neill masih ada Nigel Pearson. Ia adalah sosok yang menyelamatan Leicester dari degradasi dua tahun lalu. Kerja kerasnya membuka jalan bagi Ranieri untuk mencapai klimaks. Namun ada hal penting yang harus diubah, menyesuaikan prinsip pribadi dengan keinginan klub. Hal ini perlu diperhatikan agar pengalaman dipecat tahun 2015 tidak terulang lagi.
Craig Shakespeare/BBC.com
Calon lain adalah Craig Shakespeare. Ia adalah pelatih ad interim yang bertanggung jawab selama pelatih definitif belum ditentukan. Pria 53 tahun ini diboyong Pearson dan menjadi bagian penting dari kesuksesan Ranieri musim lalu. Bukan tidak mungkin statusnya akan dinaikan bila dalam beberapa hari ini mampu menunjukkan tanda-tanda positif, setidaknya-bila belum ada pelatih terpilih-saat menghadapi Liverpool. 

Dari nama-nama di atas, siapakah sosok terbaik untuk menempati kursi panas Leicester? Kita tunggu saja hadirnya orang pilihan di waktu yang benar-benar tidak enak ini.

Referensi: BBC.com

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 26 Februari 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/menimbang-calon-pengganti-ranieri-di-kursi-panas-leicester_58b2aff26223bd63084debf4 

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing