Pelajaran Penting dari Salah Paham tentang “Messi Indonesia”



 Tristan Alif berpose di markas Leganes/futbol.as.com 

Hari-hari belakangan ruang pemberitaan di Indonesia diwarnai informasi terkait bocah 12 tahun yang dijuluki “Messi Indonesia”, Tristan Alif Naufal. Informasi tersebut lebih sebagai kabar lanjutan mengingat sepak terjang Tristan sudah mencuri perhatian luas sejak empat tahun lalu, tepatnya 3 Maret 2012,  saat  video berjudul “Tristan Alif Naufal (Indonesia Football Star on The Making)” diunggah di YouTube dan langsung menjadi viral.

Bahkan bakat luar biasa putra pasangan Ivan Trianto dan Irma Lansano sudah membawanya ke sejumlah negara dan dikenal luas di mancanegara. Tristan pernah membuat mantan pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen yang kini melatih Manchester City, Pep Guardiola terkagum-kagum saat mensambangi Indonesia pada 2012. 

Di Belanda, ia cukup dikenal setelah dua kali diundang berlatih di akademi salah satu klub utama, Ajax Amsterdam. Di Negara Kincir Angin itu Alif menorehkan catatan manis sebagai Most Valuable Player di Ajax International Camp 2014, Best Player pada 1V1 Category, dan Coerver Netherlands Master Skillz 2014. 

Tak hanya di Belanda, Alif pun sempat dikaitkan dengan sejumlah klub Spanyol. Sebelumnya Getafe, terkini Club Deportivo (CD) Leganes. Tentang klub terakhir itu, pemberitaan luas di tanah air, menyebut Alif tinggal menunggu waktu untuk memperkuat Leganes U-13. 

Bahkan ada yang mengklaim Alif sudah resmi berkiprah di Negeri Matador di antaranya dengan mengacu pada informasi yang ada di twitter Alif serta sejumlah potretnya bersama sejumlah pria di Stadion Muncipal de Butarque dengan menggunakan nomor 10.

Informasi tersebut mendapat tanggapan dari koran Spanyol, AS. Seakan meluruskan pemberitaan tersebut, AS menyebut bahwa informasi tersebut palsu alias tak benar. Mengutip Kompas, (Selasa, 4/10, hal.31), “Media-media (di Indonesia) menjual ketertarikan palsu atas dia. ‘Los Blanquiazules’ (Leganes) tidak berniat merekrut juga membesarkan sang bocah mengingat aturan (FIFA) tiak memungkinkannya.”

Hal senada tertilis jelas di futbol.as.com. Menurut sumber tersebut Alif bertandang ke Leganes atas prakarsa Kedutaan Besar Indonesia di Spanyol. KBRI meminta Leganes untuk menyediakan waktu berkunjung. 

“Mengingat pentingnya permintaan (tidak setiap hari kedutaan menghubungi Butarque), klub yang baru tampil di Divisi Primera setuju untuk menyediakan fasilitas dan menyiapkan beberapa hadiah seperti kostum, syal, dan beberapa lencana.”

Pada hari yang telah ditetapkan, Alif didampingi rombongan dari keduataan tiba di Butarque. Di sana rombongan berkesempatan mengambil sejumlah foto dan turut hadir di sepuluh menit terakhir latihan. 
 Tristan Alif saat unjuk kebolehan di depan Pep Guardiola/viva.co.id

Pelajaran penting
Bisa dipahami mengapa informasi yang belum terkonfirmasi itu cepat beredar di tanah air dan langsung diterima sebagai kebenaran. Perkembangan sosial media yang luar biasa membuat siapa saja bisa dengan mudah menyebarkan informasi dan bebas menyantapnya. Ditambah lagi Alif yang sudah dikenal luas dan mensambangi salah satu negara yang menjadi kiblat sepak bola dunia dengan mudah menjadi santapan empuk pemberitaan. 

Rasa haus akan prestasi dan kerinduan melihat bakat-bakat luar biasa mengepakkan sayap ke mancanegara semakin mempertebal euforia. Alif bukan orang pertama yang ramai diberitakan. Sebelumnya ada Evan Dimas dan beberapa nama lain yang dipublikasikan secara masif dan diikuti perkembangannya dari waktu ke waktu, nyaris tak ada sisi yang luput dari sorotan.

Saya tak bermaksud menyalahkan sepenuhnya pemberitaan dalam negeri yang kurang tepat itu. Toh informasi yang dikutip bukan tanpa dasar. Di antaranya berasal dari sumber pertama yakni dari akun sosial media Alif. Bisa jadi ada salah paham di sini. Selain itu, siapa tahu akan ada “mujizat” yang terjadi dengan Alif, sama seperti pemberitaan di media-media manapun, termasuk Spanyol sekalipun, yang tak bisa seratuh persen diterima sebagai kebenaran. Saat musim transfer tiba misalnya, media-media ramai-ramai menyebarkan gosip, membuat prediksi dan proyeksi, yang kebenarannya akan terkuak pada waktunya. 

Alih-alih mempersoalkan informasi tersebut, jauh lebih penting memetik pelajaran dari fenomena Alif ini. Mengacu pada regulasi FIFA Bab 19 terkait Status dan Transfer Pemain disebutkan bahwa transfer pemain internasional hanya diperbolehkan bila pemain itu berusia di atas 18 tahun. Atau bila melibatkan pemain berusia di bawahnya, maka harus memenuhi sejumlah syarat.

Pertama, transfer diperbolehkan bila orang tua pemain tersebut berpindah tempat karena alasan kerja. Dengan kata lain orang tua sang pemain turut berpindah ke negara tempat klub tersebut berada untuk alasan non-sepakbola.

Kedua, transfer pemain di bawah 18 tahun diperkenankan bila dua klub yang terlibat berada di wilayah Uni Eropa atau Area Ekonomi Eropa. Terkait poin ini pemain yang bisa diizinkan berpindah klub berusia di atas 16 tahun.

Ketiga, dalam bagian lain disebutkan, transfer diperbolehkan bila klub itu bertempat tinggal sekitar 50 km dari perbatasan negara atau rumah sang pemain berjarak 100 km dari markas klub. 
                                Tristan Alif berlatarbelakangkan Ajax Museum/viva.co.id

Dalam kasus Alif, nasibnya pernah diperjuangkan untuk mendapat izin tinggal di Spanyol demi mengais asa tampil bersama Getafe U-13. Namun anggaran yang dibutuhkan untuk biaya hidup dan izin tinggal di Spanyol tak kurang dari Rp,2,5 miliar. Sebelum itu saat berlatih di Belanda, Alif hendak diikat Ajax namun proses tersebut terhenti di tengah jalan terkendala izin tinggal dan pekerjaan orang tuanya.

Tak mudah memang orang-orang seperti Alif dengan latar belakang keluarga seperti itu bisa digaet klub-klub Eropa. Peliknya urusan adminstrasi menuntut usaha lebih dari banyak pihak. Tidak cukup dengan mengandalkan orang tua dan keluarga serta sejumlah sponsor saja. Peran pemerintah pun sangat penting.

Pada titik ini apa yang dikatakan CEO Nine Sport Inc Arif Putra Wicaksono patut diperhitungkan. Menurutnya persoalan pelik itu semestinya tidak terjadi bila Indonesia memiliki sejumlah akademi feeder atau perwakilan dari klub-klub Eropa.

Persoalan yang dialami Indonesia pernah dialami pula oleh Brasil. Hal itu diutarakan oleh striker legendaris Bayern Muenchen asal Brasil, Elber Giovane de Souza saat berkunjung ke Jakarta pada Mei lalu. Menurut pria bernama panggilan Elber ini, sebelumnya Brasil kesulitan mengorbitkan bakat-bakat potensial ke Eropa.

“Namun, pada akhirnya banyak klub besar (di Eropa) yang punya perwakilan (feeder) di Brasil,”tutur pria yang kini berusia 44 tahun itu dikutip dari Kompas (Selasa, 4/10, hal.31).

Kehadiran akademi feeder itu akan banyak manfaatnya. Seperti kata Elber, mereka akan menjadi perpanjangan tangan dan mata dari klub-klub Eropa. Selain itu akan berperan penting dalam pembinaan pemain muda, serta alih pengetahuan baik terkait kepelatihan dan pembinaan maupun lisensi klub profesional.

Menurut Arif, saat ini pihaknya sudah menggagas smart soccer city yakni program yang membuka kesempatan bagi klub-klub lokal menggandenga langsung klub Eropa seperti yang dilakukan Persija Jakarta dengan klub Belanda, Feyenoord.

“Sudah ada 22 klub Eropa seperti Feyenoord, Ajax, (Glasgow) Celtic dan Arsenal yang tertarik ikut program itu,”tutur Arif.

Tentu kabar ini menjadi kabar gembira bagi sepak bola tanah air umumnya dan para pemain berbakat seperti Alif khususnya. Namun untuk membangun akademi sister club dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Berbagai kebijakan dan terobosan untuk membantu urusan finansial itu amat dibutuhkan agar mimpi Alif dan anak-anak Indonesia lainnya tidak berakhir di tengah jalan. 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 5 Oktober 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing