Kandang Tua Itu Masih Serupa Rumah Perawan

jakonline.asia

Separuh abad lebih, tepatnya 54 tahun, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) tegak berdiri di jatung ibu kota. Sejak dibuka pertama kali pada 24 Juli 1962, stadion yang semula berkapasitas lebih dari 120 ribu tempat duduk itu, menjadi saksi sekaligus simbol prestise dan kemenangan, ambisi politik, hasrat kuasa, serta prasasti terang-gelap prestasi olahraga di negeri ini.

Berdiri di kompleks Gelanggang Olahraga Bung Karno, SUGBK lahir dari hasrat besar Presiden Soekarno untuk melambungkan olahraga Indonesia di mata dunia. Sebagai bangsa yang belum lama merdeka, Soekarno merasa perlu untuk menegaskan eksistensi Indonesia dalam pergaulan internasional. Untuk itu ia tak segan meminta pertolongan sekutu, Nikita Khrushchev yang saat itu berkuasa di Rusia. Bantuan berupa kredit lunak sebesar 12,5 juta dollar AS pun mengalir dari Kremlin.

Konon saat berkunjung ke Moskwa pada 1960, Soekarno terpukau dengan stadion sepakbola di pusat kota bernama Luzniki Stadium yang berdiri sejak 1956. Kepada Khrushchev yang memimpin Rusia sejak 1953, sang founding father mengutarakan hasratnya agar stadion serupa bisa tegak berdiri di Indonesia. Tak hanya fulus, arsitek Rusia pun dikirim ke tanah air untuk membantu Frederich Silaban, sang arsitek utama. Dari sisi tertentu, SUGBK pun menjadi adik kandung Luzniki Stadium. Lebih dari itu, ia menjadi titik simpul garis persahabatan Jakarta-Moskwa.

Buah diplomasi dan tali persahabatan itu  membuat Soekarno bisa membusungkan dada saat pergelaran Asiang Games keempat di helat di Jakarta, tak lama setelah stadion megah itu resmi dibuka. Kepada bangsa-bangsa Asia, Soekarno memaklumkan bahwa Indonesia bisa berbuat lebih dari apa yang mereka pikirkan.

Pernyataan tersebut tampaknya tidak berlebihan. Saat mengajukan diri sebagai tuan rumah pesta olahraga bangsa-bangsa Asia itu, banyak negara meragukan. Tak hanya ekonomi yang cekak, sumber daya manusia pun setali tiga uang.

Harian Singapura Strait Times tak segan meneror Indonesia dengan tulisan berjudul Lonceng Kematian Asian Games Terdengar di Jakarta? Hemat tetangga, termasuk pula negara-negara anggota Federasi Asian Games (AGF) lainnya, Indonesia jangan sampai mematikan citra Asian Games yang tengah dibangun. Dengan kata lain Indonesia sebaiknya menahan diri karena belum waktunya menjadi host ajang besar itu. Lebih baik Indonesia menyerahkan tanggung jawab itu kepada Pakistan atau Taiwan yang saat itu juga menawarkan diri menjadi tuan rumah.

Dari atas podium saat peresmian stadion pada 21 Juli, Soekarno berteriak lantang. Ia tak menyerang secara langsung para tetangga yang semula skeptis bahkan cenderung merendahkan, melainkan secara retoris kepada masyarakat Indonesia. “Apakah Anda bangga dengan stadion ini? Apakah Anda bangga stadion semegah ini dimiliki Indonesia?”

Pertanyaan itu tampaknya lebih sebagai seruan kemenangan Soekarno dan bangsa Indonesia. Meski tak tampil sebagai juara umum, berada di peringkat kedua di belakang Jepang sudah lebih dari cukup. Mengirim wakil terbanyak dari total 1,460 atlet yang berasal dari 17 negara, Indonesia hanya mendulang 11 medali emas, jauh tertinggal dari Jepang dengan 73 medali emas. Setidaknya perolehan emas itu melebihi India, Pakistan, Filipina, Korea Selatan, hingga Singapura.

Sejak itu SUGBK menjadi rumah bagi sejumlah perhelatan penting di tanah air, dan silih berganti menjadi tuan rumah ajang olahraga tingkat internasional.  Empat edisi SEA Games masing-masing 1979, 1987, 1997 dan 2011 dihelat di sana. Kejuaraan Piala Tiger, penyisihan grup piala AFC, hingga pertandingan utama Piala AFF mengambil tempat di stadion dengan 24 sektor dan 17 pintu masuk itu.

Bila di setiap laga kandang internasional di Malaysia sudah pasti dihelat di stadion Nasional Bukit Jalil, atau di Singapura  di Stadion Nasional Singapura atau  Inggris  yang tak bergeser semenjak stadion Wembley berdiri, pun Prancis  dengan Stade de France, maka Indonesia sudah pasti menjamu negara-negara lain di SUGBK.

SUGBK pun menjadi oase yang memuaskan dahaga para pencinta sepak bola tanah air akan tim-tim impiannya dari mancanegara. Inter Milan, LA Galaxy, Valencia, Arsenal, Liverpool, Chelsea, Juventus dan AS Roma pernah berlaga di tempat itu. Sejumlah pemain beken yang sedang bersinar pada masanya pun sempat menyapa para pemujanya di sana. SUGBK tak ubahnya kuil pemujaan terhadap para dewa si kulit bundar.

Tempat itu pun menjadi kiblat bagi para pesepakbola tanah air. Tampil di SUGBK adalah mimpi setiap pemain sepak bola. Berbicara tentang SUGBK setelah hari-hari itu, adalah berbicara tentang kebanggaan dan ambisi. Siapa yang tidak ingin tampil di SUGBK? Bila pertanyaan ini dilayangkan kepada para pesepakbola tanah air, maka hampir dipastikan tak ada yang berkatan tidak.

Tak hanya menjadi tempat singggah, SUGBK juga adalah ruang sakral bagi Persija Jakarta. Itulah markas, home base para pemain Macan Kemayoran. Di situ pula para fans, The Jakmania, mendukung, menghibur dan menyemangati tim kesayangannya secara total. Di tempat itu pula para penggemarnya habis-habisan mendarmabaktikan diri dengan segala bentuk koreografi, sekaligus melancarkan teror kepada tim-tim lawan dengan segala armadanya.
Aksi fans Persija Jakarta/bola.republika.co.id
Tak heran saat Persija tak bisa menolak instruksi untuk angkat kaki sementara dari tempat itu, mereka seakan pergi dengan separuh jiwa. Sebagiannya masih tertinggal di sana. Demikianpun untuk alasan yang sama, yakni renovasi jelang perhelatan Asian Games 2018, tidak semua pihak sependapat dengan konsep pemugaran yang ditawarkan.

Hari-hari ini kita berhadapan dengan polemik terkait rencana pembangunan ramp atau bidang miring mengelilingi sisi luar stadion. Oleh pihak terkait, ramp tersebut dimaksudkan untuk memudahkan akses masuk bagi pengguna kursi roda dan warga yang mendorong kereta bayi (Kompas, 6/10/2016, hal.29).

Namun konsep tersebut terancam mengubah “ciri asli” stadion tersebut. Kehadiran ramp jelas mengubah wajah asli SUGBK yang sudah menjadi bangunan cagar budaya yang harus diperlakukan secara hati-hati. Tak hanya aspek kemanfaatan, ciri khasnya pun patut diperhatikan. Hal ini sesuai perintah undang-undang. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menegaskan bangunan cagar budaya bisa dipugar untuk kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan ciri asli atau muka bangunan.

Memang konsep ramp tersebut baik adanya. SUGBK ingin tampil lebih ramah terhadap mereka dengan kebutuhan khusus. Namun kehadiran ramp, oleh sejumlah pihak pun dinilai tak menjawab kebutuhan. Penambahan ramp tidak sepadan dengan Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU Nomor 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Alih-alih membangun ramp yang berakibat pada rusaknya rupa cagar budaya itu dan kurang tepat sasaran, alangkah lebih baik mengambil opsi lain seperti pembangunan lift.

Para pihak yang terlibat dalam pemugaran ini tentu harus berpikir serius terutama mengambil jalan tengah dari dilema yang dihadapi. Renovasi di satu sisi tidak boleh mengubah wajah asli, namun di sisi lain ada hal mendasar yang perlu diperhatikan. Mengingat usianya yang sudah lebih dari 50 tahun, tentu aspek keamanan dan keselamatan pengguna harus menjadi perhitungan serius.

Kita tentu berharap bahwa kekhasan SUGBK tetap dipertahankan. Selain atap baja besar yang membentuk cincin raksasa yang disebut temu gelang (ring bergabung), sejauh dapat orisinalitas dijaga. Namun sekali lagi, aspek keselamatan dan keamanan tetap masuk hitungan. Bagaimanapun SUGBK masih menjadi andalan utama, termasuk untuk Asian Games dua tahun mendatang.

Menyelaraskan kedua aspek itu jelas tidak mudah. Para pihak terkait tidak hanya memikirkan aspek kebutuhan dan keselamatan, juga historisitas. Bagaimanapun juga SUGBK adalah monumen dari labirin anasir sosial, politik, ekonomi dan olahraga.

SUGBK adalah saksi pertaruhan nama baik Soekarno dan bangsa Indonesia dahulu kala. SUGBK juga adalah monumen permusuhan politis yang berdampak pada perubahan nama menjadi Istora Senayan saat Soeharto berkuasa. SUGBK adalah saksi sejarah sepak bola dalam negeri. Tak kalah penting di sana ada jejak pengorbanan lebih dari 60.000 penduduk yang tergusur dari tempat tinggal mereka.

Akhirnya, seperti rumah perawan, walau tak muda lagi, SUGBK tak bisa disambangi, apalagi dijamah dengan mudah. 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 11/10/2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...