Kesempatan Kedua Guardiola
Pep Guardiola/skysports.com |
Pep Guardiola baru saja mengucapkan pernyataan yang sendu.
Pelatih Manchester City itu, mungkin setengah bersyukur, mengaku dirinya
beruntung. Andaisaja situasi sekarang terjadi di tahun-tahun sebelumnya mungkin
ia sudah masuk dalam kumpulan yang terbuang. Bila saja City adalah Barcelona
atau Bayern Muenchen hampir pasti ia sedang berburu klub baru.
“Dalam situasi saya di sebuah klub besar, saya dipecat. Saya
keluar,” tandas pelatih asal Spanyol itu.
Pengakuan Guardiola itu tampak tidak berlebihan. Bagi sebuah
klub seperti Barcelona atau Muenchen, gelar hampir menjadi segalanya. Hampir tidak
ada ampun bila mengakhiri musim tanpa trofi.
Sudah pasti Manchester Biru nirgelar musim ini. Nama besar
Guardiola belum banyak memberikan pengaruh. Alih-alih memburu gelar Liga Primer
Inggris, City yang tercecer di posisi empat berusaha menjaga diri agar tidak
sampai disalip Arsenal agar bisa tampil di Liga Champions musim depan. Dua
pertandingan tersisa adalah saat-saat menentukan nasib City musim depan.
Posisi terbaik yang mungkin direngkuh musim ini adalah
menggeser Liverpool dan Arsenal di tempat ketiga. Pertandingan kontra West Brom
dan perjalanan ke markas Watford begitu sayang untuk dilepas bila ingin
mendapat tiket otomatis ke pentas Eropa.
Musim ini City dengan segala kekayaannya hanya mampu
bertahan di babak 16 besar kompetisi Eropa. Setali tiga uang nasib buruk juga
terjadi di pentas domestik. Selain gagal menjadi juara Liga, City juga kandas
di babak semi final Piala FA dan tersisih di putaran empat Piala Liga. Tidak
ada yang bisa dibanggakan dari City musim ini.
Situasi Guardiola ini berbeda saat menangani Barcelona dan
Muenchen. Sebelum menggantikan Manuel Pellegrini di Etihad Stadium musim panas
lalu, jejak pria 46 tahun itu begitu flamboyan dan sarat prestasi. Empat tahun
di Catalonia, sejak 2008 hingga 2012, pria yang pernah bermain sebagai
midfielder itu, meraih total 14 gelar.
Produktivitas gelar Pep sedikit menurun setelah hijrah ke
Bundesliga. Usai mengambil setahun sabatikal, Guardiola mulai petualangannya
bersama Muenchen. Sejak bergabung di 2013 ia tak pernah kehilangan mahkota
Liga. Dua dari tiga musim di Allianz Arena, Pep juga membersembahkan Piala
Jerman. Namun pencapaian di level Eropa masih jauh panggang dari api. Die Roten
selalu gagal “move on” dari babak semi final.
Kedatangannya di Inggris pun disambut antusias oleh
pendukung The Citizen. Kejayaan masa lalu diharapkan bisa diarak ke Inggris.
Namun asa tersebut tak semudah yang dibayangkan. Liga Primer Inggris tetap
menyisahkan cerita tersendiri yang tidak bisa dipastikan akhirnya oleh seorang
juru taktik hebat sekalipun.
Banyak analisa bermunculan terkait sepak terjang Guardiola
di Inggris. Ada yang beranggapan bahwa atmosfer dan kultur sepak bola di Negeri
Ratu Elizabeth itu tidak bisa dipeluk dengan mengandalkan formula yang menjadi
senjata andalan Pep sebelumnya. Apa yang disebut “tiki taka” tidak cukup ampuh
untuk “menjinakkan” persaingan. Gaya kepelatihan dan bermain Pep bukan sebentuk
teks yang dengan gampang diterjemahkan dalam konteks sepak bola Inggris.
Kesempatan kedua pun datang. Anugerah sekaligus pengecualian
Pep yang patut dibuktikan musim depan. “Jika ini Barcelona dan Bayern, jika
Anda tidak menang dan Anda keluar. Di sini saya memiliki kesempatan kedua dan
saya akan mencoba melakukan lebih baik musim depan.”
Merunut Ferguson
Keberuntungan Pep musim ini tampak tak berarti bila melihat
kembali riwayat pelatih tersukses dalam sejarah sepak bola. Siapa lagi kalau
bukan Sir Alex Ferguson. Selama 26 tahun, bahkan lebih dari itu meski dengan
status berbeda, bersama “tetangga berisik” City, Fergie menjaga stabilitasnya
di Old Trafford.
Tak ada pelatih dengan riwayat melatih sebuah klub sepanjang
Ferguson. Dalam rentang waktu nyaris tiga dekade pria Skotlandia itu menjadikan
dirinya seperti “diktator” yang tak sanggup digoyang. Meski sejatinya banyak
tantangan yang dihadapi, dan ini terkuak dalam sejumlah buku yang ditulis
seperti My Autobiography yang dirilis
beberapa bulan setelah pensiun pada 2013 lalu, sepintas lalu Fergie terlihat
nyaman hingga hari tuanya. Bila bukan dirinya sendiri yang meminta, bisa saja
di usia sekarang, 75 tahun, kita masih akan melihat Fergie berdiri di sisi
lapangan sambil mengunyah permen karet kesukaan.
Meski manajemen berganti, total 49 piala sejak 1986 rupanya
terlalu fenomenal mendepaknya di akhir musim yang gagal menuai satu gelar pun,
apalagi menendangnya mana suka. Fergie terlalu besar untuk dibiarkan pergi.
Meski begitu pria yang ditempa dalam kehidupan yang keras di
kota galangan kapal di Govan, Skotlandia itu tetaplah manusia biasa.
Ketidaksempuraan juga memeluknya. Namun ada pertanyaan penting yang kerap
menghantui banyak pihak, dan bisa saja mendatangkan rasa iri bagi para pelatih
malang, yang hingga kini terus digali. Mengapa Ferguson bisa begitu lama di
United?
Bila prestasi adalah jawabannya, kita bisa cek lebih serius, atau
setidaknya membaca otobiografinya, bahwa tidak sedikit kegagalan yang
menyapanya.
Anita Elberse adalah salah seorang yang serius meneliti
Ferguson. Profesor di Harvard Business School ini melakukan riset tentang cara
Ferguson mengelola United sampai menghasilkan sebuah studi kasus pada 2011
berjudul Sir Alex Ferguson: Managing
Manchester United.
Tidak sampai di situ, seperti masih tersimpan tanya dan
misteri, Anita pun mengundang Fergie ke Harvard University pada Oktober 2012.
Di tempat prestisius itu Ferguson
memberi kuliah di hadapan sekelompok mahasiswa MBA yang begitu antusias
menyambutnya. Fergie dan United menjadi salah satu fenomena yang dipelajari dan
sama menariknya seperti organisasi-ogranisasi lain yang dipelajari dalam mata
kuliah Pemasaran Strategi Industri Kreatif seperti pengecer mode Burberry,
raksasa operator televisi kabel Amerika
Comcast, studio Hollywood di balik waralaba komik dan film Spider-Man dan Iron Man, juga
aktivitas bisnis para selebriti seperti Beyonce dan Lady Gaga.
Kepada para mahasiswa Ferguson berbagi rahasia di balik
kesuksesannya bersama United. Salah satu rahasia yang bukan lagi menjadi
rahasia adalah kuatnya kepemimpinan Fergie. Kepemimpinan inilah yang membuat
Fergie mampu menghadapi anak-anak muda yang berbakat tetapi punya karakter
berbeda dan saling bertolak belakang, termasuk tahan terhadap perubahan di
jajaran manajemen.
Lantas apa istimewanya kepemimpinan Fergie? Beberapa dari
antaranya diungkapkan Sir Michael Moritz, mantan jurnalis Time, penulis buku tentang Apple dan chairman Sequioa Capital, perusahaan investasi bermarkas di Silicon
Valley yang berkontribusi dalam menata para raksasa seperti Apple, Google,
PayPal, YoTube hingga WhatsApp membuka rahasia Ferguson.
Pria yang bergaul dengan para pendiri bisnis rintisan
berusia muda, kemudian mengadopsi gaya Ferguson dalam usahanya, menemukan
kekhasan Ferguson dalam membangun United tidak serta merta apalagi dengan
mengandalkan para pemain mahal dari luar. Dengan penuh kesabaran, Fergie
membangun dari dalam, membantu anak-anak muda berkembang, ketimbang menempatkan
dirinya tak ubahnya pemimpin pasukan bayaran.
Manajemen kepemimpinan Fergie akan terus menyelaraskan
skuadnya, menjaga titik keseimbangan antara semangat muda yang bergelora dan
pengalaman para pemain veteran serta sangat hati-hati dalam membuat perubahan agar
tidak sampai membingungkan, mengacaukan, dan mematahkan semangat.
Tidak heran kita mendapatkan skuad United yang solid tidak
hanya dalam permainan tetapi juga di luar lapangan yang membuat ikatan personal
antarpemain dan pemain dengan klub begitu kuat, meski Fergie bukan tipe yang
gampang diajak kompromi dan permisif. Setidaknya bangunan tim ditegakkan di
atas dasar yang kuat sehingga mampu bertahan selama bertahun-tahun.
Memang harga untuk itu harus dibayar mahal dengan kesabaran.
Fergie menginvestasikan energi dan waktu yang tidak sedikit. Kesabaran seperti
ini sepertinya menjadi barang langka dalam geliat industri sepak bola sekarang
ini yang menempatkan trofi atau gelar sebagai sasaran utama.
Guardiola adalah salah satu bagian dalam bisnis sepak bola
kekinian. Sialnya ia berada di tim yang tidak memiliki dasar yang kuat sehingga
ia perlu waktu untuk memulai dari titik nol. Beda bila kita berbicara tentang
Barcelona yang sudah terpola hampir dalam segala hal sehingga mempermudah
siapapun yang menjadi pelatih.
Di balik usaha membangun dari dalam, poin penting lain yang
bisa terbaca dari Ferguson adalah kekukuhan pada diri sendiri. Meski tidak
menutup mata sama sekali pada para pesaing untuk sekadar mencari tahu susunan
pemain dan taktik, Fegie menolak tunduk membiarkan United didefenisikan oleh
pesaing. Seperti dikatakan Moritz, Fergie yakin bahwa takdir klub dibentuk oleh
apa yang terjadi di dalam, bukan di tempat lain.
Tak heran ia tampak dingin saat para oligarki, pangeran
Timur Tengah, dan orang-orang berduit dari mancanegara mulai menginvasi dan
mengobok-obok Liga Inggris, dan kemudian hasilnya terlihat jelas sekarang.
Fergie seakan ingin mengataan bahwa uang tidak pernah membeli kesuksesan, meski
pembelian pemain besar sesekali penting untuk tambahan pemasukan.
Namun situasi sekarang sudah jauh berbeda. Perjuangan
orang-orang hebat seperti Guardiola bertambah-tambah, tidak hanya membangun dan
menjaga stabilitas tim, juga hasrat pada uang dan kuasa yang sudah sedemikian
masif. Ini tantangan berat yang akan dihadapi Guardiola pada kesempatan kedua.
Comments
Post a Comment