Gaji Pertama (Pasti) Selalu Terbayang


Ilustrasi dari uangteman.com


Saya tidak ingat kapan persis mendapat gaji pertama. Pengertian gaji pertama juga sedikit membingungkan. Biasanya gaji pertama kerap diidentikan dengan upah pertama dari pekerjaan kantoran, atau setidaknya pekerjaan tetap. Mungkin karena itu pula orang yang bekerja di kantor atau dengan status pekerja tetap biasanya didudukan pada “tingkat” tertentu, untuk mengatakan lebih tinggi dari yang sebaliknya. 

Kesan tersebut masih kuat bercokol dalam benak banyak orang. Apalagi yang merasa bahwa menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) mislanya, adalah cita-cita dan orientasi yang patut diperjuangkan. Dan bila telah mendapatkannya maka akan mendapat tempat tersendiri dalam ruang sosial kemasyarakatan. 

Saban tahun tingkat permintaan untuk menjadi PNS tidak pernah berkurang, jika tidak ingin dikatakan terus meningkat. Pola pikir PNS-sentris masih kuat tertanam sehingga barisan pencari kerja terus mengular saban tahun. Entah kapan tempo permintaan tersebut berkurang. Hanya moratorium yang bisa menghentikannya.
Namun dengan tanpa menjadi orang kantoran atau punya pekerjaan tetap pun bisa mendapat upah. 

Pekerjaan jenis ini juga patut diapresiasi dan didudukan sama tingginya. Bisa jadi orientasi PNS itulah yang mengerangkeng kreativitas dan inisiatif utuk berani bertarung sebagai pekerja swasta, atau setidaknya pekerja lepas sekalipun. Toh sebagai pekerja swasta pun pada titik tertentu bisa menjadi pekerja tetap dengan jaminan hidup dan garansi hari tua yang tak kalah menggoda, atau bahkan jauh lebih menggiurkan sebagai abdi negara.

Saya sudah merasakan kedua jenis itu. Maksudnya orang kantoran dan orang yang bukan pekerja tetap. Meski sama-sama mendapat upah berupa uang dan kompensasi lainnya, sensasi dan perasaan tentu berbeda. Sebagai orang kantoran selain mendapat upah, setidaknya peluang untuk mendapatkan upah yang sama, dengan besaran yang sama, akan terjadi lagi di bulan berikutnya. Begitu seterusnya, dengan tingkat perubahan yang disesuaikan, selama masih terikat dengan pekerjaan tersebut.

Sementara sebagai pekerja lepas apa yang saya dapat kali ini belum tentu akan berulang di bulan berikutnya. Ketidakpastian itu memang relatif. Selama saya bisa menyiapkan segala sesuatu dan memenuhi tuntutan untuk mendapatkan yang sama, peluang untuk berulang lagi di bulan berikutnya sama besarnya. Selain bisa lebih kecil atau bahkan tidak sama sekali, bisa pula sebaliknya, menjadi lebih besar. Sekali lagi, dalam status sebagai pekerja lepas semua itu tergantung selain dari peluang juga kreativitas dan kerja keras.

Terlepas dari dikotomi itu, kembali lagi pada rasa dan sensasi, saat mendapat gaji pertama perasaan terkuat tentu senang. Bahagia sekaligus, bila antara dua kata itu memiliki nilai rasa berbeda. Kebahagiaan karena keringat dan jerih lelah diapresiasi, berwujud lembaran-lembaran rupiah. Rupiah tersebut bisa saya pergunakan untuk membeli sesuatu yang saya inginkan, atau yang sedang diperlukan orang-orang terdekat. 

Ketika ada yang merasakan buah dari pekerjaan itu saya merasa berarti. Saya bisa berguna bagi yang lain. Meski jumlahnya tidak seberapa, dan bentuk pemberian dari pendapatan belum benar-benar optimal untuk memenuhi dan memuaskan segala.

Gaji pertama saat itu saya pergunakan untuk dua kebutuhan. Pertama untuk diri sendiri. Kedua, dibagikan separuhnya kepada keluarga. Untuk diri sendiri, selain ditabung, juga memenuhi kebutuhan sehari-hari, meski harus ekstra irit. Sementara untuk keluarga saya tidak terlalu peduli untuk apa uang itu mereka pergunakan.

Tidak lupa saya sisihkan beberapa lembar sepuluh ribuan untuk membeli sebuah buku. Membaca dan menulis adalah bagian dari menu sehari-hari saya sejak sekolah menengah atas. Ketika sudah berpenghasilan, anggaran untuk membeli buku selalu dialokasikan. Hitung-hitung buku adalah bagian dari investasi, selain berupa pengetahuan dan wawasan, juga masuk inventarisir koleksi yang bisa dipakai kembali, tentu selama itu bisa dijaga dengan baik. Ah tentang buku jangan kau tanya bagaimana saya menjaga dan memperlakukannya.

Kini gaji pertama itu telah berubah menjadi gaji kedua, ketiga, dan seterusnya hingga tak lagi sanggup kuhitung jumlahnya. Meski begitu menyebut gaji pertama akan menimbulkan getaran tersendiri. Bayang-bayang perjuangan mendapatkan gaji pertama itu masih selalu membekas. Mungkin karena itu ia selalu berdiam dalam kenangan, dan mewujud semangat dalam setiap denyut perjuangan.  

Satu atau pertama itu selalu berkesan, ia adalah awal abjat dan pembuka segala.Ketika lelah menyerang, atau buntu menyergap setelah sekian lama melangkah dan sekian banyak berjuang, melihat kembali ke titik berangkat itu perlu. Setidaknya itu pengalaman saya hingga kini.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing