Setelah Chen Qingchen Terbitlah Huang Yaqiong


Lu Kai/Huang Yaqiong (kanan) juara Singapore SS 2017/@antoagustian


Banyak inspirasi yang bisa ditimba Indonesia dari Super Series Singapore Open yang baru saja berakhir, Minggu (16/4) malam. Tiada yang berhasil menembus final, sekaligus menandai kegagalan mempertahankan tradisi minimal satu gelar sejak 2010 silam, menjadi satu isyarat yang perlu kita cerna secara serius. 

Di sisi lain, lahirnya wajah-wajah baru menghiasi podium tertinggi di semua nomor menjadi kejutan lain yang mengemuka dari Singapore Indoor Stadium tahun ini. Namun para juara itu tidak muncul serta merta. Tidak ada yang meragukan kedigdayaan Tai Tzu Ying. Tunggal putri asal Taiwan ini menegaskan statusnya sebagai ratu bulu tangkis dunia dengan menyabet gelar super series kelima dalam rentang setahun terakhir.

 Istimewanya, lima gelar super series itu diraih di semua turnamen yang diikuti sejak Hong Kong Open dan Dubai Super Series Finals tahun lalu; selanjutnya All England, Malaysia dan terkini di Singapura. Tai yang baru berusia 22 tahun hanya sekali melepas trofi supe series tahun ini yakni di India Open yang direbut Pusarla V.Sindhu. Namun Tai absen di turnamen tersebut. Bila saja dirinya berpartisipasi mungkin sejarah akan menjadi berbeda lagi.

Kemenangan atas Carolina Marin di babak final Singapura Open kali ini menunjukkan bahwa pendulum kekuasaan ini benar-benar telah bergeser ke Asia Timur. Sebelum Tai meraja, Marin dan Ratchanok Intanon paling banyak disebut. Namun sekarang segala puja puji sudah menjadi milik Tai yang secara keseluruhan sudah menyabet 10 gelar super series sejak 2012 silam. 

Sementara Marin kembali gagal merebut gelar super seris pertama setelah peluang terbaik di final India Open juga lepas dari genggamannya. Kemenangan Tai atas Marin untuk keempat kali dalam empat pertemuan beruntun menegaskan bahwa mahkota ratu itu sudah sepantasnya menjadi miliki anak asuh Lai Jian-Chen, sosok penting yang selalu menemani Tai ke manapun ia bertanding.

Tidak hanya Tai yang membuat para pebulu tangkis putri kita pantas angkat topi, dan harus berjuang keras untuk mengikuti jejaknya. Di tunggal putra Sai Praneth membuat cemburu Anthony Sinisuka Ginting, Ihsan Maulana Mustofa dan Jonatan Christie. Betapa tidak, berstatus non unggulan, tunggal putra rangking 30 dunia itu mampu mencapai klimaks untuk merebut trofi super series pertamanya. Di partai final ia menggasak rekan seangkatan dari India, Srikanth Kidambi.

Kedua pemain yang sama-sama berusia 24 tahun itu adalah generasi penerus Ajay Jayaram yang selama ini berjuang sendiri di sektor tunggal putra. Bila Indonesia memiliki sekumpulan pemain muda potensial, India pun siap bersaing melalui Kidambi, Praneth dan rekan seumuran Prannoy Haseena Sunil Kumar, serta adik mereka Sameer Verma. Quartet India itu menghuni peringkat 27 hingga 30, atau tepat di belakang Ginting (26) dan Jonatan (24) serta di depan Ihsan Maulana (39).

Selain pemain muda India yang mengukir sejarah, dua pasang ganda Denmark juga tak mau kalah. Ganda putri Kamila Rytter Juhl/Christina Pedersen serta duo ganda putra, Mathias Boe/Carsten Mogensen menunjukkan bahwa usia bukan halangan. Kamila/Christinna menjungkalkan unggulan pertama Misaki Matsutomo/Ayaka Takahashi. Sementara Boe/Mogensen membuktikan kemenangan atas jagoan Indonesia, Markus Gideon/Kevin Sanjaya sudah sepantasnya berbuah gelar karena apa artinya mengalahkan unggulan pertama bila tak mampu melewati hadangan unggulan empat, Li Junhui/Liu Yuchen dari China. Kemenangan dua pasangan senior ini memastikan Denmark keluar sebagai juara umum, menggantikan status yang pernah disandang Indonesia yang tahun ini pulang dengan tangan hampa.
Mathias Boe/Carsten Mogensen (kanan) juara ganda putra Singapura SS 2017/@antoagustian
Muncul Huang Yaqiong

Kejuatan-kejutan yang  lebih tepat dibaca sebagai prestasi di atas layak diangkat. Selain guna diberi apresiasi juga menjadi kaca pengilon tempat para pemain Indonesia berkaca diri. Di samping belajar dari mereka yang telah disebut sebelumnya, patut pula menggarisbawahi sepak terjang pasangan ganda campuran China, Lu Kai/Huang Yaqiong. 

Unggulan tiga ini menyelamatkan muka negaranya dengan membawa pulang satu-satunya gelar usai mengandaskan harapan semata wayang Thailand, sekaligus penjagal dua harapan Indonesia, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai.

Gelar di Singapura ini menjadi gelar super series ketiga di tahun ini, satu di antaranya adalah All England. Keduanya adalah pesaing terkuat Zheng Siwei/Chen Qingchen di puncak rangking dunia. Prestasi mentereng Lu/Huang membuat keduanya menggeser posisi Ko Sung Hyun/Kim Ha Na dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir keluar dari dua besar. Kini China menguasai dua peringkat teratas.

Patut diketahui usia kedua pasangan itu masih muda, jauh lebih muda dari dua harapan Indonesia, Praveen Jordan/Debby Susanto serta Owi/Butet. Menariknya dua pasangan itu tidak menjadi besar dan membesarkan diri di satu nomor saja.

Chen Qingchen misalnya. Ia juga bermain di ganda putri berpasangan dengan Jia Yifan. Prestasi keduanya di nomor ganda putri pun mentereng: duduk di peringkat empat dunia. Dibandingkan Huang Dongping, Chen lebih dulu dikenal luas berkat prestasi luar biasa sepanjang tahun lalu.
Huang Yaqiong dan Li Yunhui menjadi finalis German Open/german-open-badminton.de
Meski usia Chen lebih muda empat tahun dari Huang (23 tahun), belum terlambat baginya untuk menunjukkan diri sebagai jagoan pemain rangkap. Boleh dikata setelah China melahirkan Chen, secara prestasi muncul lagi Huang.

Huang, yang merayakan ulang tahun setiap 28 Februari berpasangan dengan Li Yinhui di ganda putri. Keduanya saat ini merangsek dari peringkat 12 dunia. Seperti terlihat dari rangking dunia, prestasi terbaik Huang saat ini adalah di nomor ganda campuran.

Bersama Lu Kai keduanya terus mengasah kemampuan sebagai pasangan elit dunia. Di Super Series Premier Malaysia Open pekan lalu, keduanya sukses menembus babak final di antaranya dengan menjungkalkan Owi/Butet di babak sebelumnya. Namun sayang di partai final mereka gagal mengulangi kesuksesan di India Open saat bertemu Chen/Jia.

Huang mengalami kekalahan ganda di Malaysia. Selain gagal merebut gelar ganda campuran, bersama Tan Jinhua juga gagal menghentikan pasangan kejutan dari Jepang Yuki Fukushima/Sayaka Hirota  di final ganda putri.

Meski begitu Huan telah menginjak partai final di tiga super series pertama tahun ini, dan dua di antaranya menjadi juara. Catatan ini belum termasuk kesuksesan di Singapura. Bila ditambah tentu Anda semakin sepakat bahwa Huang pantas bersanding dengan Chen Qingchen sebagai penerus Zhao Yunlei, wanita perkasa yang sedang menikmati libur panjangnya.

Huang dan Chen menggelitik kita. Bila China sudah bisa mendapatkan penerus Zhao dalam waktu singkat (tentu dalam kurun waktu setelah Zhao pensiun), mengapa rencana Indonesia untuk mengintensifkan pemain rangkap masih sebatas wacana? 

Kita hanya bisa mereka alasannya sambil sabar menanti kapan PBSI benar-benar menerapkannya secara masif, terstruktur dan sistematis. Tentu tidak mudah memberi kesempatan kepada para pemain untuk bermain rangkap bila tidak memiliki dasar persiapan yang kokoh terutama soal stamina sejak dini. Yang bisa dilakukan dengan para pemain yang sudah jadi adalah membongkar pasang dengan pasangan atau sektor lain. 

Namun faedah bermain rangkap tak bisa dinafikan. Selain stamina sebagai syarat sekaligus modal, kekayaan taktik dan skill bermain jelas menyata. Fariasi pukulan dan keterampilan menguasai lapangan pertandingan misalnya adalah kekayaan yang jarang dimiliki oleh pemain ganda yang hanya berkutat di satu nomor saja.
Semoga setelah China melahirkan Chen dan Huang, Indonesia pun bisa segera mengambil langkah segera agar prestasi bulu tangkis kita tidak hanya bergantung pada nomor tertentu saja dan selebihnya berakhir di pintu harapan.

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 16 April 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing