Inspirasi Si Manusia Milenium


Ilustrasi sinetron Panji Manusia Milenium/lewatmana.com

Saya lahir dan dibesarkan bukan dalam keluarga berada, termasuk memasukan televisi sebagai salah satu perkakasnya. Ini tidak berarti tidak ada televisi di rumah kami. Ada, tetapi dinikmati seperlunya saja. Bila tidak menjadi sumber informasi bagi ayah, sesekali di saat senggang setelah pulang sekolah kami menyempatkan diri duduk di depan televisi. 

Tonton di malam hari? Jarang. Saya ditakdirkan lahir di daerah berhawa dingin. Curah hujan tinggi dengan tingkat kedinginan yang kian menusuk selepas matari pamit ke peraduannya. Jarang ditemui keluarga-keluarga di sekotar yang masih menyalakan televisi selepas pukul tujuh malam. Bila ada bisa dipastikan di rumah tersebut sedang ada hajatan.

Situasi seperti ini memberikan keuntungan tersendiri bagi saya. Dengan tidak bergantung sepenuhnya pada televisi, bukan berarti televisi tidak bermanfaat sama sekali, saya bisa menghabiskan waktu lebih banyak untuk membaca atau bermain dengan teman-teman. Tradisi membaca dan berdialog rutin,walau cuma sekadar bercerita atau berbagi pengalaman di antara anggota keluarga, dengan sendirinya tumbuh. Tidak bergantung pada televisi memungkinkan kami bisa lebih intens berkomunikasi muka dengan muka.

Meski begitu televisi tidak benar-benar kami kucilkan. Naluri kanak-kanak tetap menari-nari dalam diriku untuk menikmati sajian di layar kaca yang menggoda. Apalagi televisi masih menjadi barang langka di kampungku. Ditambah lagi saat jam istirahat sekolah atau saat menanti guru, kami biasanya saling berlomba-lomba untuk mengeluarkan perbendaharaan acara yang ditonton. Biasanya kami terpacu untuk menjadi pencerita yang panjang, untuk mengatakan lebih menguasai jalan cerita dan mengikuti perkembangan terbaru di televisi.

Kalau adu penguasaan bahan pelajaran pasti saya tidak mau kalah. Atau beradu di lapangan sepak bola pasti saya akan berjuang habis-habisan untuk menang. Namun tidak demikian ketika menyinggung soal televisi. Biasanya saya lebih memilih diam dan mendengar teman-teman lain yang sahut menyahut dan saling menimpali.

Salah satu sinetron yang sedikit membekas dalam ingatan adalah Panji Manusia Milenium. Sinteron ini dibintangi oleh Primus Yustisiosebagai tokoh utama. Sinetron ini menghiasi layar televisi sekita akhir 1990-an hingga awal milenium baru.

Selain Primus yang memerankan tokoh Panji, ada juga beberapa artis yang sedang naik daun saat itu seperti Tia Ivanka dan Ayu Azhari. Saat melihat dua perempuan yang disebutkan terakhir itu beraksi naluri kelelakianku sudah cukup paham tentang artinya cantik dan seksi. Mungkin ini menjadi daya tarik tersendiri yang membuat saya sejauh dapat tidak kehilangan jadwal.

Meski begitu sosok Panji cukup inspiratif. Ia adalah pemuda baik hati yang mengelola sebuah Panti Asuhan. Belasan anak tak berayah dan beribu ditampung di sana. Bukan anak-anak panti asuhan ini yang membuat kisah ini menjadi menarik.

Kehadiran Nadia, seorang jurnalis yang hilang harapan dan ingin segera bunuh diri, membuat cerita ini “hidup.” Setidaknya membuat para penonton  sempat bertanya-tanya apa gerangan yang akan dilakukan Panji setelah menyelamatkan sang jurnalis.

Ternyata Panji meminta Nadia untuk tinggal dan merawat panti asuhan tersebut.  Cara membawa diri dan berinteraksi yang ditunjukkan Panji sangat biasa, normal dan manusiawi. Tidak ada yang menyangka bahwa ia seorang manusia super. Tidak ada yang tahu bahwa sosok lugu, bahkan kerap terlihat bodoh itu memiliki kekuatan suprahuman alias seorang superhero. Identitas dan karakter asli Panji baru tampak ketika ia hendak beraksi sebagai seorang pahlawan.

Seperti sudah saya katakan, sinetron ini menarik karena para pemeran yang tampil meyakinkan dalam rupa dan aksi. Lebih dari itu kepahlawanan Panji di balik keluguan dan kebodohan sebenarnya membersitkan banyak inspirasi. Bahwa manusia itu sosok multidimensi. Jangan cepat-cepat menghakimi seseorang lebih rendah bila tidak sanggup melihat sisi lain yang membuatnya berarti. Dengan kata lain setiap orang ada dan berada tidak tanpa maksud. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya berarti dan bisa memberi arti bagi yang lain.


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing