Mengapa Nasib Indonesia di Piala Sudirman Semalang Ini?



Tim Indonesia sebelum bertanding di Piala Sudirman 2017/badmintonindonesia.org


Apa yang dicemaskan banyak orang akhirnya menjadi kenyataan. Namun kenyataan yang terjadi di luar ekpektasi membuat aneka perasaan menyeruak, lantas menggumpal jadi satu. Mengemuka dalam bentuk penyesalan.

Apa yang ditakutkan sejak semula malah mengambil bentuk berbeda. Dalam rupa yang tidak disangka-sangka, dan terjadi pada pihak yang tidak dibayangkan sebelumnya. Itulah kenyataan yang harus diterima tim Piala Sudirman Indonesia tahun ini. 

Memang terasa pahit dan getir saat memutar kembali perjuangan kontingen Indonesia di Carrara Indoor Stadium, Gold Coast, Australia, Rabu (24/5) malam lalu.  Perjuangan yang meninggalkan sejarah terburuk selama perhelatan turnamen beregu campuran dua tahunan itu. Untuk pertama kali gagal lolos dari fase grup.
Laga hidup mati menghadapi Denmark di penyisihan grup ID hampir menjadi titik balik bagi kebangkitan Indonesia. Kejutan kalah memalukan, 1-4, di laga pertama menghadapi India, Selasa (24/5), hampir saja dibayar lunas.

Praveen Jordan/Debby Susanto membuka harapan Indonesia dengan meyakinkan. Pasangan ganda campuran yang sedang menjadi bulan-bulanan sorotan menyusul penurunan prestasi sejak juara All England 2016 menjadi penyemangat awal. Keduanya membuktikan diri masih pantas diandalkan, meski kondisi Praveen sempat mengkhawatirkan sebelum terbang ke Negeri Kanguru.

Menghadapi pasangan yang lebih senior, Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen, Praveen/Debby menunjukkan diri lebih siap. Secara kualitas kedua pasangan ini terbilang sepadan dengan rekor pertemuan yang nyaris berimbang. Persiapan yang lebih matang itu membuat Praveen/Debby mampu menampilkan permainan yang apik sejak game pertama. 

Pasangan nomor delapan dunia ini tidak memberikan kesempatan kepada lawan untuk berkembang, bahkan leluasa menempel ketat dan menyamakan kedudukan. Tercatat pasangan Denmark itu hanya dua kali mengimbangi perolehan angka Praveen/Debby. Game pertama direbut dengan mudah, 21-12.

Awal game kedua skor sempat berjalan ketat. Kedua pasangan mulai memperkuat pertahanan dan terlibat dalam rally-rally panjang. Semangat yang tengah membara membuat Praveen/Debby mampu bermain rapih dengan menghindari kesalahan yang tidak perlu. Keduanya hanya memberi 13 poin kepada Nielsen/Pedersen di game kedua.
Praveen/Debby menyumbang angka pertama bagi Indonesia/badmintonindonesia.org
 
"Kami sudah sering bertemu, ini pertemuan ke 12 kami. Kami sudah sama-sama mengerti permainan masing-masing. Kami sering kalah menang, kalau lawan mereka tergantung siapa yang main lebih rapi di lapangan," tandas Debby usai kemenangan yang menyamakan skor pertemuan kedua pasangan menjadi imbang, 6-6.

Kemenangan Praveen/Debby membuat kita sedikit mundur sehari. Muncul pengandaian, bila saja Praveen/Debby diturunkan di partai pertama tentu nasib Indonesia tidak akan stragis ini. Kepercayaan kepada Tontowi Ahmad dan Gloria Emmanuelle Widjadja adalah keputusan yang berani. Meski bukan orang baru di Pelatnas, keduanya baru dipasangkan secara resmi. Gloria adalah bagian dari proyek jangka panjang untuk mencari penerus tandem Tontowi yang saat ini sedang dibekap cedera, Liliyana Natsir.

Dalam masa percobaan  di dua turnamen di awal tahun ini yakni Malaysia Masters dan Swiss Open sebetulnya belum ada bukti yang menunjukkan bahwa keduanya pantas untuk memanggul beban besar di Piala Sudirman. Tidak bermaksud meremehkan, performa keduanya sebagai satu pasangan belum menyatu, belum juga saling mengisi secara pas, dan bersama bergerak dalam satu alunan orkes permainan berkualitas. 

Tampak terlalu riskan bagi PBSI mempercayai keduanya untuk tampil di ajang sekelas Piala Sudirman dengan atmosfer pertandingan tingkat atas yang menuntut kesiapan skill mumpun juga mental yang kuat. Bagaimanapun juga Praveen/Debby telah teruji dari turnamen ke turnamen.

Kemenangan straight set Praveen/Debby bagai amunisi yang membakar semangat Anthony Sinisuka Ginting. Menghadapi pemain nomor tiga dunia rasanya sulit dimenangkan oleh pemain yang baru merangkak dari urutan 23 dunia. Betapa lebarnya jurang prestasi.

Namun dalam situasi seperti ini kejutan bisa saja terjadi. Tidak ada yang menjamin bahwa rangking dan hasil akan sejalan. Ternyata hakim yang adil bekerja mengambil keputusan berdasarkan kinerja di lapangan. Viktor tampil baik di game pertama sehingga menang 13-21.

Situasi serupa terjadi lagi hingga interval di game kedua dalam kedudukan 8-11. Ginting perlahan mulai bangkit dan menahan laju Axelsen di angka 15 untuk menyamakan kedudukan, sebelum bersaing untuk memenangkan game kedua dengan skor 21-17. 

Kondisi mental berbanding terbalik di game penentuan. Viktor mulai goyah rasa percaya dirinya. Banyak kesalahan dilakukan. Ritme permainan mulai tak beraturan. Momentum ini berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh Ginting. Sempat unggul di interval, 11-10, Ginting terus melaju hingga merebut game penentu dengan skor 21-14.

 "Di akhir game kedua dan ketiga juga kayaknya dia kaget dengan tempo permainan yang saya mainkan. Di akhir game ketiga juga saya selalu cepat mengambil bola setelah dapat angka, biar tidak bisa memberi celah untuk dia berpikir harus bermain seperti apa," ungkap Ginting kepada badmintonindonesia.org.

Kemenangan Ginting membuat mahari semangat Indonesia yang sebelumnya  meredup kembali bercahaya. Partai ketiga yang menampilkan nomor andalan Indonesia diyakini bakal memperpanjang keunggulan. Keyakinan itu menyata saat Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya Sukamuljo dengan mudah merebut game pertama dari Mathias Boe/Carsten Mogensen, 21-16.

Begitu juga di game kedua. Jarak enam poin, 16-10, hampir pasti mendekatkan pasangan nomor satu dunia itu dari garis kemenangan. Namun hal yang tidak diinginkan terjadi. Pasangan Denmark itu menunjukkan kelebihannya dalam mengontor keadaan. Perlahan-lahan mulai mengejar ketertinggalan meski Marcus-Kevin hanya butuh satu poin untuk menang dalam kedudukan 20-18. 

Kesalahan yang tidak perlu terjadi. Termakan oleh bayang-bayang kemenangan di depan mata. Permainan menjadi tidak terkendali. Penuh nafsu segera mengakhiri pertandingan. Justru hal ini menjadi bumerang. Boe/Mogensen dalam segala ketenangannya berhasil merebut game kedua, 22-24.

Indonesia masih butuh beberapa game lagi untuk menyisihkan Denmark dari Piala Sudirman kali ini. Setidaknya bila Marcus/Kevin memenangkan pertandingan ini maka peluang lolos masih terbuka. Namun apa daya keunggulan cukup jauh, 11-5 dan 15-10 gagal dipertahankan. Boe/Mogensen berhasil mengejar ketertinggalan. Sejak imbang 15-15 laga semakin alot. Kejar mengejar angka terjadi. Sayang Marcus/Kevin antiklimaks. Pemegang hattrick gelar All England, India Open dan Malaysia Open itu menyerah, 21-23.

 Seandainya Marcus/Kevin tidak melakukan kesalahan yang tidak patut, garis nasib Indonesia tidak semalang ini. Di partai keempat, Fitriani berhasil menunjukkan keunggulannya saat berhadapan dengan salah satu titik lemah Denmark. Mia Blichfeldt harus mengakui keunggulan Fitriani setelah keduanya berjuang selama 76 menit dengan skor akhir 12-21, 21-19 dan 22-20. Fitriani mengulangi hasil positif seperti di perempat final Swiss Open 2017 lalu.

Seandainya tidak terjadi “kesalahan” pada Marcus/Kevin, Indonesia sudah memastikan tiket delapan besar. Partai kelima pun menjadi penentu.  Sebagai gantinya, ganda putri Indonesia harus  menang dua game langsung. 

Bagi pasangan yang baru dipasangkan, menunaikan syarat itu sungguh luar biasa berat. Apalagi lawan yang dihadapi adalah pasangan kaya pengalaman yang kini berada di rangking dua dunia, Kamilla Rytter Juhl/Christinna Pedersen. Sementara Indonesia mencoba peruntungan dengan memasangkan Greysia Polii dan pendatang baru, Apriani Rahayu. 

Saat kehilangan game pertama, sejarah negatif bagi Indonesia terukir. Kemenangan di game kedua tidak lebih dari sebentuk penghiburan. Pertandingan berdurasi 70 menit yang berakhir dengan skor 21-18, 13-21 dan 21-13 untuk pasangan Denmark semakin menampar wajah Indonesia. Denmark pun lolos sebagai juara grup, didampingi India dari grup D.

Garuda yang semula datang dengan harapan akan terbang tinggi justru bernasib malang. Penantian panjang sejak pertama dan terakhir kali juara pada 1989 masih terus berlanjut. Menyisahkan lara di edisi ke-15.
Tanda tanya besar kita hadapi kini. Apa yang akan terjadi dengan bulu tangkis Indonesia selanjutnya? Apa yang akan dilakukan PP PBSI setelah hasil buruk ini? Di saat Thailand dan Malaysia menegakkan kepala ke babak selanjutnya, kita justru terpekur. 

Kita merenungi kekhilafan, bila tidak ingin dikatakan “dosa” masa lalu yang mengorbankan regenerasi karena terlalu mengkultuskan sosok-sosok tertentu. Dalam keterbatasan bibit pemain, begitu salah satu dalih yang mengemuka, kita justru gagal bekerja cepat untuk menyambung jurang regenerasi dengan jembatan terobosan.

Di saat negara-negara lain mulai unjuk gigi, dan terus melaju di barisan depan dengan pendekatan mutakhir, kita masih sibuk berkutat dengan hal-hal dasariah seperti sistem dan pola pembinaan. Bahkan hingga kini susunan tim pelatih belum juga utuh.

Kita masih mengandalkan Cipayung sebagai kawah candradimuka dan kiblat utama, yang membuat kita bisa terjebak  dalam sentralisme pembinaan. Padahalan dengan sumber daya manusia memadai yang tersebar di santero nusantara memaksimalkan pembinaan di level klub dan aspek pemerataan juga penting dibuat. 

Saya tidak terlalu yakin bahwa panggilan menjadi pebulutangkis berkurang. Siapa tidak tergoda melihat jaminan hidup atlet saat ini yang semakin menjanjikan. Bergelimang bonus, hadiah, sponsor, hingga jaminan pensiun. Kekaraban pada cabang tepok bulu yang sudah mengalir dalam nadi seluruh penduduk negeri dari generasi ke generasi tidak akan hilang lenyap begitu saja.

Penghiburan Susy Susanti, manajer tim Indonesia sekaligus Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi ada benarnya. Kita harus tetap berpikir positif betapapun menyakitkan hasil ini. "Dengan situasi perbulutangkisan kita saat ini, dimana kita hanya bisa berprestasi di sektor tertentu, justru ini memacu untuk kita, saya dan tim, memacu atlet-atlet bahwa kita memang butuh kerja keras. Bukan kita terpuruk dengan satu kegagalan, tetapi harus membuat kita lebih kuat, lebih berani dan menjadikan kegagalan ini sebagai jembatan untuk mencapai prestasi yang kita inginkan.”

Susy sejatinya hendak mengatakan bahwa kegagalan kali ini adalah kemenangan yang tertunda. Namun ia juga sepatutnya sadar bahwa kemenangan itu akan terus tertunda selama kita tidak benar-benar memperbaiki diri.  Seperti sekarang dan entah sampai kapan.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...