Posts

Showing posts from 2014

ASEAN 47 TAHUN

Tak terasa, tanggal 8 Agustus 2014 lalu, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau lazim dikenal sebagai ASEAN ( Association of Southeast Asian Nations ) genap berusia 47 tahun. Beberapa tahun lagi organisasi geopolitik, geostrategik dan ekonomi yang bermula di Thailand melalui Perjanjian Bangkok oleh lima negara pemrakarsa (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) akan berada pada posisi setengah abad. Dalam rentang usia yang boleh dibilang tidak muda lagi, untaian pertanyaan tentang sejauh mana perkembangan organisasi ini dan apa saja yang sudah dipetik Indonesia patut diacungkan. Jangan sampai perkumpulan 11 negara ini hanya sekadar formalitas, dan pekikan para menlu inisiator dan deklarator, Adam Malik (Indonesia), Narciso Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand) tidak lebih dari sejarah. Jangan sampai terhenti pada sejarah dengan catatatan kemuliaan dan keluhuran itikad minus realisasi komprehensif

Larut Tapi Tak Hanyut (Budaya-Kaum Muda-Masa Kini)

Dalam lintasan sejarah, kehadiran kaum muda tidak dapat dinafikan. Selain keberadaan an sich, peran penting pun tidak terbantahkan.Dalam konteks Indonesia, kaum muda sudah hadir dan berperan sejak sebelum kemerdekaan. Heroisme kaum muda generasi 1928 adalah contohnya. Namun generasi telah berganti generasi. Entah sudah berapa banyak generasi yang datang dan pergi.   Satu hal yang pasti: regenerasi pasti terjadi. Inilah mata rantai antargenerasi.Ignas Kleden, mendefenisikan karakteristik sebuah generasi dengan similaritas usia, gaya hidup, persepsi dan sikap yang khas, ekspresi kebudayaan yang khusus serta adanya suatu cultural focus (1987:120-127) . Namun dalam alihgenerasi, mutu atau kualitas peran yang dimainkan perlu diberi tanda tanya. R egenerasi bertalian dengan apa yang disebut sang sosiolog itu sebagai kontinuitas unsur-unsur kebudayaan yang berfaedah bagi generasi penerus dan kelahiran kembali secara spiritual.   D alam sebuah regenerasi tidak hanya menyangkut pewarisan

69 Tahun Itu “Sesuatu…”

Eksistensi bangsa Indonesia baru saja menginjak angka 69 tahun. Riwayat hidup yang tak bisa dibilang muda, juga tak bisa serta-merta dikategori terlalu tua. 69 itu bukan hanya soal angka yang gampang diurut dan dibilang dalam satu kali tarikan nafas. Di dalam angka itu ada nyawa beratus ribu bahkan berjuta pahlawan. Di dalam angka itu ada darah, air mata dan peluh yang dikorbankan demi tegaknya sebuah bangsa bernama Indonesia. Di dalam angka itu ada elan vital . Ada pula solidaritas, ada kerja sama, ada pengorbanan, ada kerelaan dan keikhlasan, juga ada tumbal untuk tetap merekatkan tali perbedaan serba keanekaan dalam satu pakem Bhineka Tunggal Ika. Namun dalam 69 tahun yang tak muda lagi itu, ada sisi lain yang menyiratkan tantangan dan tanda tanya. Selepas 69 tahun memerdekakan diri dari kolonialisme, dari senapan dan popor penjajah, dari perbudakan dan diskriminasi dikotomis, kita patut bertanya: apakah sejauh ini kita sudah benar-benar menghirup aroma kemerdekaan? De f

Kebutuhan Palsu dan Kehilangan Yang Sejati

Globalisasi membawa sesuatu yang tak disadari namun nyata: gaya hidup konsumeristik. Inilah anak kandung kapitalisme yang sedang menggeranyangi kita. Sebagaimana dicemaskan Karl Marx (1818-1883) kapitalisme tidak sekadar memproduksi aneka barang untuk mencukupi kebutuhan masyarakat. Ia juga menciptakan kesempatan yang membuat kita merasa membutuhkan sesuatu (Magniz Suseno, 2008: 16) . Memang beralasan bahwa  berbagai tawaran itu memungkinkan kita memperoleh berbagai kemudahan dan membuahkan kemajuan. Persoalan akhirnya muncul ketika rupa-rupa kebutuhan bermunculan karena pergeseran skala kepentingan. Dalamnya terjadi manipulasi kebutuhan yang tidak kita sadari sehingga memicu timbulnya kebutuhan palsu. Stimulasi arus massa, promosi dan iklan membuat pilihan kita bergeser: apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai kebutuhan karena derasnya arus massa dan kuatnya tawaran promotif. Franz Magnis Suseno memberikan beberapa contoh menarik. Tent

Duc In Altum…

Pak Jokowi, Entahkah Piala Dunia lebih atraktif dari kontestasi politik dengan suhu yang kian panas menjelang 9 Juli? Saya tak bisa memastikannya. Namun satu hal yang pasti: surat yang saya layangkan ini tidak dalam rangka meramaikan momen politik lima tahunan ini. Bukan karena tidak penting. Apalagi sok berlagak apatis. Tetapi  riuh rendah bahkan gelora politik sudah sampai pada taraf kita kesulitan bernafas secara elegan dan berpikir jernih. Ruang publik sudah sedemikian sesak dengan muatan politis yang membabi-buta. Sampai-sampai diri diprofilasi secara serampangan karena telah dipoles dengan intrik, black campaign bahkan mengarah pada pembunuhan karakter. Apa yang saya tulis adalah antitesis dari diri yang sengaja dipahami secara miring dan kebajikan yang telah ditutupi syak-wasyangka yang bertopengkan kepura-puraan.  Menapak undur dan bergerak melampaui ( passing over ) hajatan politik ini niscaya lebih berfaedah daripada sekadar larut dalam arena permainan sesaat untuk sekad

FERNANDO LUGO DAN OPSI BERPOLITIK GEREJA

Warga dunia tentu masih mengingat warta terpilihnya seorang uskup menjadi kepala negara. Berita heboh itu berhembus dari sebuah wilayah di bagian tengah Amerika Latin yakni Paraguay. Pada 20 April 2008 Fernando Lugo dipilih oleh mayoritas warga Paraguay menjadi presiden. Ini merupakan sejarah baru bagi negara tersebut. Fernando Lugo menjadi religius pertama yang menduduki tahta kepresidenan di negara itu. Ia juga memutuskan rantai dominasi partai Colorado yang telah menacapkan akar kekuasaannya di negara tersebut selama 61 tahun. Pilihan politis yang diambil Fernando Lugo menimbulkan polemik dalam Gereja Katolik. Seorang tertahbis tidak diperkenankan terjun ke arena politik praktis. Hukuman berupa suspensi a divinis   diberikan Vatikan atas pelanggaran yang dibuatnya. Mungkin Lugo memiliki pertimbangan lain: membawa rahmat imamat yang tetap melekat padanya ke forum publicum. Semua warga Paraguay adalah ”domba-domba” gembalaannya dan wilayah Paraguay dengan kompleksitas perso