Politik Sepak Bola Jokowi

Jokowi bermain futsal bersama sejumlah pejabat tinggi negara dan beberapa wartawan istana/@seskab


Jangan pernah meremehkan kekuatan olahraga. Dunia yang satu ini memiliki kekuatan maha dahsyat. Ia bisa menceraiberaikan, mengubah kawan jadi lawan. Ia bisa juga bergerak ke arah berlawanan. Mengikatsatukan serba perbedaan. 

Sepak bola menjadi contoh paling nyata untuk dua hal ini. Berbeda klub pujaan tidak hanya memantik olok-olokkan, bisa saja meluas menjadi fanatisme yang menundukkan segala pertimbangan termasuk akal sehat. Kadang kita sulit membayangkan orang bisa sampai mengorbankan banyak hal mulai dari waktu, tenaga hingga nyawa demi dan atas nama sepak bola.

Di sisi berlawanan, sepak bola mengikatsatukan berbagai unsur dan identitas. Serba perbedaan melebur, batas-batas tak berbekas, semua menyatu dalam euforia, histeria, melankolia hingga duka lara. Saat tim nasional Indonesia tampil, seluruh penghuni bumi pertiwi satu suara dan kompak mendukung dalam nada yang sama. 

Di stadion, orang-orang yang dalam keseharian harus berjarak karena alasan profesi dan gengsi, bersatu. Di sana yang kaya dan miskin berkumpul, politisi dan rakyat biasa bersatu, wali kota terpandang dengan senang hati duduk sebelah menyebelah dengan remaja-remaja labil. Semua tanpa komando, tanpa ajakan, apalagi perintah, serentak memekikkan yel-yel dan larut dalam berbagai ekpresi spontan.
Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil di antara suporter timnas Indonesia saat leg pertama final Piala AFF 2016/pikiran rakyat
Melalui olahraga pula seseorang  pun bisa mendapatkan pengakuan. Seseorang yang berangkat dari latar belakang sosial dan geografi tertentu, setelah menjadi atlet atau olahragawan lambat laun mencuri perhatian, diperhatikan hingga dielu-elukan seiring prestasi dan kebanggaan yang dipersembahkan. Bisa saja orang-orang seperti ini adalah pengecualian dari kelompok atau identitas tertentu, namun jelas tak terbantahkan seiring prestasi yang diraih, berbagai pengakuan dan penghargaan akan mudah didapat. 

Bisa jadi tidak akan lebih dari masyarakat Papua yang mengenalnya seandainya Boaz Solossaa tidak lahir dengan bakat sepak bola yang luar biasa. Begitu juga tidak akan banyak yang mengenal Yabes Roni Malaefani bila ia tidak tampil camerlang bersama timnas U-19 selain sekelompok orang nun di salah satu pelosok di Nusa Tenggara Timur. 

Saat keduanya mengenakan seragam timnas dan memberikan andil dalam permainan, perlahan-lahan perhatian masyarakat Indonesia tersedot. Kemudian dari rasa penasaran dan ingin tahu itu, berubah jadi pengakuan, lantas mewujud untaian-untaian harapan dan dukungan. Saat pagelaran Piala AFF 2016 lalu tidak hanya rekan-rekan setim, seluruh masyarakat Indonesia dengan berbagai cara memberikan semangat kepada Boaz dan dengan multicara pula menggantungkan harapan kepada sosok hitam dan keriting itu. Saat Boaz mulai kehilangan gairah dan tenaganya semakin berkurang, sendi-sendi di tubuh para penonton serasa ikut melemah. 

Begitu juga olahraga memberikan kehidupan. Beragam ganjaran yang diperoleh dari dunia tersebut. Banyak atlet kemudian tidak hanya mencukupkan kebutuhan dan impian pribadi, juga turut menghidupkan keluarganya dan membantu banyak orang. Banyak cerita bisa jadi contoh bagaimana olahraga mampu mengobah seseorang dari tidak punya apa-apan menjadi memiliki apa-apa. Dari semula sederhana dan miskin papa menjadi kaya raya.

Olahraga pula yang membuat Aprilia Manganang, pevoli putri tomboi mampu menghadirkan rumah pribadi bagi orang tuanya di Manado, Sulawesi Utara. Sebelumnya Aprilia merasakan betapa getir dan pahitnya masa kecilnya sebagai penjual makanan, dan betapa susahnya hidup keluarganya yang mendapatkan penerangan dengan mengandalkan belas kasihan tetangga. 

Olahraga itu yang membuat Wayne Rooney berubah dan mengubah masa lalunya yang keras dan susah di suburban Liverpool bernama Croxteth menjadi sarat kemewahan. Karena profesi yang sama pula Luis Suarez bisa mendapatkan apa saja hari ini. Ia bisa membeli beribu-ribu pasang sepatu, hal mana yang sangat mahal dan tak terjangkau saat ia berusia 5 tahun di Salto, Uruguay. Berkat kepiawaian mencetak gol, trisula Barcelona bersama Neymar dan Lionel Messi itu bisa melengkapi diri dengan apa saja, tidak seperti masa kecilnya yang papa.

Olahraga itu pula yang mencetak sejarah, bahkan mengubah sejarah sebuah bangsa. Banyak contoh bagaimana olahraga mampu menjadi alat perlawanan terhadap penindasan dan penjajahan. Dengan olahraga pula sebuah bangsa yang kalah secara ekonomi dan ketiadaan pengaruh politis, bisa bergaul dan balik “menjajah” para raksasa. 

Sulit mendapatkan cara yang pas untuk mengggambarkan cara negara seperti Jamaika bisa membusungkan dada dan berjalan di depan Amerika Serikat kalau bukan karena atletik. Begitu juga dalam arti sempit Indonesia di hadapan Belanda melalui bulu tangkis. Bila dahulu Indonesia tak berdaya selama 350 tahun lamanya, kini di mata Indonesia kekuatan bulu tangkis Belanda bak kekuatan militer Taiwan di mata Tiongkok.

Bila diperinci lebih jauh, masih sangat panjang betapa besar pengaruh olahraga di dunia. Secara pribadi ia bisa mengubah nasib seseorang tidak hanya secara finansial juga politis. Seorang Harry Haft bisa lolos dari kamp konsentrasi Auschwitz karena tinju. Bila bukan karena tinju, seperti dituturkan Reinhard Kleist dalam novel grafisnya berjudul Sang Petinju (2015), Harry bakal tinggal nama seperti sanak saudaranya di Polandia. 

Bola di mata Jokowi
Belum berapa lama kita mendapatkan aksi nyentrik dan menghibur Joko Widodo di stadion sepak bola di Sleman, Yogyakarta. Saat membuka turnamen Piala Presiden, orang nomor satu di negeri ini terlihat begitu ceria dan bersemangat. Ia sangat menikmati pertandingan dan larut dalam euforia seperti para penonton. Kegembiraan itu semakin jelas terlihat dari peredaran rekaman video atau vlog yang diunggah di jejaring facebook dan kemudian beredar luas di jejaring sosial.

Potongan-potangan rekaman itu mendatangkan beragam tanggapan. Sebagian besar terhibur, seperti halnya Jokowi di pertandingan itu, melihat orang penting di negeri ini bisa tersenyum lebar. Di tengah situasi masyarakat yang tengah terpolarisasi karena sejumlah isu primordial dan sentimen sektarian, kegembiraan yang dipancarkan sang pemimpin serentak memberikan ketenangan dan keteduhan bagi masyarakat. Kalangan yang merasa terganggu dengan aksi saling tuduh, hujat, serang, dan menjatuhkan, mendapatkan penawar. Dan apa yang ditunjukkan Jokowi menggaransi situasi batinnya yang tetap bersemangat menahkodai republik ini tanpa terpancing apalagi termakan rupa-rupa sentimen itu.

Lebih dari itu, cara Jokowi turun langsung ke lapangan, seperti halnya para pendahulunya, menggambarkan pendekatan kerakyatan yang khas. Tidak hanya menyapu dikotomi vertikal karena status dan pangkat, juga menjadi sebentuk keteladanan untuk merayakan serba perbedaan. Seperti dikatakan di atas, arena pertandingan adalah kawah yang meleburkan segala. 
Jokowi sedang mengolah bola futsal/tribunnews.com
Bukan ini saja metode pendekatan kerakyatan ala Jokowi. Selain olahraga, Jokowi juga memanfaatkan kesempatan makan bersama untuk merangkul yang sedang berselisih, menyelesaikan masalah yang tengah mengemuka, hingga menawarkan solusi dan kebijakan yang bisa saja mendatangkan pertentangan bila disampaikan melalui mimbar. Siapa saja, bahkan beberapa dari kalangan yang sebelumnya nyaris tak bisa menyentuh pagar istana, dipanggil dan dirangkul dalam satu perjamuan. Bagi Jokowi meja makan adalah juga tempat berdiskusi, mencurahkan isi hati, mencairkan suasana dan menemukan solusi. Termasuk untuk soal-soal  genting bisa cair melalui makan bersama. Masih ingat kan beberapa politisi atau tokoh berpengaruh pernah diundang makan bersama Jokowi di Istana saat tensi bangsa sedang tinggi?

Hari-hari ini seiring waktu pemungutan suara gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta semakin mendekat, situasi bangsa semakin tak menentu. Segala lini mulai dari dunia nyata hingga dunia maya sarat pertarungan. Antara sedih, prihatin, tegang dan takut di satu sisi serta geli dan lucu di sisi lain, mengisi sanubari masyarakat Indonesia umumnya dan Jakarta khususnya. 

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mengisi Hari Pers Nasional (HPN) kali ini, Jokowi malah mengajak para pembantunya, mulai dari menteri, panglima TNI hingga Kapolri terjun ke lapangan futsal. Segala formalitas dan basa basi ditanggalkan, selanjutnya dengan berpakaian olahraga menjajal kekuatan para wartawan istana. Di salah satu lapangan futsal di Kelapa Gading, Jakarta Utara, mereka bekerja sama memperebutkan satu bola dan berusaha memasukan bola tersebut ke gawang lawan.

Jokowi, entah apa reaksi Anda ketika melihatnya berkostum sepak bola, hanya sanggup bermain tujuh menit. Namun 210 detik itu mengirim banyak pesan. Ketika mimbar, ruang pertemuan dan layar televisi disarati ketegangan, dan lini-lini sosial media tak lebih dari panggung sandiwara, lapangan futsal menjadi tempat penghiburan yang otentik. Ruang pelepas segala tekanan dan beban. 

Tidak hanya para petinggi negara yang diajak bersantai, keikutsertaan wartawan-dan pas di hari khususnya-juga dimaksudkan untuk mencairkan suasana. Tidak hanya para petinggai negara yang diharapkan mampu mendapatkan energi dan kesegaran baru, para wartawan pun bisa memainkan peran untuk memecah aneka kebekuan dan ketegangan dengan informasi dan pemberitaan yang benar-benar berimbang, mencerahkan dan meneduhkan. Aura baru dari lapangan futsal itu diharapkan menghinggapi para petinggi negara, tersalurkan melalui media kepada seluruh rakyat Indonesia.

Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 10 Februari 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing