Blogger Pasca Kebenaran



Ilustrasi dari Ilustrasi lingkarannews.com
Blogging is a communications mechanism handed to us by the long tail of the internet.( Tom Foremski)

Entah apa sebab utama Tom Foremski meninggalkan salah satu surat kabar keuangan terkemuka, The Financial Times pada Mei 2004 silam. Yang pasti setelah tidak bekerja lagi di koran terbitan Inggris itu, ia mendarmabaktikan diri dan seluruh waktunya menjadi blogger jurnalis (journalist blogger). Ia total menulis untuk blog Silicon Valley Watcher, mengupas tentang bisnis dan budaya inovasi.

Dari beragam tulisan tentang fenomena Silicon Valley yang telah diikutinya sejak pertama kali tiba di San Fransisco pada 1984, ia pun sampai pada satu titik kesimpulan tentang fenomena yang sedang berkembang pesat dewasa ini. 

Seperti termaktub dalam kutipan pembuka di atas, perkembangan dan penetrasi internet, memicu banyak perubahan dalam tatanan komunikasi, salah satunya media. Blog (web log) pun menjadi bagian tak terpisahkan dari perkembangan  media digital yang saat ini perlahan tetapi pasti mulai menggerus keberadaan media konvensional. Bisa jadi prospek media digital yang menjanjikan membuatnya tak segan meninggalkan koran untuk beralih ke blog. Ia tercatat sebagai jurnalis pertama yang banting stir menjadi blogger, meski di ruang digital itu ia tetap melakukan kerja jurnalistik.

Tom dan refleksinya tentang blog itu tak ubahnya sebutir pasir di hamparan pantai perkembangan teknologi dan informasi yang semakin memburu. Siapa saja kini bisa memainkan peran seperti Tom. Tidak hanya untuk kerja-kerja jurnalistik, tetapi juga berbagai kepentingan yang timbul dari kemewahan yang tercipta. 

Blogging atau ngeblog bisa jadi sumber pendapatan, di antaranya melalui program periklanan semisal AdSense, posting berbayar, penjualan tautan, atau afiliasi. Seperti Tom, tak terhitung berapa banyak blogger profesional atau problogger dewasa ini yang mengkhususkan diri dalam rupa-rupa tema. Rupiah dan dollar mengucur deras dari blog-blog mereka.

Era ketersingkapan

Tom dan problogger lainnya tengah meniti dan menikmati kemewahan sebagai blogger. Di sini blog dilihat sebagai tujuan mencari nafkah. Hal itu sah, tetapi itu bukan tujuan satu-satunya. 

Banyak hal bisa diperoleh dan dilakukan dengan blog. Seperti disinggung di atas saat ini tidak ada yang tidak bisa dilakukan dengan blog, sama halnya dengan media digital lainnya. Semua orang bisa menjadi blogger dan mendapatkan manfaat apa saja dari blog.

Apa saja bisa diperoleh dari blog, dan blog pun bisa dimanfaatan untuk kepentingan apa saja. Seperti media digital lainnya, termasuk sosial media, blog juga memainkan peran penting sebagai sumber referensi informasi dan pengetahuan, juga sarana ekspresi dan aktualisasi diri. Mulai dari curahan hati dan ekspresi kekesalan paling pribadi, hingga informasi paling rahasia bisa digerai di sana. 

Blog juga menjadi medan pelampiasan mulai dari secara halus hingga yang paling sarkastik. Segala sesuatu tersingkap, tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Seperti terjadi di segala bidang, distruption itu pun tergerai terang benderang di sosial media dan blog.

Banyak hal bisa jadi contoh bahwa saat ini hampir tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi. Praktik-praktik busuk bisa segera terkuak, dan mendatangkan efek dahsyat hanya dalam hitungan jam. Masih ingat kasus pemukulan seorang ajudan kepada petugas bandara di Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu? Suara-suara ramai di sosial media dan media digital lainnya membuat Panglima TNI akhirnya angkat bicara. Panglima mengatakan ia saja rela membuka ikat pinggangnya bila itu harus dilepas.

Begitu juga yang terjadi dengan Dora Natalia Singarimbun, pegawai Mahkamah Agung (MA) yang mengamuk dan mencakar Aiptu Sutisna di salah satu ruas jalan di kawasan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Selasa, 13 Desember 2016 lalu. Aksi tak elok di jalan raya itu ternyata terekam kemudian diunggah ke laman Facebook Firman Perdana Putra. Kemudian video itu menjadi viral dan ramai diperbincangkan. Walau sudah berdamai, Dora tetap mendapat sanksi MA. Kabarnya, ia dimutasi ke luar Jawa tanpa jabatan.
Masih banyak contoh lain betapa besar kekuatan media digital, termasuk blog saat ini. Contoh lain seperti foto-foto pelatihan salah satu ormas oleh Dandim Lebak Letkol Czi Ubaidillah yang mula-mula tersebar di sosial media, lantas tersebar ke mana-mana. Ramai dibicarakan di jagad maya, diulas bebas di media-media, akhirnya Dandim tersebut dicopot dari jabatannya.

Teranyar masih hangat dalam ruang publik, kasus chat seks Rizieq Shihab dan Firza Husein. Chat mesum berikut screenshot foto-foto tak senonoh yang selama ini tak terbayangkan tersingkap jelas di situs baladacintarizieq.com. 



Tidak hanya mengumbar rahasia dan aib, maraknya blog-blog tertentu dengan nama dan identitas aneh disarati berbagai informasi dan paparan yang belum jelas kebenarannya.
Namun apa pun itu, jelas bahwa saat ini hampir tidak ada lagi yang bisa disembunyikan. Yang bisa membuat siapa saja was-was bahwa ancaman keterbukaan itu bisa menimpa siapa saja dan kapan saja. Mungkin tinggal menunggu waktu saja. 

Tantangan Kompasianer Pasca Kebenaran

Sejak diluncurkan pada tahun 2008, Kompasiana langsung mendapat tempat di hati banyak orang. Blog keroyokan yang mula-mula diperuntukan kalangan internal perusahaan Kompas Gramedia, lantas diserbu banyak orang. Saat ini jumlah anggota atau Kompasiner lebih dari 300 ribu.

Dalam rentang waktu tersebut banyak dinamika terjadi. Termasuk dari segi yang dibicarakan cukup panjang sebelumnya. Kompasiana mewadahi banyak tujuan, manfaat dan kepentingan. Dan dari Kompasiana itu banyak hal yang tertutup atau sengaja tak terlihat akhirnya tersingkap jua.

Seperti yang pernah saya ulas di sini kompasianer senior, Tjiptadinata Effendi pernah mengangkat kesemrawutan dan praktik premanisme di Pasar Tanah Abang dalam tulisannya "Lagi Lagi Gara Gara Ahok (Bukan Hoax)" (Selengkapnya di sini). Tulisan itu kemudian dibicarakan secara luas, bahkan dikutip lagi oleh media konvensional, hingga terdengar juga di pihak terkait.

Gema tulisan Kompasianer yang menembus sekat juga tercermin di antaranya dari sejumlah tulisan Bambang Setyawan. Sejumlah liputannya tentang plus minus pelayanan PT Pos Indonesia sampai menggelitik pihak terkait, yang kemudian memberinya apresiasi (selengkapnya di sini)

Pak Tjip dan Om Bamset adalah beberapa contoh Kompasianer yang memanfaatkan Kompasiana sebagai ruang yang penyingkapan. Itu contoh kecil fenomena ketersingkapan di Kompasiana. Dan itu hanya satu bagian kecil dari dinamika di blog terbesar di Indonesia ini.

Kompasiana mula-mula mengusung slogan “Sharing & Connecting.” Sejak awal tahun ini, slogan itu berganti. Beyond Blogging. Bukan lagi berbagi dan berjejaring, tetapi sudah saatnya melampaui itu. 

Hemat saya keberadaan Kompasiana dengan semboyan baru ini sarat makna dan tepat waktu. Sebagai sebuah paltfom digital, peran berbagi dan saling berhubungan itu tetap dimainkan. Sesuatu yang niscaya, tak terhindarkan. Kompasiana tetap menjadi medium bagi para Kompasianer dengan segala kepentingannya. Tidak hanya terus menarik anggota, bahkan dengan cita-cita besar menjadi blog terbesar di Asia dan dunia. Tetapi lebih dari itu di era serba keterbukaan ini, semboyan itu mendapatkan pemaknaan tersendiri.
Banyak pakar sepakat bahwa kita sedang berada di era pasca kebenaran. Kebenaran telah mati, karena yang lebih berperan saat ini adalah berita palsu atau hoax. Celakanya, hoax itu bisa dipercaya dan dianggap sebagai kebenaran.

Banyak bertebaran di sosial media dan media digital tulisan-tulisan yang diragukan kebenarannya. Berita-berita palsu itu cepat tersebar, mendapat banyak komentar dan tanggapan. Lucunya tidak sedikit mendatangkan ulasan dan analisis bahkan dibicarakan lagi di media konvensional. Benar bahwa saat ini media sedang membicarakan media.Media menjadi berita (Kompas, 30 Januari 2017, hal.12).

Apakah selama ini Kompasiana terbebas dari hoax? Apakah para Kompasianer selalu setia mengabarkan kebenaran, menulis dalam berbagai bentuk apa adanya, tanpa memelintir, merekayasa dan mengada-ada? Tidak ada kepentingan lain di Kompasiana selain berjejaring dan berbagi dengan tulus?

Kita tentu memiliki jawaban masing-masing. Sebagai Kompasianer yang masih hijau saya  belum berani memberi penilaian. Mengutip hasil penelitian Nic Newman, peneliti di Reuters Institute for the Study of Journalism dalam Proyek Berita Digital 2017 yang diterbitkan Reuters Institut, ada ketakutan terhadap perkembangan teknologi yang bisa memengaruhi mutu informasi dan kehidupan berdemokrasi. Ada kekhawatiran tersendiri terhadap peran platform digital yang berkembang saat ini.

Lantas apakah makna kekhawatiran itu? Pertama, masih menurut Newan, sulit menghilangkan berita palsu yang sebenarnya bukan barang baru. Yang bisa dilakukan di antaranya dengan menangkal berita palsu itu dengan teknologi. Teknologi dijawab dengan teknologi seperti Digital News Initiative dari Google atau rencana Facebook membuat layanan pengecekan fakta. 

Bagaimana dengan Kompasiana? Tentu sejauh ini Kompasiana sudah memainkan peran seleksi dan kurasi.Apakah itu sudah cukup?

Kedua, tidak cukup mengandalkan teknologi. Kepalsuan mesti dikonfirmasi dengan kebenaran. Dan kebenaran yang belum juga beranjak itu harus bermula dari itikad dan niat baik kita semua. Berani menulis tentang kebenaran, menyajikan informasi secara berimbang, melawan kepentingan picik dan tendesius dan berani berkata tidak pada godaan bersikap partisan. Peran ini mestinya dimainkan oleh para Kompasianer. 

Ketiga, seperti ditulis Rhenald Kasali di Koran Sindo, 12 Januari 2017, disruption yang terjadi mestinya memacu kita untuk mengambil dua hikmah. Bahwa keburukan apapun itu tidak akan pernah bisa tersembunyi. Peran kita sebagai blogger dan pengguna media digital adalah turut andil menegakan kehidupan bersama tanpa kepura-puraan. 

Saat ini masyarakat sudah letih dengan berbagai perilaku buruk. Kehadiran blog bisa menjadi kanal pelampiasan kejengkelan. Di sana peran korektif berfungsi. Di sisi lain keberadaan teknologi dan media digital membuat masyarakat semakin kritis dan cerdas. 

Karena itu blogger perlu menjadi corong untuk mewartakan kebenaran dan kebaikan, karena masyarakat kita mudah bersatu bila ada hal-hal yang menyangkut kepentingan bersama. Alih-alih menyebar fitnah, hoax, informasi sesat dan kabar bohong, alangkah lebih baik memanfaatkan blog seperti Kompasiana untuk berbagi kabar yang menyejukan, hiburan yang melegakan, refleksi yang tulus, informasi yang mendidik, dan ulasan konstruktif yang bernilai lebih dari dollar dan rupiah dari AdSense, iklan, tautan dan bayaran apapun.
Itulah cara kita memaknai Beyond Blogging, melampaui sekadar aksi “berbagi dan berkoneksi”!

Semoga!

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana dengan judul "Menjadi Blogger Kompasiana di Era Pasca Kebenaran" untuk memanai perubahan slogan darri "Sharing.Conecting" menuju "Beyond Blogging". Terbit pada 5 Februari 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/menjadi-blogger-kompasiana-di-era-pasca-kebenaran_589705de3097737e0719b621 

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...