Membongkar Mitos dan Rahasia Si "Mangkok Merah"


Ketakutan sempat menjalar di sejumlah restoran terhadap penggunaan MSG/ Richard Masoner/Cyclelicious/Flickr/CC BY-SA 2.0

Sejak mulut bisa mengunyah makanan hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah terbersit pertanyaan tentang apa yang dimakan. Setiap makanan yang disajikan dengan sendirinya langsung dinikmati tanpa banyak bertanya. Bila ada pertanyaan paling-paling lebih sebagai keluhan karena porsi yang tersedia belum cukup mengenyangkan perut.Tidak lebih dari itu.

Ibu adalah juru masa terbaik. Ia tahu apa yang diinginkan setiap anggota keluarga. Hampir tidak perah terdengar keluhan atau protes tentang rasa setiap makanan. Setiap hari, selama bertahun-tahun itu, rasa masakan ibu selalu nomor satu, meski menu yang tersedia jauh dari kata istimewa. Kosa kata istimewa itu pun baru muncul kemudian setelah globalisasi datang menghempas dengan berbagai tawaran yang membuat pilihan menjadi terbagi-bagi dan standar nilai pun terbentuk berundak-undak. Meski digempur dari mana-mana, globalisasi itu tetap tidak mampu menghancurkan kenangan dan rasa rindu pada masakan ibu.

Baru setelah duduk di SMA perlahan-lahan pertanyaan kritis tentang makanan mulai muncul. Salah satu yang membuat kepalaku cukup berpikir keras ketika mendapatkan di buku pelajaran kimia tentang “Chinese Restaurant Syndrome” atau “Sindrom Restoran China.” 

Di buku pelajaran tersebut disebutkan bahwa sindrom ini muncul karena mengkonsumsi monosodium glutamat atau yang dikenal sebagai MSG (ada yang menyebutnya micin atau vetsin) yang ada dalam makanan China. Rasa sakit kepala, mual hingga mati rasa aneh adalah ciri khas penderita “Sindrom Restoran China.” 

Bayangan bumbu masakan ibu langsung berkelebat hebat. Perlahan-lahan menjalari seisi lemari dapur tempat ibu biasa menaruh aneka bumbu masak. Saya coba mengkonfirmasi bumbu-bumbu yang memiliki kandungan MSG sesuai daftar dalam buku pelajaran itu. Sampailah saya pada kemasan plastik dengan gambar mangkok merah. Seingat saya si mangkok merah ini tak pernah alpa dari daftar bumbu masakan ibu. Ia adalah bumbu dasar yang selalu dipakai selain garam dan cabai. 

Pada tubuh mangkok merah itu tertera tulisan unik “Ajinomoto”.  Ya, sesuai daftar dari buku pelajaran itu “Ajinomoto” berlogo mangkuk merah itu menjadi salah bumbu yang mengandung MSG. Rasa was-was mulai muncul, takut jangan sampai terdampak “Sindrom Restoran China.” Saat pulang ke rumah saya sempat mengingatkan pada ibu agar hati-hati menggunakan Si Mangkok Merah itu. Hingga kini rasa takut, yang mungkin saja bagi sebagian orang sudah mengeras menjadi stigma sebagai “the silent killer”, pada si mangkok merah dan setiap penyedap rasa masih bercokol.

Mitos

“Sindrom Restoran China” mulai muncul ke permukaan dan menjadi bahan pembicaraan medis yang luas sejak 1968, setelah Dr Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine. Seperti ditulis bbc.com, Dr Ho mengemukakan pandangannya tentang kemungkinan penyebab sindrom yang ia alami setiap kali ia makan di restoran China di Amerika Serikat.

Ia menggambarkan perasaan mati rasa di belakang lehernya yang kemudian menjalar ke lengan dan punggung. Pada saat bersamaan muncul rasa lemah dan detak jantung berdebar kencang. Saat itu Kwok berspekulasi bahwa penyebabnya adalah kecap. Dugaan ini langsung terbantahkan setelah ia mencoba masakan dengan campuran kecap di rumah. Ia pernah pula menduga bahwa penyebab itu datang dari anggur yang dicampur dalam masakan China. 

Baru beberapa lama kemudian muncul dugaan kuat bahwa apa yang dialami Kwok itu bersumber dari monosodium glutamat yang digunakan sebagai bumbu umum di restoran China. Secepat kilat informasi ini tersebar luas, memantik aneka penelitian ilmiah dan tidak sedikit langsung mendatangkan reaksi penolakan terhadap masakan berkandung MSG. 

Langah ilmiah diambil sejumlah ilmuwan. Penelitian pun dilakukan dengan melibatkan hewan dan manusia. Peneliti dari Washington University Dr John W. Olney menemukan bahwa menyuntikan dosis besar MSG ke bawah kulit tikus yang baru lahir akan menyebabkan terbentuknya bercak jaringan mati di otak. Ketika tikus-tikus itu tumbuh dewasa perkembangan mereka terhambat, terjadi obesitas, dan dalam beberapa kasus, steril. 

Oliney juga melakukan hal yang sama pada monyet. Ia memberikan MSG secara oral dan hasilnya sama. Namun 19 studi lainnya pada monyet gagal mendapatkan kenyataan yang sama, apalagi hasil yang sama persis. 

Penelitian dilakukan juga pada manusia. Dalam salah satu studi, sebanyak 71 orang sehat diobati dengan meningkatkan dosis MSG atau plasebo dalam bentuk kapsil. Peneliti menemukan adanya gejala Sindrom Restoran China yang terjadi kira-kira pada tingkat yang sama, terlepas dari apakah subjek diberi MSG atau plasebo, bahkan setelah para peserta bertukar pada opsi alternatif.

Pada 1995 US Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan AS menugaskan salah satu komisi bernama Federation of American Societies for Experimental Biology untuk mencerna semua bukti dan memutuskan apakah MSG benar-benar berbahaya atau tidak.

Panel yang terdiri dari para ahli mula-mula menolak istilah “Sindrom Restoran China” yang dianggap merendahkan dan tidak mencerminkan sifat dari gejala tersebut. Panel tersebut menganjurkan istilah “MSG Symptom Complex” untuk menggambarkan banyak dan beragam gejala yang terkait dengan konsumsi MSG.

Mereka menyimpulkan ada cukup bukti ilmiah tentang sub kelompok dalam kelompok individu sehat yang memiliki respon buruk terhadap MSG dalam dosis besar, biasanya terpapar dalam waktu satu jam. Tetapi reaksi ini diamati dalam studi di mana mereka diberi tiga gram atau lebih MSG yang dicampur dalam air, tanpa makanan. Tentu skenario ini tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Menurut FDA, kebanyakan orang mendapatkan sekitar 0,55 gram MSG per hari yang ditambahkan dalam makanan mereka.

Sebuah studi pada 2000 coba meneliti lebih jauh dengan melibatkan 130 orang yang menyebut diri mereka reaktif terhadap MSG. Pertama-tama orang-orang sehat ini diberi dosis MSG tanpa makanan, atau diberi plasebo. Dalam beberapa uji dengan dosis MSG yang terus meningkat untuk mendapatkan hasil dari 10 gejala yang ada, hanya dua dari 130 orang itu yang menunjukkan reaksi konsisten terhadap MSG. Tetapi ketika diuji lagi dengan MSG dalam makanan, reaksi mereka berbeda yang menunjukkan bahwa validitas sensitivitas terhadap MSG diragukan.

Dr John Olney telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk meneliti dan membuktikan kebenaran itu pada hewah percobaannya. Meski kemudian muncul regulasi yang ketat tentang penggunaan MSG, FDA telah mengeluarkan “fatwa” bahwa penggunaan MSG pada makanan adalah GRAS, atau ‘Generally Recognised As Safe’. Umumnya diakui aman. Alias tidak berbahaya. 

Keputusan tersebut melengkapi hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO). Senada dengan itu pemerintah di Eropa, Afrika, Amerika Utara, Jepang dan negara-negara Asia lainnya pun tidak menaruh MSG dalam daftar hitam.
Begitu pula pemerintah Indonesia. Seperti pernah diutarakan, Husniah Rubiana Thamrin, kepala Kepala BPOM Pusat saat itu, "Micin atau penyedap rasa, atau MSG, aman dikonsumsi masyarakat. Asosiasi pangan dunia juga telah menguji kalau efek negatif yang selama ini digembar-gemborkan ke masyarakat tentang penggunaan micin tidak terbukti."  Jadi semua itu mitos.

Orang Amerika dan Eropa rata-rata mengkonsumsi sekitar 11 gram glutamat alami dan 1 gram glutamat dari MSG per hari. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari orang Asia yang rata-rata sekitar 3-4 gram per hari.
Bumbu dan bahan makanan orang Asia memang banyak mengandung glutamat yang terkandung dalam bahan makanan seperti kecap ikan atau kecap wijen. Sejak kecil orang Asia sudah akrab dengan bahan-bahan makanan yang mengandung asam glutamat alami.

Dosis MSG yang direkomendasikan oleh FDA adalah sekitar 30 mg per berat badan. Bila berat badan seseorang 50 kg, maka dosis MSG yang direkomendasikan adalah sekitar 1,5 gram/hari. 

Kikunae Ikeda mengisolasi glutamat dari rumput laut kombu dan menambahkan sodium untuk menciptakan monosodium glutamat/Mariano Montero/Alamy
Rahasia Si "Mangkok Merah"

Pertanyaan penting yang belum terjawab adalah apa itu MSG? Mengutip pendapat Dr.Mercola pada lamannya articles.mercola.com, monosodium glutamat adalah garam natrium dari asam glutamat.  Glutamat adalah asam amino yang terjadi secara alami dalam berbagai macam makanan seperti tomat, keju, jamur kering, kecap dan sejumlah buah-buahan dan sayuran, serta air susu ibu. Asam glutamat secara alami ada dalam tubuh kita.

MSG ditemukan oleh prodesior kimia Universitas Tokyo Kikunae Ikeda pada 1908. MSG adalah garam yang paling stabil dan salah satu yang terbaik untuk memberikan rasa “umami”. 

Kikunae menemukan rasa itu setelah mengisolasi glutamat dari rumput laut kering yang mana hampir selalu ditemukan dalam setiap masakan Jepang di muka bumi. Saat ditambahkan natrium, salah satu dari dua unsur dalam garam, terbentuklah bubuk monosodium glutamat (MSG)  yang ditambahkan pada makanan seperti kita kenal. Kita mendapatkan MSG dalam bentuk kristal garam yang kemudian juga membuat Kikunae menjadi masyur dan kaya raya.

Bumbu berbasis MSG milik Kikunea kemudian diberi nama Ajinomoto, kurang lebih berarti “essence of taste” atau “esensi rasa.” Ajinomoto ini lantas mudah ditemukan di lemari-lemari dapur dan melengkapi hidangan masyarakat dunia.

Bagaimana bisa Ajinomoto mendatangkan rasa berbeda, padahal terbentuk dari asam amino? Bila kita mencecap masakan yang dicampur Ajinomoto jelas ada rasa berbeda. Rasa yang gimana-gimana gitu. Bahkan tanpa Ajinomoto terasa ada yang hilang. Ada rasa lain selain dari empat rasa utama seperti manis, asin, asam dan pahit yang selalu dirindukan. Benar seperti namanya sebagai “esensi rasa” rasa utama” yang melampaui rasa-rasa lainnya.

Jawabannya jelas “umami.” Secara bebas kata bahasa Jepang itu diterjemahkan sebagai “gurih”, selain dari empat rasa utama. Rasa ini langsung terasa seper sekian detik setelah dicampur dalam makanan. Diberikan dalam takaran yang pas kelezatan makanan bukan lagi sesuatu yang asing. Rasa nikmat dan pas menguasai indra perasa yang membut kita bersemangat dan siap menghabiskan makanan.

Setidaknya pengalaman ini yang saya alami. Selain kepiawaian ibu meracik dan meramu berbagai bumbu, campur tangan Ajinomoto jelas tak bisa dinafikan. Ia membuat masakan ibu selalu menari-nari dalam ingatan dan abadi dalam kenangan. Setiap kali makan, apalagi bila mendapatkan rasa yang berbeda yang tak berterima di lidah, langsung terbayang masa-masa indah dulu, saat cinta ibu dan Si Mangkok Merah berpadu menghadirkan santapan yang nikmat. Ah, memang lezat....

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 7 Maret 2017. http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/membongkar-mitos-dan-rahasia-si-mangkok-merah_58be6421a3afbd3b15b3a1cf

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing