ASEAN 47 TAHUN

Tak terasa, tanggal 8 Agustus 2014 lalu, Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau lazim dikenal sebagai ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) genap berusia 47 tahun. Beberapa tahun lagi organisasi geopolitik, geostrategik dan ekonomi yang bermula di Thailand melalui Perjanjian Bangkok oleh lima negara pemrakarsa (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand) akan berada pada posisi setengah abad.
Dalam rentang usia yang boleh dibilang tidak muda lagi, untaian pertanyaan tentang sejauh mana perkembangan organisasi ini dan apa saja yang sudah dipetik Indonesia patut diacungkan. Jangan sampai perkumpulan 11 negara ini hanya sekadar formalitas, dan pekikan para menlu inisiator dan deklarator, Adam Malik (Indonesia), Narciso Ramos (Filipina), Tun Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam (Singapura), dan Thanat Khoman (Thailand) tidak lebih dari sejarah. Jangan sampai terhenti pada sejarah dengan catatatan kemuliaan dan keluhuran itikad minus realisasi komprehensif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaan; meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional; meningkatkan kerjasama dan saling membantu untuk kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan, dan administrasi; memelihara kerjasama yang erat di tengah – tengah organisasi regional dan internasional yang ada; serta meningkatkan kerjasama untuk memajukan pendidikan, latihan, dan penelitian di kawasan Asia Tenggara.

Dipertajam
Dicetuskannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dalam arti tertentu dapat dipandangan sebagai penajaman dari visi berdirinya ASEAN dalam bidang ekonomi. Ada bersama secara geografis dan organisatoris selama puluhan tahun itu perlu dipertajam lagi secara konkret dengan batas waktu yang jelas. Karena itu, MEA yang sebentar lagi direalisasikan secara penuh, pada Desember 2015 boleh dianggap sebagai satu langkah maju yang tidak hanya memberi dampak pada aspek ekonomi tetapi juga bisa berimbas pada sisi lain. Bagaimana pun juga kerja sama ekonomi selalu menuntut dan dengan sendirinya menyertakan politik, keamanan, sosial-budaya dan pendidikan di dalamnya.
Beginda Pakpahan (Kompas, 7/8/2014), mengatakan bahwa pelaksanaan blue print MEA sebagian besar (74 persen) sudah dilaksanakan pada tahun ini. Cetak biru ini menyangkut langkah persiapan dan praksis pelaksanaan demi menggapai MEA.
MEA sendiri adalah salah satu butir kesepakatan pembentukan Masyarakat ASEAN yang digagas pada 2003 oleh para pemimpin ASEAN melalui kesepakatan Bali Concord II. Selain MEA, ada dua pilar lain yakni Masyarakat Politik dan Keamanan  ASEAN, serta Masyarakat Sosial dan Budaya ASEAN. Meski MEA sebagai salah satu poin dalam kesepakatan itu, namun perwujudannya seiring sejalan dengan aspek-aspek lain. Lebih lanjut, Pakpahan membenarkan, “pembentukan masyarakat ASEAN menunjukkan, negara-negara ASEAN dapat bekerja sama dan membuka jalan integrasi kawasan Asia Tenggara dengan tujuan menjaga stabilitas kemanan regional, menciptakan kemakmuran ekonomi bersama, dan membentuk identitas regional”.

Tantangan
Penajaman ada bersama secara regional ini bukan jalan tol tanpa hambatan. Semakin dekat MEA ada riang dan was-was. Bagi negara yang telah bersiap, momen itu tak sabar dinanti. Namun oleh sebagian negara dan masyarakat ada kecemasan dan rasa takut jika saja MEA hanyalah kompetisi elitis yang menguntungkan sebagian pihak dan tidak lebih dari dominasi pihak-pihak tertentu. Dari pihak Indonesia, pemerintah kita cukup optimis namun sebagaimana penuturan Pakpahan mayoritas pengusaha nasional dan masyarakat masih meragukan tingkat persiapan sumber daya manusia dan daya saing produk-produk domestik.
Kompas (9/8/2014) memberikan uraian singkat tingkat pencapaian Indonesia menggarap pasar ASEAN selama ini. Menurut data Sekretariat ASEAN, tahun 2012, Singapura memiliki nilai perdagangan terbesar. Nilai ekspor tetangga kita itu mencapai 130, 235 miliar dollar AS dan impor 80,087 milliar dollar AS. Posisi berikutnya saudara serumpun, Malaysia dengan 50, 592 miliar dollar AS untuk ekspor dan impor 55,078 miliar dollar AS. Di tempat ketiga ada Thailand dengan nilai ekspor ke ASEAN mencapai 56, 729 miliar dollar AS dan impor 42, 805 miliar dollar AS.
Sementara itu, posisi Indonesia di bawahnya dengan torehan nilai ekspor sebesar 41,831 miliar dollar AS dan impor sebesar 53, 823 miliar dollar AS. Dengan ini menunjukkan seberapa signifikan Indonesia memanfaatkan pasar ASEAN sekaligus sinyalemen persaingan dalam MEA nantinya. Di tambah lagi data Direktorat Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementrian Perindustrian, pada pertengahan 2014, terpetakan hanya 31, 26 persen dari 4.000 produk dalam daftar pos tariff produk industri manufaktur Indonesia yang memiliki daya saing tinggi dan mampi berkompetisi di ASEAN. Produk-produk itu berupa logam, kimia daar, kimia hilir dan produk tekstil. Hanya inikah produk kebanggaan dari sebuah bangsa yang besar dengan kekayaan alam dan sumber daya lainnya yang melimpah?
Dari sisi manufaktur, pekerjaan rumah maha berat karena 68,73 persen priduk Indonesia masih berdaya saing rendah dan sangat rendah jika tidak ingin terlempar bahkan tidak disertakan dalam kompetisi pasar dengan 610 juta populasi di pasar ASEAN. Amat disayangkan jika pangsa pasar sebesar itu tidak kita manfaatkan dan hanya menjadi penonton atau jika berpartisipasi hanya berharga rendah, bahkan bisa sangat rendah.
Kenyataan yang sama bakal dialami pula oleh tetangga kita yang lain dalam kelompok KMLV (Kamboja, Myanmar, Laos dan Vietnam) yang masih terkendala fondasi pembangunan dan ekonomi. World Economic Forum merilis laporan daya saing pada 2013-2014 yang menempatkan KMLV berada di bawah ASEAN 6 (Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Indonesia, Filipina).
Tantangan aktual lainnya adalah perubahan geopolitik yang tercermin dalam dinamika hubungan antarnegara yang mengklaim Laut Tiongkok Selatan. Perseteruan ini dipicu oleh langkah Beijing menempatkan anjungan pengeboran minyak lepas pantai di kawasan sengketa dengan Vietnam di dekat Kepulauan Paracel (Kompas, 9/8/2014). Tiongkok mengklaim sekitar 90 persen wilayah Laut Tiongkok Selatan. Klaim ini tidak dapat diterima oleh empat anggota ASEAN yakni Vietnam, Malaysia, Brunei dan Filipina yang juga merasa meiliki. Akibatnya terjadi klaim tumpang tindih yang semakin hari semakin memanas. Seperti penjelasan Pakpahan, Vietnam dan Filipina mencoba memultilateralisasi Laut Tiongkok Selatan ke tingkat ASEAN dan melibatkan pihak ketiga yakni AS. Ketegangan Tiongkok dengan Filipina pun meningkat terkait gugatan Manila ke Mahkamah Arbitrase Permanen di Den Haag, Belanda.
Persoalan yang melibatkan banyak pihak ini menuntut ASEAN untuk bisa mencari solusi selain demi mengamankan kedaulatan wilayah juga menghindari dampak yang lebih luas mengingat Tiongkok adalah negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Jangan sampai yang dilakukannya terhadap sejumlah negara seperti Jepang, AS, Uni Eropa berupa pembatasan ekspor Logam Tanah Jarang (LTJ) dalam bentuk berbeda juga menerpa kita.
Selain masalah sengketa Laut Tiongkok Selatan, ASEAN juga sedang bergelut dengan masalah imigran gelap internasional, tenaga kerja, kerusakan lingkungan, terorisme, dan terakhir stimulus gerakan ekstremis primordial seperti ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)/NIIS (Negara Islam di Irak dan Suriah). Diperlukan langkah jitu untuk mengatasi secara bersama berbagai masalah krusial itu sehingga eksistensi ASEAN tidak hanya dipertaruhkan dalam bidang ekonomi lewat MEA tetapi juga mencakup pilar-pilar lain secara integral. Dengan demikian, ASEAN betul-betul menjadi sebuah wadah yang mendorong kemajuan secara merata  sehingga pada gilirannya tatapan mata dunia tidak hanya memakai kacamata ekonomi dengan perhitungan pangsa pasar dan letak strategis untuk urusan niaga serta lalu lintas manusia semata.
Batu ujian terdekat yang harus dilewati adalah MEA. Sisa waktu tidak lebih dari 16 bulan tidak hanya membuat sejumlah pihak ketar-ketir tetapi juga mesti kitan melucuti semangat untuk bersiap diri sehingga MEA tidak hanya nama dan mencatatkan nama sebagian bangsa dan masyarakat sebagai orang-orang kalah. 

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...