Mengompongkan Kawanan Rubah, Tanda Chelsea Menepis Krisis?
Ekspresi Costa seusai cetak gol dan Eden Hazard tengah memperdaya kiper Leicester/Dailymail.co.uk
Dua kekalahan dan satu hasil seri dalam lima pertandingan
terakhir mencuatkan pesimisme akan kebangkitan Chelsea musim ini. The Blues
yang tengah mencari jalan kembali ke singgahsana Liga Primer Inggris dinilai
tak lebih dari isapan jempol belaka sekalipun sudah ditangani pelatih kawakan
Antonio Conte. Keberhasilan Conte bersama Juventus dianggap tak menggaransi kesuksesan
Si Biru selama tak ada perubahan mendasar di tubuh tim.
Namun anggapan miring tersebut perlahan-lahan hilang, bahkan
sirna seketika, melihat performa Chelsea, Sabtu (15/10) petang kemarin. Menjamu
juara bertahan Leicester City di Etihad Stadium, Eden Hazard dan kolega tampil
menggila.
Sumbangan masing-masing sebiji gol dari Diego Costa (menit
7), Hazard (menit 33) dan Victor Moses (menit 80) tak hanya membuat armada
Claudio Ranieri pulang dengan tangan hampa. Serentak mencerminkan kebangkitan
Chelsea.
Chelsea bermain nyaris sempurna. Semua lini tampil baik, mulai
dari Thibaut Courtois di bawah mistar gawang hingga Hazard di lini depan. The
Foxes tak berkutik dengan hanya mendapat 45 persen penguasaan bola. Mereka
kehilangan taring seperti yang ditunjukkan musim lalu.
Alih-alih menjadi sekawanan Rubah lapar, soliditas atau
kekompakan tuan rumah benar-benar menggerus taji mereka. Petang itu mereka
adalah sekawanan Rubah ompong yang tak bergairah. Malah, Dailymail, menyebut permainan Leicester berantakan dari depan
hingga belakang. Tak terlihat sengatan Jamie Vardy, demikian juga Riyad Mahrez
yang tampil sebagai pemain pengganti mengisi tempat Schlupp di 25 menit
terakhir.
Kuartet Hernandez, Morgan, Huth dan Fuch tampil acak-acakan di lini
belakang sehingga memudahkan para pemain Chelsea melakukan ekplorasi.
Opta mencatat para
pemain Chelsea total melepaskan 16 tembakan ke gawang dengan enam dari
antaranya akurat. Sementara tembakan Leicester sangat miskin. Drinkwater cs
hanya melepaskan lima tembakan dan tak satupun yang mengenai sasaran atau on target.
Seusai laga Ranieri mengaku bahwa ia sengaja tak menurunkan
sejumlah pemain utama, seperti Mahrez dan Islam Slimani sejak awal. Keterlibatan
di pentas Liga Champions yang sudah bergulir menuntutnya untuk melakukan rotasi
demi menjaga asa mencapai babak gugur.
Rupanya pelatih 64 tahun itu benar-benar berhasrat untuk
mengikuir sejarah tersendiri bagi tim yang baru pertama kali merasakan atmosfer
kompetisi terakbar di benua biru. Meski untuk itu ia berani mengambil keputusan
penting, yang terkesan, tak memedulikan trofi yang saat ini berada di lemari
mereka.
Claudio Ranieri/Dailymail.co.uk
"Saya akan
mengambil keputusan yang sama. Kami memiliki pertandingan yang sulit pada hari Selasa
dan Liga Champions dalam dua bulan, bertahan atau keluar. Kami ingin sampai ke
tahap sistem gugur dan kami perlu semua pemain dalam kondisi fit,”tutur pria
Italia itu menyinggung persiapan menghadapi FC Copenhagen tengah pekan ini.
Di pihak tuan rumah, keberhasilan ini tak lepas dari
strategi jitu yang diterapkan sang pelatih. Dikenal sebagai juru taktik piawai,
pria kelahiran Lecce, Italia itu cukup mahir memainkan taktik.
Menerapkan formasi 3-4-4, persis seperti saat menundukkan Hull
City dua pekan lalu, ia berhasil memaksimalkan peran Moses dan Marcos Alonso. Keduanya
diberi ruang untuk bekerja hingga jauh ke depan, tak ubahnya gelandang serang.
Ketidakhadiran sejumlah pemain senior seperti Branislav
Ivanovic, John Terry, Cesc Fabregas, Oscar dan Willian tak mengurangi
kekompakkan orkestra yang dibangun mantan pelatih timnas Italia itu.Bahkan
sebelum gol pertama tercipta, Moses dan Hazard sudah mampu mengancam gawang Schmeichel.
Moses, Kante, Matic dan Alonso bermain sangat baik di lini
tengah. Tak hanya giat menyuplai lini depan, memanjakan Hazard dan Costa. Mereka
pun cukup dinamis mengisi peran membendung dan mematikan aliran bola para
pemain Leicester. Schlupp, Drinkwater, Amartey dan Albrighton yang diposkan
Ranieri di lini tersebut gagal mengimbangi para pemain Chelsea, apalagi mendapatkan
ruang untuk menyuguhkan hidangan assist kepada Vardy.
Satu-satunya peluang terbaik tim tamu saat David Luiz gagal
mengantisipasi pergerakan Albrighton di babak kedua. Selebihnya hampir tak ada
ancaman serius. Statistik di atas jelas menunjukkan itu.
Di sisi lapangan, melihat anak asuhnya bermain baik, Conte
tetap tak tenang. Dalam gayanya yang khas, kadang sulit ditebak antara senang
dan kesal, Conte terus memandu anak asuhnya. Termasuk memaksa Costa untuk tetap
bertahan walau pemain tersebut benar-benar memelas hingga merasa kesal agar
segera ditarik keluar. Costa sudah merasa ada yang tak beres dengan
hamstringnya dan takut kehilangan pertandingan penting berikutnya menghadapi
Manchester United, namun Conte seperti batu karang, bergeming.
Antonio Conte/Dailymail.co.uk
"Kami bermain sangat baik. Intensitas tinggi, passing
yang baik antara garis. Kami juga sangat agresif ketika kami kehilangan bola,
"puji Conte.
Sang pelatih mengaku tak sia-sia kerja keras mereka selama
sepekan, mencari sistem terbaik agar tak kebobolan banyak gol. Akhirnya ia
merasa, ”Sistem ini sesuai dengan bakat semua pemain. Pemain bertahan,
gelandang, striker dan winger.”
Alih-alih memuji Conte, Ranieri mengaku bertanggung jawab
sepenuhnya atas kekalahan itu. Ia tak ambil pusing dengan apa kata orang-orang
termasuk pandangan para bandar judi bahwa Conte seorang jenius. Namun melihat
permainan Chelsea saat itu, tampaknya Ranieri patut mengamininya.
Tawa ceria
dan tepuk tangan tanpa henti Roman Abramovic, bos besar Chelsea di tribun
istimewa, lebih dari cukup menepis kriris di tubuh tim yang telah
diinvestasikannya dengan dana besar. Bukankah begitu?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 16/10/2016.
Comments
Post a Comment