Mengingat Para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa


Ilustrasi guru dari pixabay.com


Saya sangat beruntung pernah ditempa oleh para guru hebat. Sejak Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi saya bertemu dengan sosok-sosok inspiratif yang menjadi pahlawan bagi saya. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Saya sendiri belum sempat membalas segala jasa baik mereka.

Ada beberapa guru yang telah berpulang sebelum saya sempat sekadar mengucapkan terima kasih. Salah satunya adalah ibuku. Ia adalah ibu bilogis sekaligus ibu spiritual bagi saya. Ia berpulang saat saya telah menamatkan perguruan tinggi. Meski begitu balas jasa yang saya berikan belum sepadan dengan dedikasi dan pemberiannya kepadaku.

Salah satu periode penting dalam  ziarah pendidikan saya adalah ketika saya menjalani masa pendidian sebagai seorang siswa sekolah menengah. Periode ini selalu saya sebut ketika berbicara tentang fase pendidikan saya. Betapa tidak selama enam tahun saya berada di lembaga pendidikan yang sama. 

Lembaga pendidikan itu tidak hanya semata-mata menjadi “sekolah” untuk mendapat nilai dan lulus ujian akademik. Lembaga itu juga berperan sebagai rumah formasi bagi pembentukan karakter dan akhlak. Itu adalah rumah pembentukan yang holistik mencakup semua aspek kecerdasan mulai dari kognitif, spiritual, emosional, sosial, hingga kinestetik. 

Hidup berasrama selama 24 jam, dalam rentang enam tahun itu lebih dari cukup bagi saya untuk mendapatkan dasar-dasar pembentukan aneka kecakapan itu. Di sini peran para guru atau lebih tepat saya sebut formator itu jelas mengemuka.

Sulit saya menyebut, apalagi memilah, satu dari para formator penjasa itu. Jangankan satu, beberapa saja susah. Mengapa? Mereka semua telah memberikan andil dengan cara dan porsi masing-masing.
Tidak adil bila saya menyebut guru matematika lebih berjasa bagi saya ketimbang guru ekonomi, sejarah atau bahasa Inggris misalnya. Begitu pula sebaliknya. Semua guru berperan dengan caranya masing-masing. Mereka turut menyumbang bagi pembentukan diri saya menjadi seperti sekarang ini. 

Apa yang paling menonjol dari saya saat ini? Apa yang menjadi andalan saya saat ini? Saya bisa menyebutnya secara pasti. Tetapi saya tidak bisa memastikan bila itu terjadi dan terbentuk karena peran guru-guru atau formator tertentu. Terlalu naif bila saya langsung menarik benang merah secara linear antara keunggulan saya saat ini dengan subjek formasi yang saya terima dari formator tersebut di saat sekolah dulu.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat dan apresiasi atas guru-guru sekalin, saya hendak berbagi sedikit tentang sosok yang menempa saya selama tiga tahun. Ia adalah seorang seorang imam Katolik, dan memang mayoritas berlatar belakang ini. Meski begitu ia sangat mendedikasikan diri untuk kemajuan bahasa Inggris para siswanya.

Perjuangannya untuk memberikan ilmu kepada para siswa luar biasa. Berbagai cara ditempuh, usaha-usaha mandiri dengan mengandalkan kerja keras pribadi ditempuh. Metode pengajaran yang diberikan adalah hasil kreasi yang dipadukan dengan pencarian dari berbagai sumber di sana sini.Hasilnya pada siswa menjadi sangat suka dan berkembang dalam bidang ini. jejak-jejak itu masih bertahan hingga kini.

Tetapi di atas segalanya guru-guru-ku semua, entah yang pernah bersama di TK, SMP, SMA, maupun di perguruan tinggi, hebat. Salam salut, hormat dan terima kasih. Semoga mereka yang telah berpulang diberikan kebadian.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...