Sepak Bola Wanita Indonesia dalam Kumpulan Terbuang


Ilustrasi sepak bola wanita/kompas.com

Mati suri sepak bola Indonesia selama setahun benar-benar membuat kita kehilangan banyak hal. Tidak semua itikad baik katakanlah sebagai momentum introspeksi, evaluasi hingga reformasi total terbayar lunas. Satu dari berbagai dampak yang tidak bisa tidak diakui sebagai tumbal dari pembekuan itu adalah sepak bola wanita.

Sepak bola wanita yang kurang diperhatikan benar-benar mencapai puncak kekelamannya saat itu.  Saat itu para pemain wanita profesional yang jumlahnya sedikit menjadi semakin tersandera dalam ketidakpastian. Belum lagi soal kompetisi dan pembinaan dengan riwayat yang bisa Anda duga sendiri.

Rangking dunia terbaru, dirilis FIFA pada Jumat, 24 Maret lalu menyimpulkan semua itu. Dari 183 negara yang terdaftar, Indonesia bukan hanya menurun dalam peringkat, tetapi lebih parah dari itu, tidak mendapat peringkat sama sekali. 

Nasib Indonesia sama seperti Argentina dan 35 negara lainnya. Nama tetap tercantum tetapi tidak ada keterangan yang menunjukkan di posisi berapa negara-negara malang itu. Sebagai gantinya, dan bisa jadi ini menjadi satu-satunya atribut yang membuat nama ke-36 negara itu sedikit terangkat, selain tetap terdaftar, juga kehadiran dua bintang (**) di depan setiap negara. 

Bintang kembar itu membuat orang yang melihat daftar itu tidak lantas larut dalam keprihatinan, tetapi menjadi mafhum bahwa negara-negara itu mendapat apa yang pantas didapat. Sungguh tidak adil, dan jelas mustahil, mendapat poin dan peringkat tertentu bila sama sekali tidak terlibat dalam pertandingan internasional. 

Indonesia dan Argentina berdiri sejajar dalam senasib sepenanggungan dengan beberapa negara di kepulauan Pasifik yang nama dan kehadirannya sama asingnya dengan Cook Island bagi sebagian orang, merasakan akibat dari mati suri tanpa aktivitas apa-apa lebih dari 18 bulan.

Lebih jelasnya keterangan FIFA demikian, “inactive for more than 18 months and therefore not ranked.” Artinya negara-negara tersebut entah sengaja atau tidak membiarkan tim nasional wanitanya tidak beraktivitas sama sekali. 

Dalam konteks sepak bola Indonesia alasannya jelas. Tetapi keterangan “lebih dari 18 bulan itu” (lebih dari satu setengah tahun) benar-benar mengafirmasi kesimpulan sementara di atas. Sepak bola wanita di level tim nasional sekalipun lebih dulu “mati” bahkan sebelum surel dari Komite Eksekutif FIFA yang ditandatangani Sekretaris Jenderal FIFA Jerome Valcke sampai di kotak masuk Sekjen PSSI saat itu Azwan Karim untuk disampaikan ke PSSI dan diwartakan ke seluruh pencinta sepak bola Indonesia tentang kabar buruk itu.

Jerman teratas

Dalam posisi persis bertolak belakang dengan Indonesia dan kumpulan “yang terbuang” itu, Jerman untuk pertama kalinya berada di puncak. Ini menjadi kabar gembira bagi Eropa dan dunia yang telah menantikan kejatuhan Amerika Serikat sejak Maret 2015. 

Meski begitu AS tidak langsung terjun bebas dan jatuh tersungkur. Negara Paman Sam itu hanya turun satu tingkat dengan selisih poin yang amat tipis. Jerman yang merupakan jawara Eropa mengemas 2108 poin sementara “Stars and Stripes” hanya mampu menuai 2105 poin. Bagi AS ini merupakan peringkat terendah sejak pemeringkatan dibuat. Artinya jelas, kedigdayaan AS sebagai Negara Adidaya sampai pula ke urusan sepak bola putri.

AS pun harus merelakan takhta itu kepada penguasa baru. Seperti terurai di fifa.com, hal ini tidaklepas dari performa kurang meyakinkan dalam tiga bulan terakhir baik di laga-laga persahabatan maupun turnamen invitasi. Di posisi ketiga ada Prancis yang nyaris tak pernah beranjak dari tempat tersebut. Jaraknya pun dekat, 36 poin saja. Jarak tipis antara tiga peringkat teratas adalah rekor baru sejak Desember 2004.

Seperti Jerman, Spanyol pun menorehkan catatan tersendiri. Juara Algarve Cup ini berhasil menginjak tangga tertinggi yang pernah diraih, menempati peringkat 13 dengan total 1885. Spanyol berada di belakang Belanda, Norwegia dan Korea Utara di peringkat 10.

Brasil tidak berubah di posisi sembilan. Tim Samba membuntuti Australia yang turun dua peringkat dan Swedia yang bergerak berlawanan dengan Negeri Kangguru itu. Meski tidak signifikan, Inggris naik satu peringkat menggeser posisi Kanada di peringkat empat. Walau berada di peringkat lima nasib Kanada jauh lebih baik dari Italia yang turun tiga peringkat ke peringkat 19.

Di level Asia, tiga negara menghuni 10 besar. China yang berada di peringkat 14 dan Korea Selatan tiga tingkat di belakangnya mengekor di belakang Korea Utara, Australia dan Jepang yang berperingkat tertinggi, 6.
Asia Tenggara? Langsung saja Thailand di peringkat 29 disusul Vietnam di posisi 33. Tetangga sedaratan, Singapura berada di peringkat 92, berada di belakang Malaysia (79). Timor Leste dan Laos sekumpulan dengan Indonesia.
Indonesia dan 35 negara lainnya tidak mendapat peringkat/fifa.com
Fajar harapan

Mendapatkan Afganistan, Bhutan dan Azerbaijan berhasil mengatasi kemelut domestik untuk kembali ke jajaran negara-negara berperingkat jelas mencolek hati yang peduli dengan sepak bola Indonesia. Entah apa rasa yang kemudian mengemuka, namun yang pasti harapan yang sama dilambungkan untuk sepak bola putri di tanah air. Kapan timnas wanita Indonesia diakui keberadaannya tidak hanya sebatas anggota saja? Kira-kira demikian inti kegundahan.

Tiga bulan dari sekarang FIFA akan kembali memperbaharuai peringkat yang hasilnya akan diumumkan ke publik pada 23 Juni mendatang. Kita tentu berharap Indonesia sudah kembali mendapat apa yang selayaknya diperoleh. Sebuah bangsa besar dengan lebih dari 240-an juta jiwa dengan populasi terbesar adalah perempuan setidaknya memiliki angka di tabel peringkat. 

Memang tidak mudah membangun tim nasional yang tangguh yang tidak hanya sekadar mendapat peringkat. Bila berorientasi rangking semata maka tinggal saja mengagendakan jadwal pertandingan sebanyak-banyaknya. Tapi dari mana datangnya para pemain? Mudah saja. Layangkan surat panggilan ke daerah-daerah, itu pun kalau ada. Bila tidak meminta para pemain futsal berpindah ke lapangan besar. Selesai perkara.

Tetapi yang sedang kita cari bukan itu. Bukan pembentukan tim nasional yang instan di atas kerapuhan pembinaan dan regenerasi. Bukan pula teragendanya pertandingan internasional secara rapi namun jadwal kompetisi domestik amburadul, malah tidak tertata sama sekali karena minim atau bahkan ketiadaan kompetisi. 

Belum lama ini terselenggara Invitasi Sepak Bola wanita bertajuk “Piala Putri Nusantara 2017".  Turnamen gagasan PSSI ini dibuat untuk memaknai Hari Perempuan Internasional. Sekitar 10 tim yang mewakili Asprov ambil bagian: Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY Yogyakarta, Papua, Banten, Riau, dan Papua Barat plus empat tim undangan. Sejak 8 hingga 14 Maret turnamen kecil itu bergulir di Stadion Gelora Bumi Kartini, Jepara, Jawa Tengah.

Sasaran dari turnamen itu adalah memantik hadirnya liga sepak bola putri di Indonesia yang tentu saja memacu klub-klub atau daerah-daerah menggerakan pembinaan para pemain putri. Pada waktunya nanti para pemain terpilih akan mewakili Indonesia di sejumlah turnamen internasional.

Tentu saja terselenggaranya turnamen  walau jauh dari publikasi luas ini menjadi kabar baik. Ibaratnya oase di tengah kegersangan sepak bola wanita dalam negeri. Lebih tepat lagi fajar harapan kebangkitan sepak bola putri.  

Namun contoh baik itu perlu disambut dengan turnamen atau kompetisi resmi lainnya, didukung oleh sistem dan regulasi yang jelas, serta ditopang oleh pengurus dari tingkat tertinggi hingga terendah yang terorganisir  dan kapabel dengan kinerja yang bisa diandalkan. 

Tentu sulit mengharapkan kemajuan bila membiarkan Esti Puji Lestari, CEO Persijap Jepara bekerja sendirian menyelenggarakan turnamen seperti Piala Putri Nusantara itu. Begitu juga hanya menaruh asa tinggi dan ekpektasi lebih pada Papat Yunisal sebagai satu-satunya anggota komite eksekutif PSSI untuk menggedor kesadaran induk organisasi sepak bola nasional itu untuk membagi perhatian sama besar dan adil antara putra dan putri.  

Semua harus bergerak. Siapa yang menginisiasi? Jawaban atas pertanyaan ini yang sekaligus menjadi harapan yakni PSSI dengan pengurus baru yang tentu saja diasumsikan memiliki semangat, mentalitas, orientasi, keberpihakan dan komitmen yang berbeda dengan era kegelapan sebelumnya. 

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 3 April 2017.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/sepak-bola-wanita-indonesia-dalam-kumpulan-terbuang_58e1e91ebf22bde7098c0e00 

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing