Sumber Migas Su Jauh, Sang Pemimpin Baru Dinanti

Ilustrasi dari kompas.com.

“Berapa dana yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk investasi migas tahun ini?” Pertanyaan yang dilontarkan Executive Director Indonesian Petroleum Association, Marjolijn Wajong langsung disambar dengan acungan tangan dari puluhan Kompasianer yang memadati Rarampa Culinary Experience, Blok M Bulungan, Jakarta, Jumat (26/08/2016) petang.

Ada yang menjawab satu juta dollar.  Marjolijn menggeleng. Dua peserta lainnya menyebut angka lebih besar dari yang menjawab pertama. Marjolijn pun tetap menunjukkan reaksi yang sama. Menyadari tak ada jawaban benar, Marjolijn pun bersuara lantang, “tidak ada.”

Demikian salah satu bagian dari nangkring Kompasiana bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dengan turut menghadirkan perwakilan dari Indonesian Petroleum Association. Nangkring tersebut mengambil tema “Ada Apa Dengan Investasi Hulu Migas?”
Pembicaraan selama lebih dari dua jam itu menguak banyak hal mulai dari kerja SKK Migas hingga kondisi sektor hulu migas kita saat ini. Waktu dua-tiga jam terlalu sedikit untuk menjawab tuntas pertanyaan yang menjadi tema besar nangkring tersebut.

Peran Penting SKK Migas
SKK Migas merupakan bagian penting dalam roda kegiatan hulu minyak dan gas bumi di tanah air. Sebagai sumber pendapatan terbesar kedua setelah pajak, minyak dan gas bumi perlu diawasi dan dikendalikan secara khusus agar benar-benar bermanfaat untuk kepentingan negara.

Sebagai perpanjangan tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), eksistensi SKK Migas diikat oleh regulasi yakni UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi seta Peraturan Pemerintah No. 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Menjawab amanat undang-undang, SKK Migas memainkan peran penting yang termaktub dalam tujuh fungsi pokok yakni:
1.       Memberikan pertimbangan kepada Menteri ESDM saat penyiapan dan penawaran wilayah kerja serta Kontrak Kerja Sama (KKS).
2.       Melaksanakan penandatangan Kontrak Kerja Sama.
3.       Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu wilayah kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan.
4.       Memberikan persetujuan rencana pengembangan lapangan lanjutan.
5.       Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran Kontraktor KKS.
6.       Memonitor dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama.
7.       Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Negara.
Seperti disampaikan oleh Taslim Z. Yunus, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas, SKK Migas berada di sektor hulu (upstream) sebagai perwakilan negara yang berhak atas sumber daya tersebut.  Karena itu SKK Migas berperan untuk menjamin efektivitas pelaksanaan ekplorasi dan ekploitasi agar sumber daya strategis tersebut benar-benar mendatangkan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan negara.

SKK Migas menawarkan Wilayah Kerja (WK) kepada kontraktor KKS dan melaksanakan penandatanganan KKS. Biasanya dalam kontrak tersebut disebutkan secara jelas bahwa seluruh modal awal untuk membayai kegiatan eksplorasi hingga pengembangan lapangan sepenuhnya ditanggung kontraktor.

Seluruh modal awal tersebut baru dikembalikan negara apabila cadangan migas ditemukan dan memiliki nilai keekonomian untuk dikomersialkan (Kompas.com, Senin 12 Oktober 2015). Pengembalian modal awal untuk biaya operasional itu disebut dengan istilah cost recovery. 

Dalam kontrak tidak disebutkan secara gamblang tentang cost recovery tersebut. Istilah itu mengacu pada frasa “memperoleh kembali penggantian biaya operasional.” Dana yang dikembalikan pemerintah kepada kontraktor tidak dihitung sebagai keuntungan lantaran dikembalikan sesuai besaran pengeluaran.
Taslim Z. Yunus, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat SKK Migas sedang berbicara diapiti Marjolijn Wajong (tengah) dalam acara nangkring bersama Kompasianer/gambar dari dewi_puspa

Lebih lanjut dikatakan Taslim, cost recovery itu tidak dalam bentuk dana atau uang tetapi produksi minyak. Dengan demikian jelas bahwa pemerintah sama sekali tidak mengeluarkan sepeserpun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu cost recovery baru bisa diberikan setelah kontraktor memenuhi dua persyaratan utama. Kedua syarat tersebut yakni lapangan migas harus sudah berproduksi dan sudah ada pembeli yang siap menerima alokasi migas.

Lantas, bagaimana bila eksplorasi gagal alias tidak berhasil mendapatkan cadangan migas? “Biaya yang telah dikeluarkan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kontraktor,”tegas Marjolijn.

Demikianpun bagaimana negara mendapatkan keuntungan? Seperti dijelaskan Kompas.com, Selasa 10 November 2015, penghitungan bagi hasil antara pemerintah dan kontraktor berdasarkan produksi migas yang siap jual atau disebut dengan lifting. 

Biasanya prosentase pembagian lifting minyak adalah 85:15. Artinya, 85 persen hasil minyak menjadi  bagian pemerintah sementara sisanya menjadi milik kontraktor. Sementara gas bumi besarannya adalah 70 persen untuk pemerintah dan 30 persen menjadi hak kontraktor.

Sebagai perpanjangan tangan negara SKK Migas memainkan peran penting sejak awal, mulai dari penentuan dan perumusan kontrak perjanjian,teknis lifting (mengawasi lifting di titik-titik penyerahan migas), saat penyerahan migas kepada pembeli dan setelah itu.

Mengutip sumber tersebut, “Setiap bulan, SKK Migas juga mengeluarkan perkiraan entitlement (provisional entitlement) berdasarkan jumlah lifting, harga minyak, dan biaya operasi pada bulan itu. Provisional entitlement menjadi acuan berapa bagian negara dan berapa bagian kontraktor KKS yang masih bisa diambil masing-masing pihak pada lifting berikutnya. Pada akhir tahun, SKK Migas menghitung ulang entitlement ini berdasarkan realisasi lifting, harga minyak, dan biaya operasi selama setahun penuh.”

Lampu Merah Migas
Tugas SKK Migas bertambah berat melihat kondisi migas Indonesia saat ini. Bila pada tahun 1970-an Indonesia berjaya, tidak demikian saat ini. Dari waktu ke waktu produksi migas terus mengalami penurunan. Bahkan, seperti disampaikan Taslim, Indonesia sudah menjadi pengimpor minyak sejak 2004. Hal yang sama akan terjadi pula dengan gas yang diprediksi mulai berlangsung pada 2024.
Berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak Indonesia per Mei 2016 yakni 832.000 barrel per hari atau tak lebih dari 1 persen produksi minyak dunia. Sementara produksi gas mencapai 8.215 standar kaki kubik per hari (MMSCFD). Kondisi ini bertolak belakang dengan situasi beberapa tahun lalu saat cadangan minyak Indonesia menginjak angka 27 miliar barrel dan pernah menyandang predikat sebagai penghasil migas terbesar di Asia Tenggara.

Menurut perkiraan, dengan tingkat konsumsi sekarang, cadangan yang ada bertahan tidak lebih dari 10 tahun ke depan. Namun perkiraan tersebut bisa meleset. Bila tidak segera diatasi, lampu merah krisis tersebut akan menyala lebih cepat mengingat konsumsi migas di Indonesia meningkat delapan persen pe tahun. Saat ini konsumsi migas per hari sekitar 1,6 juta barrel.

Kondisi tersebut tak hanya mengancam pasokan migas dalam negeri. Peran penting migas sebagai sumber pendapatan negara pun berada dalam ancaman. Sebagai contoh. Pendapatan negara dari sektor migas tahun 2015 sebesar 12,86 miliar dollar AS, lebih rendah dari target 14,99 miliar dollar AS.  Penerimaan negara pada 2015 dari dana bagi hasil untuk wilayah produsen minyak pun menurun drastis, tepatnya separuh dari pendapatan pada 2014 sebesar Rp 42,91 triliun.

Saat ini produksi migas Indonesia bergantung pada 67 WK yang sudah pada fase produksi. Menurut Taslim, per Juni 2016, ada 286 WK di Indonesia, berkurang dari 312 KKKS tahun lalu. Saat ini sebanyak 85 WK akan dikembangkan dan tengah memasuki fase ekploitasi, sementara 204 WK masih dalam fase ekplorasi.
Namun demikian beban 67 WK itu semakin berat mengingat sebagian besar merupakan lapangan tua yang sudah berproduksi puluhan tahun. Alih-alih meningkatkan ekplorasi yang memakan biaya besar, Kontraktor KKS (KKKS) memilih fokus pada program kerja ulang sumur dan perawatansumur.

Marjolijn yang dihubungi terpisah mengatakan, sebagian besar peralatan untuk ekploitasi (produksi) yang beroperasi di sumur-sumur sejak tahun 1970 atau 1980-an membutuhkan perhatian ekstra.  
“Sehingga untuk dapat meneruskan beroprasi dengan standard safety yang baik maka peralatan peralatan tersebut memerlukan pemeliharaan yang lebih baik, inspeksi yang lebih sering dan bahkan penggantian peralatan secara berkala. Dan hal itu meliputi peralatan sumur minyak/gas , pemipaan untuk transfer minyak 7 gas serta peralatan pengolahan minyak dan gas nya,”tutur wanita yang berasal dari latar belakang keluarga yang bergelut di bidang perminyakan itu.

PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), PT Pertamina EP, Total E&P Indonesia, Vico Indonesia, dan PT Medco E&P Blok Rimau (Sumatera Selatan), lima dari 15 KKKS utama di Indonesia mengakui adanya penurunan produksi.

Seperti disampaikan Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak kepada Kompas (Selasa, 6 September 2016, hal. 17), produksi minyak mereka pada Desember tahun ini akan menurun menjadi 230.000 bph dari 264.000 bph pada Januari tahun ini. Laju penurunan tahun ini 10,5 persen dan akan terus menurun pada tahun depan sebesar 11,6 persen.

“Sumur pengembangan yang semula direncanakan 120 sumur dikurangi menjadi 80 sumur,”lanjut bos CPI yang memproduksi minyak di Lapangan Duri, Riau itu.

Selain itu, turunya harga minyak dunia membuat produksi migas pun setali tiga uang. Seperti disampaikan Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan pejabat SKK Migas dan KKKS, Senin (5/9/2016) seperti dilaporkan Kompas, harga minyak dunia yang masih menginjak angka 40 hingga 50 dollar AS per barrel membuat KKKS sengaja mengurangi kegiatan produksi dengan alasan keekonomian.

Masih Ada Harapan, Asal...
Saat ini total cadangan minyak Indonesia yang sudah terbukti ada (proven) tersisa 3,6 miliar barel, cadangan yang mungkin ada (probable) 1,75 miliar barel, dan yang berupa potensi yakni 1,65 miliar barel . Bila semua tersebut benar-benar terbukti maka total aset migas kita 7 miliar barel (Kompas, Selasa, 16/8/2016, hal.41).

Angka tersebut jelas jauh dari kata cukup untuk kebutuhan migas dalam negeri yang terus meningkat. Selain itu upaya untuk mencapai angka kumulatif itu semakin penuh perjuangan mengingat sebagian besar potensi migas tersebut terdapat di lepas pantai atau laut dalam. Jelas biaya yang dikeluarkan untuk proyek tersebut jauh lebih besar ketimbang bila berada di daratan.

Seperti disampaikan Marjolijn saat dihubungi secara terpisah, wilayah potensial itu sebagian besar berada dalam cekungan laut dalam, selain di daratan, di wilayah timur Indonesia seperti Papua. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada harapan bagi kita untuk mengais potensi-potensi lain di wilayah timur.

Data berbeda disampaikan Yonvinter, dosen perikanan dan ilmu kelautan IPB Bogor dalam opininya berjudul “Ideologi Maritim” di Kompas, (Senin, 5/9/2016, hal.7). Menurutnya ada sekitar 60 cekungan yang berpotensi mengandung migas, 40 cekungan berada di lepas pantai, 14 di pesisir dan hanya 6 di daratan. Potensinya diperkirakan mencapai 11,3 miliar barel minyak bumi. Sementara potensi cadangan gas diprediksi berjumlah 101,7 triliun kaki kubik.

Terlepas dari benar tidaknya potensi tersebut-tentu saja masih harus dibuktikan lebih lanjut-, pernyataan Marjolijn dan Yonvinter setidaknya menunjukkan tantangan lain bahwa perlu perjuangan lebih untuk itu. Selain membutuhkan biaya besar, kondisi infrastruktur di daerah terutama Indonesia timur belum optimal menyokong industri hulu migas kita.

Namun demikian, situasi ini tidak membuat kita menyerah. Di satu sisi Pertamina selaku perusahaan negara gencar berburu migas ke luar negeri untuk menutup defisit migas dalam negeri. Selain ikhtiar mendapat nilai tambahan dari produk akhir dan meningkatkan pendapatan dari ekspor, Pertamina pun ber ambisi memasok kebutuhan migas domestik sebesar 2 juta barel setara minyak mentah per hari (BOEPD) pada 2025.

Belum lama ini perusahaan plat merah itu menandatangani nota kesepakatan dengan perusahaan minyak pemerintah Iran, National Iranian Oil Company (NIOC). Seturut kesepakatan tersebut Pertamina akan menjajaki kemungkinan menggarap dua ladang minyak yaitu di Ab-Teymour dan Mansuri (Kompas, Selasa 16/8/2016, hal.41).

Sebelum di Iran, Pertamina melalui Pertamina Internasional Ekplorasi dan Produksi (PIEP) sudah memiliki tiga aset yakni di Aljazair, Irak, serta Sabah dan Serawak di Malaysia. Pertamina mengutamakan ladang yang sudah produksi dan cadangannya cukup besar sebagai pelajaran dari upaya ekplorasi ladang minyak di Afrika dan Timur Tengah (Irak, Libya dan Sudan) yang tak berlangsung lama, sejak 1995-1996. 

Di sisi lain langkah yang diambil Pertamina mengundang tanda tanya terhadap segenap potensi yang ada di dalam negeri. Apakah tak ada peluang dan harapan lagi dari bumi Nusantara yang luas ini? Apakah semua jengkal di tanah air sudah dipastikan kandungannya? Bagaimana pula nasib potensi yang masih tersisa itu?
Pada titik ini tugas berat menanti SKK Migas dan pemerintah. Kita tidak bisa membiarkan KKKS terus menyusut jumlahnya hingga segenap potensi tersebut tinggal tetap. Langkah ini penting mengingat masih ada peluang untuk membangkitkan kembali investasi sektor tersebut.

Peran penting sektor ini bagi perekonomian negara masih dibutuhkan. Industri migas dengan investasi sekitar Rp300 triliun per tahun, tetap strategis sebagai salah satu lokomotif pembangunan. Sebagai industri padat modal, selain peluang mendatangkan devisa dan pendapatan bagi negara yang tak sedikit,  juga mendatangkan multiplier effect yang panjang.

Selain menyerap sumber daya tenaga kerja  nasional secara langsung, juga mendorong munculnya perusahaan penyedia barang dan jasa atau bidang usaha baru seperti penyedia jasa survei topografi, jasa pengeboran dan konstruksi. Pelibatan perbankan nasional  (dalam transaksi jual beli migas) membuat sektor-sektor lain pun turut bergerak. Selain itu turut menghidupkan perekonomian lokal di daerah-daerah operasi KKKS. Tak sedikit daerah yang mendapatkan manfaat langsung dari geliat sektor hulu migas tersebut.

Agar harapan tersebut tetap terpelihara maka beberapa langkah krusial perlu segera diambil. Tujuan utama adalah menggairahkan kembali iklim investasi sektor hulu migas di tanah air.

Pertama, perbaikan aspek regulasi. Poin ini krusial mengingat adanya sengkarut aturan entah terkait perizinan dan admistrasi yang berbelit-belit sehingga memusingkan dan memakan banyak waktu, maupun ketidaksesuain dalam kontrak kerja.

Seperti disampaikan Marjolijn, seharusnya hak yang telah diberikan kepada KKKS untuk mengusahakan suatu WK langsung dibarengi dengan izin-izin terkait. Yang masih terjadi saat ini, “Peta yang dikeluarkan oleh [SKK] Migas pun sering tidak sama dengan peta dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan.”

Selain mempersingkat urusan administrasi, Marjolijn juga mengkritisi Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.

Menurutnya aturan tersebut perlu direvisi karena ada sejumlah ketentuan tidak sesuai dengan bunyi Kontrak Bagi Hasil (production sharing contract/PSC)  yang sudah ditandatangani sebelum 2010. Artinya dalam hal itu terjadi pertentangan antara regulasi tersebut dengan kontrak yang sudah berjalan.

“Revisi ini juga diperlukan karena secara umum membuat pengaturan pengawasan pengeluaran uang menjadi tumpang tindih antara instansi yg satu dengan instansi yang lain,”lanjutnya.

Rupanya harapan publik terhadap perubahan regulasi tersebut sudah mendapat angin segar. Pasalnya revisi aturan tersebut sedang diselesaikan sebagaimana disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan (Kompas, Jumat, 26/9/2016, hal. 19).

Kedua, terkait poin pertama, pemerintah perlu memberikan insentif kepada para investor terutama terkait bagi hasil. Hal ini penting untuk menarik para investor agar mau berinvestasi terutama pengembangan migas di laut dalam yang membutuhkan modal besar dan berisiko tinggi.

Selama ini skema bagi hasil adalah 85 persen untuk negara dan sisanya untuk kontraktor. Hal ini terlihat kurang realistis mengingat besarnya risiko yang ditanggung. Sebagai contoh pada 2009-2013, delapan perusahaan migas melakukan eksplorasi di Selat Makassar dn Sulawesi dengan menelan dana investasi tak kurang dari Rp13 triliun. Namun, ekplorasi tersebut tak menghasilkan apa-apa.

Ada sejumlah skema bagi hasil yang bisa dipakai. Salah satunya dengan mengacu pada harga minyak atau disebut dengan sliding scale. Terlepas dari seperti apa skema terbaik yang ditawarkan, pada intinya aspek fleksibilitas itu perlu digarisbawahi.

Fleksibilitas tersebut terkait pula dengan pajak yang dibebankan kepada para investor. Salah satunya adalah pajak bumi. Menurut Marjolijn, selama ini aturan tersebut cukup memberatkan investor karena berlaku pula pada investor yang belum mendapatkan hasil apa-apa.

“Jangan bayangkan PBB di rumah, ini angkanya ratusan miliar..,”tuturnya.

Dalam situasi kritis seperti saat ini, penting untuk memberikan insentif tersebut agar para investor masih mau berinvestasi terlebih untuk melakukan ekplorasi-ekplorasi terutama di sejumlah titik yang disinyalir mengandung potensi migas.

Ketiga, meningkatkan koordinasi antarinstansi dan antara pemerintah pusat dan daerah. Seperti sudah disinggung di atas, aturan yang berlapis-lapis menuntut koordinasi yang baik agar tak menyulitkan para investor.

Keempat, aspek kepastian hukum. Hal ini terkait penanggung jawab sektor tersebut yakni Menteri ESDM yang terus berganti-ganti. Saat ini kementerian tersebut dipimpin oleh Plt setelah menteri definitif sebelumnya Arcandra Tahar diberhentikan setelah bertugas kurang dari sebulam.

Menarik mencermati kementerian ini. Selama dua tahun terakhir Presiden Joko Widodo sudah menunjuk tiga menteri berbeda dalam rentang waktu tugas berberbeda-beda. Sebelum Luhut Panjaitan dan Arcandra orang nomor satu di kementerian itu diduduki Sudirman Said selama 22 bulan sebelum lengser saat resuffle jilid dua beberapa waktu lalu.

Sebelum era Jokowi-JK, situasi serupa terjadi juga. Setidaknya setelah era Purnomo Yusgiantoro pada 2000-2009, menteri ESDM tak ada yang menjalankan tugasnya secara paripurna. Darwin Saleh bertugas selama dua tahun (2009-2011) sebelum digantikan Jero Wacik yang memimpin hingga 2014. Sebulan sebelumnya masa SBY-Boediono berakhir, posisi tersebut diisi oleh Plt Chairul Tanjung.

Dari fenomena ini dua hal penting menarik dipetik. Pergantian menteri yang berlangsung terus menerus bisa mendatangkan kekhawatiran bagi para investor karena pergantian pucuk pimpinan kerap dibarengi perubahan regulasi dan kebijakan. Bagaimana investor bisa kerasan bila tak ada kepastian hukum?

Tak hanya dari pihak investor, iklim politik yang tak menentu juga mempengaruhi kerja para menteri. Dalam rentang waktu terbatas mereka harus bergulat untuk menyelesaikan banyak persoalan. Sektor hulu migas tak hanya membutuhkan pemimpin yang cerdas, juga kepemimpinan yang stabil. Dalam posisi industri hulu migas seperti saat ini tidak bisa diselesaikan oleh menteri yang selalu datang dan pergi.

Selain itu, fenomena tersebut menyiratkan bahwa sektor tersebut sangat penting sekalgus seksi. Menteri terkait tampaknya tidak hanya memainkan fungsi teknis dan ekonomis, juga politis. Karena itu kita berharap jangan sampai dugaaan tersebut benar adanya. Kita tidak ingin misteri kursi panas ini terus berlanjut, karena sektor migas sedang membutuhkan pemipin yang kompeten, berintegritas dan jauh dari segala bentuk intervensi apapun. Sektor hulu migas kita membutuhkan iklim politik yang teduh. Mendapatkan sumber migas kita yang “su” jauh tidak bisa dilakukan dalam situasi yang gaduh dan riuh seperti saat ini.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 17 September 2016.


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...