Teman adalah Kekuatan



Ilustrasi dari merdeka.com
 
Salah satu yang membuat masa lalu berwarna adalah kehadiran teman-teman. Tak terhitung secara pasti berapa banyak yang telah singgah dan memberi warna pada perjalanan hidup saya. Bila teman-teman itu diartikan sebagai mereka yang pernah bersama karena alasan sekolah atau pendidikan, berarti sejak Taman Kanak-Kanak, panti pendidikan paling dasar, hingga perguruan tinggi, sudah ratusan teman yang saya miliki.
Semua mereka hadir dengan berbagai kisah dan pengalaman. Ada yang masuk kategori dekat, ada pula sebaliknya, hanya sekadar bertegur sapa. Hubungan pertemanan dengan beberapa kawan dekat masih bertahan hingga kini, setelah sekian tahun berlalu dan kini telah jauh berbeda.

Saya bersyukur pernah melewatkan sekitar 12 tahun di panti pendidikan berasrama. Hari-hari kebersamaan menjadi lebih panjang. Bahkan sepanjang hari kami bersama. Sejak bangun pagi hingga tidur malam, begitu seterusnya. Hanya waktu libur di pertengahan tahun yang membuat kami berpisah beberapa hari. Setelah itu kembali berkumpul lagi.

Kebersamaan yang begitu intens membuat tingkat kedekatan di antara kami begitu kuat. Suka dan duka dijalani bersama. Susahnya hidup jauh dari keluarga, makanan yang tidak sesuai selera, hingga mengurus segala sesuatu sendiri, kami jalani dan lewati bersama. Di sana terbangun solidaritas dan soliditas. Saat ada yang berkekuarangan kami membantu. Begitu pula saat ada yang berkelebihan, akan dengan senang hati berbagi. Singkat kata, kelebihan dan kekurangan kami rasakan bersama.

Inilah yang membuat saya sulit untuk memilah mereka dalam kategori “teman dekat” dan “sekadar teman.” Setiap mereka memiliki bagian tersendiri dalam sejarah pertemanan. Sedikit banyak mereka turut menenun kebersamaan menjadi sebuah lembaran sejarah.

Meski begitu saya coba mengingat-ingat beberapa teman yang memiliki pengalaman unik. Salah satu teman yang masih membekas hingga kini pernah satu kelas dengan saya. Saat itu kami tercatat sebagai siswa sekolah menengah pertama. 

Ia duduk selang beberapa meja dari saya. Saya memilih tempat duduk di deretan tengah. Tinggi badan saya saat itu termasuk jangkung sehingga tidak perlu mengambil bangku di deretan depan. Sementara teman saya ini sedikit lebih pendek dari saya. Oleh wali kelas ia ditempatkan di barisan paling depan.

Ia selalu baik saat saya meminta bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah. Kemampuannya dalam bidang ilmu pasti cukup mumpuni. Karena itu ketika mengalami kesulitan menyelesaikan soal-soal matematika misalnya, maka saya akan segera berpaling padanya. Meski begitu ia tidak menonjolkan diri dan merasa diri penting.

Saat membantu saya, ia akan memberi jalan sampai saya bisa mendapatkan jawaban. Ia tidak langsung memberi jawaban, tetapi membantu saya menemukan letak persoalan. Tak pelak setelah mendapat bimbingan darinya saya akan menyimpan pemahaman yang diberikan saat menyelesaikan soal-soal ujian. 

Ia sosok rendah hati. Di bidang yang lain ia harus mengakui saya sedikit lebih unggul darinya. Meski begitu di antara kami tidak ada rivalitas dangkal yang menjerumuskan kami dalam kompetisi yang tidak sehat. 

Saya cukup berutang budi pada kebaikannya. Sulit membayangkan bila tanpa campur tangannya saya akan mampu melewatkan ujian akhir sekolah. Saya sadar dengan bantuannya itu saya pun bisa menyelesaikan mata pelajaran ilmu pasti. Tentu dengan perolehan nilai yang tidak lebih menggembirakan dari dia. Lulus saja saya sudah bersyukur.

Masih banyak pengalaman menarik. Kenangan itu masih tersimpan meski mulai memudar seiring waktu yang terus berlalu dan perjumpaan yang semakin jarang. Beberapa dari antara teman-teman saya tidak pernah bertemu sejak hari terakhir kami berpisah dari asrama. 

Meski begitu saya yakin persabahatan yang telah dibangun adalah bagian penting yang membentuk sejarah hidup saya saat ini. Mereka adalah bagian dari fondasi masa depan saya. Dari mereka saya mendapat banyak hal. Benar ungkapan Latin, “ubi amici ibi opes” yang berarti “di mana ada teman di situ ada kekuatan.”

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing