Jaket untuk Ayah


Ilustrasi ayah dan anak/www/alfahmu.com

Pameo, atau apapun namanya, “surga di telapak kaki ibu” menuntut kita untuk menaruh hormat pada ibu. Tetapi sebaik-baik dan sehormat-hormatnya kita pada ibu, kita tidak bisa mendepak seorang ayah begitu saja. Kehadiran kita (sebagai individu) adalah proyek bersama ayah dan ibu dan seperti apa kita ditentukan pula oleh kerja sama keduanya.

Dalam pola keluarga tradisional, ayah ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Ia menempati ordinasi utama dengan segala kuasa dan keistimewaan. Tanggung jawab besar pun mengiringinya. Sementara ibu berada pada posisi subordinat yang peran dan tanggung jawabnya terwakili dalam pameo 3 M: masak, macak, manak atau memasak, berdandan dan melayani suami. 

Pola arkais itu kemudian menghadirkan banyak konsekuensi. Termasuk mendatangkan pandangan hingga pertentangan oleh kaum antipatriarki. Bahwa ayah menempati sumbu utama diterjemahkan sebagai bentuk dominasi dan penguasaan budaya patriarkhi. Karena itu budaya bapakisme itu perlahan-lahan dilawan, untuk mengatakan diganti dengan pandangan yang lebih setara, egaliter, sebagaimana perjuangan atas nama keadilan dan gender.

Saya adalah salah satu saksi hidup pola keluarga tradisional itu. Bertempat tinggal jauh dari pusat kemajuan ekonomi, yang diasumsikan lekat dengan serba kemajuan termasuk pola pikir, semakin menempatkan pola tersebut dalam status quo kemapanan. Ia dihidupi, dihayati dan terus diwariskan. Dan sejak lahir, meniti masa kanak-kanak, berkembang menjadi remaja dan berubah dewasa, pola seperti itu menjadi seperti darah dalam tubuh. Ia tak kelihatan, tetapi ada. Ia tak dipertanyakan, tetapi diterima sebagai kebenaran untuk kehidupan.

Sampai bertahun-tahun menikmati masa dewasa saya masih merasakan hal yang sama. Pengetahuan dan kesadaran kritis yang ada kerap membuat saya ingin mempertanyakan, bila perlu menggugat pola seperti itu. Didorong oleh nalar dan kesadaran baru saya ingin memberikan hawa baru ke dalam kehidupan ayah dan ibu. 

Tetapi kemudian pada titik tertentu saya akhirnya harus memastikan relevansinya bagi kedua orang tua itu. Toh, saat ini anak-anak mereka sudah memilih jalan sendiri-sendiri. Dan di rumah sederhana, nun jauh di Timur Indonesia, keduanya adalah sepasang merpati yang terus memelihara kesetiaan tanpa akhir. Hingga saat ibu mendahului ayah beberapa tahun lalu. 

Selain  tak ada gunanya mengkampanyekan, apalagi menggelorakan hasrat membongkar kemapanan, pola seperti itu muncul dari situasi khas. Hampir tak jauh beda dengan zaman masyarakat agraris, ayah adalah pencari nafkah utama. Sebagai pegawai negeri sipil hampir separuh hari menjadi abdi negara. Sementara ibu tak bisa berbuat apa-apa dengan kehadiran empat putranya yang lahir dalam selang waktu tidak berbeda jauh. 

Angin perubahan yang menerpa budaya, sosial dan strategi ekonomi baru datang kemudian. Dampak perubahan pola pengasuhan dengan apa yang disebut pembagian kekuasaan (power sharing) baru terjadi belakangan setelah kami, keempat putra, sudah tidak menjadi anak-anak lagi.

Memang keluarga kami sederhana dalam ekonomi dan tradisional dalam penghayatan kehidupan. Tetapi di balik kesahajaan itu ada rasa syukur tersendiri, tak semata-mata kutuk atas keterlambatan paparan perubahan. Bagaimanapun ibu dengan peran domestiknya, dan ayah yang berkuasa itu telah memberi andil menjadikan saya seperti sekarang. Kelembutan, dan kesabaran ibu di satu sisi dan ketegasan dan kegigihan ayah di sisi lain adalah dua sisi dari mata uang pembentuk saya hari ini. Setiap tatapan tajam dan terkadang lecutan kecil adalah faktor penyeimbang ketenangan dan sikap menurut ibu.

Ah, nostalgia masa lalu ini membuat saya menjadi melankoli. Membuka, sambil sedikit melakukan pembenaran itu tidak lebih dari kilas balik yang membuat saya merasa bahwa ayah yang masih hidup hingga sekarang adalah anugerah yang patut disyukuri. Ini alasan yang membuat rasa cinta saya semakin bertambah dari waktu ke waktu, terlebih setelah hidup dengan satu kaki, dengan satu sayap pasca kepergian belahan jiwanya, ibuku.

Pernah suatu ketika, saya lupa kapan tepatnya, dalam pembicaraan telepon, ayah mengutarakan keinginannya. Ayah adalah sosok yang sangat berpegang teguh pada keayahannya bahkan hingga hari tuanya. Seberapa besar gaji anak-anaknya, seberapa sejahtera hidup buah-buah hatinya, ia tetap merasa diri sebagai ayah yang pantang meminta. 

Entah angin apa yang merasukinya saat itu. “Nak bapak tadi sempat berjalan-jalan di pertokoan,” ia membuka percakapan. “Terus pak,” sahutku penasaran. 

“Bapak sudah putar-putar sampai ke penjual Padang tetapi tidak ada,”lanjutnya. 

Di kota kabupaten pertokoan jangan dipikir seperti deretan ruko di Jakarta. Penjual Padang mengacu pada para pedagang asal Padang yang ramai mencari peruntungannya di sana. 

Aku makin penasaran. Lantas kutanya lagi, “Bapak cari apa sebenarnya?”

Setelah menarik nafas ia menjawab. “Bapak mau beli jaket.”

“Oh, bukannya bapak sudah punya beberapa jaket. Kan ada yang tebal,” aku coba menyelidik.
Setelah menutup pembicaraan aku sempat tercenung. Mengapa aku harus menyelidik ayahku seperti itu. Ada rasa bersalah karena jaket-jaket yang dikenakannya saat ini adalah pembeliannya sendiri. 

“Bapak mau yang berbentuk sweater motifnya seperti tentara. Tetapi bisa dibolak-balik.”

Ayahku bukan tipe lelaki yang terlalu peduli pada penampilan. Aku tahu itu.Tetapi ia juga berhak untuk mengenakan apa yang diinginkan dengan rasa nyaman dan senang. Di sini tanggung jawab saya untuk memenuhi keinginan dan mendatangkan rasa senang itu.

Meski tidak langsung mengutarakan harapannya agar aku membantu mencarikan untuknya, deskripsi perjuangan dan keinginan itu jelas mengarah padaku. Di Jakarta tersedia banyak pilihan yang membuatnya bisa leluasa menjatuhkan pilihan. 

Aku tersenyum kecil seperti ada kemenangan kecil. Inilah saatnya aku berbuat sesuatu untuknya. Bukan karena selama ini aku tak pernah berbakti, tetapi mewujudkan keinginan dan harapan yang secara langsung diutarakan, meski masih dikuasai aura superioritasnya.

Perburuan pun dimulai. Berada di Jakarta, episentrum segala kemajuan, kata tersebut lebih tampak sebagai perjuangan memilih dan memilah dari sekian banyak opsi yang ada. Pada titik ini saya pun menjadi bingung, dari mana perburuan itu di mulai.

Aha, eureka.Bila ratusan tahun lalu di zaman Yunani Kuno Archimedes mengucapkan kata itu sebagai respon atas penemuannya. Hari ini kata yang berarti “aku menemukan itu adalah ekspresi kegembiraan atas penemuan jalan untuk mendapatkan pesanan ayah. 

Mengapa harus bersusah-susah mencari ke sana kemari? Berapa banyak waktu yang harus dihabiskan di jalan, bermacet ria dan berdesak-desakan di pusat perbelanjaan? Bila sudah tersedia tempat serba ada yang bisa dijangkau dengan tanpa mengeluarkan banyak energi,  dengan kendali dalam genggaman, mengapa harus melakoni pencarian rumit itu?

Dalam hitungan menit, dengan sekali klik pesanan ayah sudah tergerai di hadapan. Keberadaan elevenia benar-benar tepat waktu dan tepat situasi. Berbagai pilihan tersedia, lengkap dengan deskripsi yang memudahkan saya berkomunikasi dengan ayah untuk mendapatkan pilihannya.

Untuk jaket yang dicari saya mendapatkan pilihan pada jaket sweater parka. Dari bahan terbaik, hadir dengan sejumlah pilihan warna dasar seperti hitam dan putih dengan sejumlah kombinasi seperti merah-hitam, biru dan abu-abu, abu-abu dan merah, abu-abu dan toska serta masih banyak lagi. 
Ini jaket yang rencananya menjadi persembahan saya untuk ayah.
Selain pilihan warna beragam, produk ini dilengkapi penutup kepala yang bisa dibuka. Lebih penting lagi, tersedia dalam banyak ukuran. Makin pas bagi saya karena juga menjangkau ukurang tubuh ayah saya, XL.
Desainnya sangat kekinian, semoga membuat ayah menjadi lebih muda. Karet di bagian pergelangan tangan dan bagian bawah jaket serta resleting yang membelah kedua sisi benar-benar proporsional. lebih istimewa lagi ia bisa dibolak-balik.

Pilihan dan deskripsi memadai semakin terbantu dengan kehadiran fitur-fitur yang membantu. Bila Anda ingin mendapatan ukuran dan warna terbaik, silahkan Anda mengklik kolom “opsi produk” untuk menghadirkan ragam pilihan lengkap dengan ukuran.

Proses transaksi pun bisa segera berlangsung dengan terlebih dahulu memastikan ongkos kirim plus harga barang yang tentu saja setelah mendapat diskon atau potongan yang lumayan. Setelah itu klik “beli sekarang” untuk menyelesaikan semua proses. Dalam waktu beberapa hari barang akan tiba dialam yang dituju. 

Begitulah cara yang saya pakai untuk mendapat jaket untuk ayah. Apakah Anda ingin mencoba mendapatkan barang untuk orang-orang kesayangan Anda? Silahkan saja....

Nama barang
SWEATER PARKA CR7 ELBOW BB BOLAK-BALIK COMBY FLEECE
Keterangan
High wuality
Ukuran
L to XL

119 X 65 cm
Pilihan warna
Hitam, navy, marun, dan berbagai kombinasi
Pembayaran
Transfer, voucher juga cicilan kartu kredit 0%
Harga setelah diskon
Rp 105.000


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing