Sudahkah Anda Menyiapkan Hari Tua yang Bahagia?



Ilustrasi hari tua/liputan6.com

Tidak semua orang sudah tahu dan sadar akan apa yang akan terjadi saat dirinya sudah tidak produktif lagi. Masa di mana tubuh tak bisa diajak bekerja keras, pikiran dan tenaga tak bisa lagi diperas seperti saat-saat sebelumnya. Waktu yang sejatinya untuk menikmati hasil kerja dan perjuangan di tahun-tahun sebelumnya. Itulah masa tua dalam arti fisiologis, atau masa pensiun dalam terminologi ketenagakerjaan. 

Meski di masa tua masih memungkinkan bekerja dan beraktivitas, dan setelah masa pensiun masih bisa berproduksi, seperti misalnya mereka yang pensiunnya dipercepat, ada saatnya ketika segala aktivitas itu mencapai titik batas. Masa ketika kita tidak bisa mengandalkan kemampuan dan kekuatan sendiri. Saat ketika kita dihadapkan pada dua pilihan: membiarkan diri menanggung segalanya sendiri atau ditanggung oleh orang lain. 

Setiap orang tentu ingin masa tuanya tidak menjadi beban bagi orang lain, entah itu keluarga dekat seperti anak dan cucu, atau pihak di luar garis keluarga. Sebaliknya melewati hari-hari dengan ketenangan dan kebahagiaan karena terlepas dari segala beban pertimbangan dan perasaan karena telah menyusahkan dan merepotkan orang lain. Malah mengharapkan ketercukupan dari jerih dan lelah selama masa produktif. Kalau bisa menjadi saat memanen hasil perjuangan yang tidak hanya dinikmati sendiri tetapi juga oleh orang-orang terdekat. 

Dua situasi ini siap menanti siapa saja yang akan bergerak ke masa-masa itu. Tinggal saja bagaimana kita menjalani masa sekarang untuk menentukan akan seperti apa kita di masa datang. Banyak pengalaman dalam kadar berbeda-beda yang berkisah tentang indahanya masa tua dan masa pensiun, begitu juga betapa perih dan menyakitkan masa-masa itu. 

Saya sendiri mendapatkan kenyataan pada ayah saya, seorang pensiunan pegawai negeri sipil yang hidup berkecukupan. Dengan uang pensiunannya, yang tentu tak seberapa jumlahnya bahkan kurang dari separuh gajinya saat masih aktif bekerja, ayah bisa  mencukupkan hidupnya sendiri di sela-sela kesibukannya bercocok tanam dan memelihara ternak. 

Saya menyadari situasi ini mungkin terjadi setelah memastikan semua anaknya telah mandiri. Cerita akan berbeda bila dengan uang pensiunan seadanya ia harus berbagi untuk dana pendidikan dan kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Belum lagi bila ada kebutuhan tak terduga seperti hajatan, kematian, atau bepergian ke tempat lain. Itu belum terhitung anggaran liburan, meski baginya liburan dan hiburan itu sudah tergerai di petak kebun dan kandang ternak. 

Cerita bisa menjadi sangat menyayat hati ketika mendapati masa tua seperti kisah sejumlah atlet atau olahragawan ini. Selepas masa keemasan antara tahun 1975-1982, Wongso Suseno harus menjalani masa tua bergelimang beban. Bukan nama besar sebagai juara dunia tinju di kelas Welter (63 kg) yang menghidupinya, tetapi keterpurukan dengan medali emas pemberian mantan Menpora Abdul Gofur dan Penghargaan Satya Lencana dari mantan Menpora Akbar Tandjung sebagai barang paling berharga.

Tak jauh beda seperti Wongso, Hapsani sampai harus melego medali perak nomor lari estafet yang diperoleh di SEA Games 1983  ke pasar loak untuk mendapatkan biaya makan. Bahkan lebih miris lagi kisah Rachman Kili-kili, mantan petinju hebat yang mengakhiri hidup dengan gantung diri karena tak kuasa menanggung beban hidup. 

Tentu kita tak ingin kisah-kisah miris itu mengular panjang. Tetapi untuk mencapai situasi yang ideal di masa tua tidak gratis, alias ada harga yang harus dibayar di masa muda, saat masih produktif.

Rachman Kili-kili/boxing Indonesia
Jembatan negara

Ada banyak versi, dan tentu saja subjektif, terkait masa tua yang yang ideal. Bahagia dan tenang seperti disinggung sebelumnya tentu saja, di samping bisa bermanfaat bagi orang lain. Namun kebahagiaan itu disyaratkan oleh banyak kondisi. Beberapa dari antaranya misalnya memiliki passive income atau penghasilan yang tidak mengharuskan bekerja. Selain itu mempunyai tabungan yang cukup dengan takaran yang tentu saja berbeda-beda setiap orang. Kecukupan secara finansial itu memungkinkan kita bisa menjalani masa tua dengan beragam kegiatan baik yang bersifat hiburan maupun karitatif, entah dilakukan sendiri atau bersama yang lain. 

Negara sebenarnya sudah membangun jembatan bagi setiap warga negara menuju hari tua yang bahagia. Seturut amanat UUD 1945, Negara bertanggung jawab untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,...”

Amanat itu ditegaskan pada Pasal 34 ayat 2 UUD 1945 bunyinya, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Perintah tersebut kemudian mewujud di antaranya melalui Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pada 2004. Di dalamnya mencakup jaminan kesehatan melalui BPJS Kesehatan, maupun secara khusus dalam jaminan ketenagakerjaan melalui BPJS Ketenagakerjaan.

Berawal dari Perum Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek) pada 1977, Negara kemudian secara bertahap mengubah lembaga itu menjadi seperti sekarang. BPJS Ketenagakerjaan yang telah berusia 39 tahun kian memainkan peran yang semakin luas tidak hanya melindungi pegawai swasta di sektor formal, juga para pekerja di sektor informal.

Jaminan sosial ketenagakerjaan itu memberikan perlindungan paripurna bagi para pekerja mencakup empat aspek yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).  

Pertama, JKK memberi manfaat kepada pekerja yang terkena risiko kecelakaan kerja baik di perjalanan dari dan menuju tempat kerja, di tempat kerja, atau dalam perjalanan dinas. Mereka akan dibiayai hingga sembuh tanpa batas, sesuai kebutuhan medis. Selain itu mereka akan mendapat santunan ketika tidak mendapatkan penghasilan. 

Bila mengalami kecatatan, pekerja akan mendapatkan bimbingan mental dan pelatihan agar bisa bekerja. Bila meninggal, pekerja akan mendapat santunan 48 kali gaji, dengan besaran sesuai yang dilaporkan.
4 Program BPJS Ketenagakerjaan/Slideshare
Kedua, pada JKM, pekerja yang meninggal akan mendapatkan Rp24 juta ditambah beasiswa Rp12 juta bila masih memiliki anak berusia sekolah.

Ketiga, JHT memberikan manfaat berupa tabungan dari akumulasi iuran ditambah hasil pengembangan yang bisa dinikmati saat usia pensiun yakni 56 tahun. Jumlah tersebut bisa dinikmati dengan imbal hasil di atas deposito. Bila mundur dari pekerjaan atau pensiun dini, JHT bisa diambil.

Keempat, begitu juga manfaat dari JP saat pekerja memasuki masa pensiun. Selama 15 tahun pekerja akan mendapat manfaat sebagai gaji bulanan atau uang pensiun. Uang pensiun ini bisa diturunkan atau diwariskan kepada istri, orang tua, atau anak sampai berusia produktif. 

Sarat Manfaat tapi...

Saat ini jumlah pekerja yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 46 juta, dari total 130 juta pekerja dengan 80 juta dari antaranya bekerja di sektor informal (Kompas, 5 Desember 2016 hal.3). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kepesertaan masih kecil, padahal manfaat yang diperoleh begitu besar. 

Ada banyak sebab. Beberapa dari antaranya seperti dikemukakan Abdul Latif, Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan. Dari pihak perusahaan, masih bercokol anggapan bahwa program tersebut membebankan perusahaan, sehingga ketentuan undang-undang dilanggar dengan hanya melaporkan sebagian karyawan atau melaporkan sebagian upah karyawan. 

Padahal, jaminan tersebut memberikan manfaat resiprokal, tidak hanya kepada karyawan semata tetapi juga perusahaan. Karyawan yang mendapatkan jaminan tersebut bisa bekerja dengan tenang karena ada pengaman saat risiko terjadi sesewaktu. Selain itu masa depan pekerja setelah tidak lagi produktif terjamin. Keberlangsungan keluarga pekerja tetap terjaga setelah ia tidak lagi bekerja. 

Bagi perusahaan situasi ini dengan sendirinya mendatangkan manfaat karena pekerja yang terjamin hidupnya akan fokus pada pekerjaan sehingga produktivitas dan daya saing meningkat. “Perusahaan seharusnya memandang jaminan sosial sebagai investasi human capital, bukan beban biaya.”

Belum lagi penyelenggarannya tidak sepenuhnya membebankan keuangan perusahaan. Beban jaminan sosial ini ditanggung bersama antara perusahaan dan pekerja. Pada JHT besarnya iuran adalah 5,7 persen dari upah dengan rincian 2% dari pekerja dan 3,7 % dari pemberi kerja atau perusahaan. Iuran yang dibayar oleh perusahaan ini berdasarkan pada besaran upah sebulan yaitu terdiri atas gaji pokok dan tunjangan tetap. Jadi besaran setiap pekerja berbeda-beda disesuaikan dengan upah yang diperoleh. 

Sementara pada JP besarnya iuran adalah 3%, terdiri atas 2% iuran pemberi kerja (tidak hanya perusahaan juga orang perorang) dan 1% iuran pekerja. Sebagai contoh, dengan asumsi pendapatan Rp 1 juta per bulan, pekerja hanya perlu menyisihkan 2% untuk JHT dan 1% untuk JP. 
Besarnya iuran dari 4 program BPJS Ketenagakerjaan/sumber informasi BPJS Ketenagakerjaan
Sayangnya tidak hanya perusahaan yang kadang bermasalah dengan jaminan ini, dari pihak pekerja pun demikian. Kurangnya kesadaran akan besarnya manfaat bisa terbaca dari tingkat keaktifan membayar iuran yang saat ini baru menyentuh 21 juta pekerja. Sementara 25 juta dari total 46 juta pekerja berstatus nonaktif dengan banyak alasan. Bisa saja karena kesengajaan saat jatuh tempo pembayaran tiba orang atau perusahaan tidak mengurus, pindah pekerjaan, perusahaan bangkrut atau pailit atau orang bersangkutan sudah pensiun.

Padahal dari iuran tersebut pekerja akan mendapatkan  manfaat JHT berupaa dana tabungan yang berasal dari iuran plus hasil pengembangan di atas bunga deposito sebagai modal memasuki masa tidak produktif dan JP sebagai pengganti penghasilan bulanan saat tidak lagi produktif. Sementara perusahaan akan mendapatkan manfaat dari produtivitas para pekerja sebagai sumber daya berharga untuk memajukan perusahaan.

Terobosan Inovatif

Dalam kondisi seperti ini, di antara panggilan pengabdian dan masih rendahnya tingkat kesadaran, negara melalui BPJS Ketenagakerjaan telah melakukan sejumlah terobosan, baik bersifat regulatif, maupun stimulus.

Pertama, terkait aturan, saat ini status BPJS Ketenagakerjaan, juga Kesehatan sudah berubah dari BUMN menjadi Badan Hukum Publik (BHP) yang langsung berada di bawah presiden. Mengingat pentingnya program ini maka BPJS harus memastikan setiap perusahaan di Indonesia menciptakan iklim positif bagi para pekerja. Setiap pekerja harus terlindungi sehingga bisa bekerja dengan tenang. 

BPJS Ketenagakerjaan juga bertindak menjaga kepatuhan dan memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran. Sanksi itu bisa berupa denda atas keterlambatan pembayaran iuran, juga menggandeng aparat penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dalam proses pengawasan dan pemeriksaan (Kompas, 5 Desember 2016 hal.3).

Kedua, berbagai stimulus berupa inovasi dan langkah strategis di antaranya menerapkan sistem Gerakan  Nasional Peduli Perlindungan Pekerja Rentan (GN Lingkaran) untuk melindungi pekerja rentan atau pekerja informal yang tidak mampu melalui donasi dari perusahaan atau sumbangan pribadi; meluncurkan aplikasi ponsel BPJSTK Mobile generasi mutakhir dengan adanya fitur geotagging, informasi manfaat untuk non peserta dan penyempurnaan layanan pengaduan; dan menghadirkan manfaat keseharian berupa diskon yang bisa dipakai untuk ritel, hotel dan sebagainya.
BPJSTK Mobile/Tribunnews.com
Selain itu mengoptimalkan pengelolaan dana melalui investasi langsung pada properti komersial Social Security Tower yang dikelola perusahaan penyertaan langsung PT Sinergi Investasi Properti. 

Patut diketahui, menurut laporan tahunan BPJS Kesehatan, total nilai iuran yang terkumpul selama Januari-Desember 2015 mencapai Rp 36.191 miliar atau 105,7 persen dari target tahun tersebut sebesar Rp 24.347 miliar (Kompas, 21 Desember 2016, hal.19). 

Menurut Ketua Perhimpunan Human Resource Development East Jakarta Industrial Park, Yosminaldi, sebagaimana dilansir Kompas, belum banyak dana investasi yang diberdayakan secara maksimal untuk kepentingan pekerja. Diharapkan terobosan tersebut, di samping meningkatkan investasi dana BPJS Ketenagakerjaan ke bidang infrastruktur pemerintah misalnya, bisa memberikan imbal hasil kepada peserta semakin optimal.

Selain itu yang tak kalah menarik dan penting adalah inovasi untuk membangkitkan literasi generasi muda terhadap jaminan sosial berupa video edukasi, serta rencana memasukannya sebagai salah satu kurikulum di sekolah. Selain itu sosialisasi via media baik media konvensional, terlebih sosial media dan media digital seperti blog dan sebagainya tetap patut diperhitungkan.

Terakhir adalah memaksimalkan program Penggerak Jaminan Sosial Indonesia (Perisai). Mengadopsi program Sharoushi dan Jimmikumiai di Jepang, Perisai akan menjadi program keagenan yang melibatkan masyarakat umum. Mereka akan dibekali dengan pelatihan, dan sertifikasi serta lembaga tersebut akan diakreditasi. 

Berbagai terobosan- itu tidak lain untuk menggenjot kepesertaan seperti target 3 juta peserta tahun ini seperti dilansir Detik.com. Namun lebih dari itu sebagai pemantik kesadaran pekerja atau individu maupun perusahaan akan pentingnya kenyamanan saat bekerja maupun kebahagiaan saat pensiun tiba. Tidak ada seorang pun dari antara kita yang ingin menderita di masa tua, kan? 

Untuk informasi lebih lanjut:

Telepon: 1500910
Youtube: BPJS Ketenagakerjaan
Twitter: @BPJSTKinfo

#lifestyle #pensiun #BPJSKetenagakerjaan
Sumber gambar finance.detik.com/bpjsketenagakerjaan




Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing