Gagal di China, Bukti Indonesia Belum “Move On” dari Marcus/Kevin


Praveen Jordan/Debby Susanto/badmintonindonesia.org


Bagaimana Anda menilai penampilan para pemain Indonesia di Kejuaraan Bulu Tangkis Asia atau Badminton Asia Championships 2017? Tidak ada satu pun wakil Merah Putih di babak semi final yang dipertandingkan hari ini di Wuhan Sports Center Gymnasium, China. Bahkan sejak babak perempat final, Indonesia hanya mampu mengirim satu wakil. Praveen Jordan dan Debby Susanto adalah harapan semata wayang kita. Tetapi pasangan ganda campuran ini gagal memenuhi harapan.

Suka tidak suka, turnamen ini adalah kaca pengilon, tempat kita berkaca diri untuk melihat seperti apa rupa bulu tangkis kita saat ini. Absennya dua pasangan andalan, Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo (ganda putra) dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (ganda campuran), sejatinya menjadi kesempatan mengukur sejauh mana para pemain pelapis menunjukkan diri. Dengan kata lain, sejauh mana kekuatan mereka bersaing dengan para jagoan dari negara lain.

Ternyata harapan Indonesia pada kedua jagoan itu masih terlalu kuat untuk dialihkan kepada para penerus. Di nomor ganda putra Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi  belum mendapat hasil maksimal. Pasangan dengan peringkat terbaik kedua di belakang Marcus/Kevin ini  keok di babak kedua. Mereka kalah dari Takuro Hoki/Yugo Kobayashi  asal Jepang, 15-21, 15-21.

Ganda campuran lebih mengkhawatirkan. Sulit membayangkan bila Owi/Butet, sapaan Tontowi/Liliyana, tiba-tiba mengestafetkan kepercayaan kepada para penerus. Praveen/Debby sebagai harapan terbesar belum juga mendapatkan performa puncak yang telah lama hilang.

Tahun 2016 menjadi tahun penuh harapan bagi Praveen/Debby. Keduanya sukses merengkuh  gelar India Open Grand Prix Gold dan mencapai puncaknya di All England. Di tahun yang sama Owi/Butet menjaga tradisi emas Olimpiade di Rio de Janeiro. 

Namun setelah berganti tahun, performa Praveen/Debby menurun. Di turnamen All England alih-alih mempertahankan gelar, keduanya langsung terhenti di babak pertama. Berlanjut di turnamen super series premier kedua di Malaysia. Sedikit lebih baik dari All England, di Kuching mereka mampu bertahan hingga babak kedua. 

Berlanjut di Swiss, keduanya mampu mencapai final. Sayang di turnamen level grand prix gold ini mereka antiklimaks. Keduanya gagal di partai puncak. Sepekan sebelumnya di Singapore Open, Praveen/Debby berusaha memperbaiki kesalahan. Sukses hingga ke perempat final, namun gagal melangkah lebih lanjut.
Di Kejuaraan Asia yang sedang berlangsung nasib serupa terjadi lagi. Ditempatkan sebagai unggulan lima, keduanya gagal meladeni permainan pasangan non unggulan Wang Yilyu/Huang Dongping. Pasangan tuan rumah yang juga memiliki pengalaman bermain rangkap ini mampu meredam serangan dan balik menekan wakil Indonesia. 

Praveen/Debby sempat unggul jauh di interval pertama babak kedua, 11-5. Namun keduanya gagal mempertahankan konsistensi. Beberapa kesalahan sendiri seperti pengembalinan bola dari Praveen yang kerap melebar memberi kesempatan kepada lawan mengejar ketertinggalan dan balik memimpin. Laga berdurasi 52 menit itu berakhir dengan skor 22-24,19-21.

 Praveen/Debby mengakui penurunan performa mereka. Pertahanan tak lagi kokoh, tak seperti pasangan China yang kuat saat diajak beradu dan siap merapatkan pertahanan saat diserang. Tak kalah penting konsistensi di saat-saat penting. 

Hal ini menunjukkan bahwa ada PR besar harus segera dikerjakan. Perbaikan mendasar mesti diambil bila keduanya ingin mengambil peran Owi/Butet. Cepat atau lambat seiring tingkat kebugaran dan ketahanan fisik Butet yang terus tergerus usia regenerasi sektor ini sudah harus membuahkan hasil. 

 “Memang harus ada perbaikan dari diri kami masing-masing. Baik dari segi teknis maupun non teknis. Pokoknya di semua aspek, bahkan sampai di segi fisik juga,” aku Praveen kepada badmintonindonesia.org.

Setali tiga uang di tunggal

Hal serupa terjadi juga di nomor-nomor lain. Di ganda putri Indonesia masih terus mencari sosok seperti Greysia Polii dan Nitya Krishinda Maheswari. Rupanya tidak mudah memang. Absennya Anggia Shitta Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istarani di Kejuaraan Asia kali ini asa meraih prestasi masih jauh panggang dari api.

Di sektor tunggal pun setali tiga uang. Di tunggal putra, selain Jonatan Christie yang batal bertanding, para pemain muda lainnya seperti Anthony Sinisuka Ginting dan Ihsan Maulana Mustofa belum mampu berbicara banyak.

Buktinya Anthony sudah harus angkat kaki di babak pertama. Ia dijegal pemain Jepang Takuma Ueda setelah bermain rubber game,  13-21, 21-10, 17-21. Begitu juga Ihsan Maulana Mustofa belum mampu melewati pemain andalan Taiwan Chou Tien Chen. Ihsan juga kalah dalam persaingan tiga set, 16-21, 21-17, 13-21.

Asisten Pelatih Tunggal Putra PBSI, Irwansyah menilai persoalan utama yang terjadi pada anak didiknya bukan terutama pada hal-hal teknis. Mental dan kepercayaan diri mereka masih harus diasah dan ditempa.
Irwansyah memberi contoh. “Misalnya, Anthony yang sudah unggul jauh seharusnya bisa menang. Strategi sudah bagus, tetapi di akhir banyak membuat kesalahan sendiri.”

Kurang sabar di saat-saat kritis ditambah lagi kepercayaan diri yang mudah luntur saat bertemu para pemain unggulan. Menurut Irwansyah mental anak didiknya  mudah goyah. Mereka sudah langsung ciut sebelum bertanding. 

“Mereka juga belum yakin bahwa mereka bisa, mikirnya lawan lebih kuat dan lebih tahan. Padahal mereka tidak kalah kuat.”

Hal ini mengundang kekhwatiran tersendiri, sekaligus memantik strategi tersendiri untuk mempertebal faktor non teknis. Sejauh ini jam terbang para pemain muda tersebut di turnamen level super series sudah memadai. Namun hasilnya belum terlihat.

“Memang walaupun Ihsan dan Anthony pengalamannya sudah lumayan banyak di level super series, tetapi permainannya masih belum matang, masih banyak yang harus diperbaiki.” 

Bagaimana tunggal putri? Tiga wakil Indonesia langsung gugur di babak pertama. Mereka adalah Hanna Ramadini, Fitriani dan Dinar Dyah Ayustine. Para pemain unggulan masih menjadi mimpi buruk bagi para pemain muda Indonesia. Tidak hanya bertekuk lutut, skor pertandinganpun sungguh menyayat hati.

Hanna misalnya tak bisa berbua banyak saat bertemu Sung Ji Hyun. Jagoan asal Korea Selatan itu hanya memberi masing-masing 5 dan 9 poin kepada Hanna dengan skor akhir 5-21, 9-21. Begitu juga Dinar saat bertemu unggulan empat P.V Sindhu. Pemain muda India ini menang mudah, 8-21,18-21.

Nasib serupa juga dialami Fitriani. Ironisnya bukan menyerah di tangan pemain unggulan tetapi sesama non unggulan. Fitri dikalahkan pemain Vietnam Vu Thi Trang  dua game langsung. Coba perhatikan skor akhirnya, 13-21, 8-21.

Tidak hanya publik Indonesia yang merasa tak puas. Asisten Pelatih Tunggal Putri Utama Minarti Timur tentu lebih kecewa. Para pemain tidak bisa mengeluarkan performa terbaik. Hanna sedikit bermasalah dengan cedera siku tangan sehingga cukup mempengaruhi penampilannya. Tetapi secara umum semua pemain jauh dari harapan.
Fitriani/badmintonindonesia.org

 “Fitri tidak bisa keluar mainnya, banyak ragu-ragu sehingga ini berpengaruh pada akurasi bola. Sedangkan Dinar tak bisa mengimbangi kecepatan lawannya saat ia mau main cepat di game pertama, di game kedua baru berani main reli balik serang,” beber Meme, sapaan Minarti, memberi evaluasi.

Indonesia pun harus pulang dengan tangan hampa. Target yang dipatok PBSI gagal terwujud. Ini alarm bagi PBSI agar lebih keras bekerja bila tidak ingin semakin tertinggal dari negara lain. Tiongkok yang merajai turnamen ini menjadi contoh baik tentang regenerasi.

Jangan sampai kita terlena dengan prestasi segelintir pemain sehingga abai pada regenerasi. Di ganda putra, Marcus/Kevin sedang menikmati bulan madu di puncak rangking dunia. Situasi ini mesti dimanfaatkan oleh pasangan-pasangan lain yang tidak sedikit jumlahnya untuk menempel prestasi duo Minions itu. Namun yang terjadi di Wuhan, Indonesia seperti belum bisa “move on” dari pasangan liliput itu untuk memberi kebanggaan.

Sementara di sektor-sektor lain yang belum menampakkan hasilnya pekerjaan rumah tentu lebih besar lagi. Tidak mudah memang mengejar ketertinggalan dari Thailand misalnya yang sudah sedemikian maju di sektor putri.

Terlepas dari semua itu, anggap saja ini menjadi ajang mengukur peta kekutan Indonesia tanpa para pemain utama. Sekaligus pemanasan jelang kejuaraan bergengsi yang akan dihelat di Gold Coast, Australia, Mei mendatang. Piala Sudirman 2017 adalah salah satu target utama tahun ini. Semoga kita tidak kecolongan lagi.

 Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana 29 April 2017. http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/gagal-total-di-china-bukti-indonesia-belum-move-on-dari-marcus-kevin_59043a54e2afbd0e274c7dae

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...