Rosario, Berkah Tak Terhingga untuk Argentina

Argentina saat menghadapi Panama/gambar dari Dailymail.co.uk

Argentina, tim sarat bintang, perlahan tapi pasti mulai menemukan tajinya di Copa America Centenario. Susah payah mengalahkan Chile di laga pertama, tim berjuluk La Albiceleste itu memaklumkan kedidayaannya saat menghadapi Panama. Gelontoran lima gol ke gawang Los Canaleros, Sabtu (11/6) lalu di Soldier Field, menjadi bukti.

Adalah Lionel Messi, sang kapten yang absen di laga pertama karena cedera, tampil sebagai pembeda. Torehan tiga gol ke gawang tim yang terletak di tenggara Amerika Tengah itu menunjukkan kualitasnya sebagai pemain terbaik dunia, sekaligus perlahan-lahan menyaput mitos sebagai bintang gagal bersama timnas.

Usai mencetak hattrick ke gawangnya, pelatih Panama Hernan Dario Gomez hampir tak bisa berkata-kata tentang Messi. Dari patah kata yang dikeluarkan pelatih  60 tahun, terbersit pengakuan akan magis pemain mungil berjuluk Si Kutu itu.

"Sebelum Messi bermain hampir tidak ada perbedaan dalam pertandingan. Dia adalah monster, sekali saja Anda membuat kesalahan dan Messi ada di dekatnya, maka Anda harus membayar mahal," ungkap pelatih asal Kolombia itu dikutip dari Soccerway.

Buah kemenangan besar itu, Tim Tango tak perlu bekerja keras di laga terakhir penyisihan Grup D saat menghadapi Bolivia di CenturyLink Field, Seattle, Washington, Rabu (15/6) pagi nanti. Hasil seri sudah cukup mengantarkan pasukan Gerardo Tata Martino ke babak knock out.

Dengan koleksi enam poin, Argentina mustahil disalip oleh Chile dan Panama yang sama-sama mengemas tiga poin. Tambahan satu poin alias bermain seri sudah cukup bagi Argentina untuk mengklaim status juara grup.

Sihir Rosario
Walau dielu-elukan, Argentina tak bisa berdiri dan berjalan dengan bertumpu pada Messi semata. Dengan tanpa mengabaikan para pemain lainnya, setidaknya beberapa nama bisa disebut. Beberapa dari antaranya adalah Angel Di Maria dan Ever Banega.

Sulit mengabaikan kedua nama tersebut di balik tren positif Argentina saat ini. Pasalnya Di Maria dan Banega adalah pahlawan tim saat ‘balas dendam’ pada Chile di laga pembuka. Kehadiran Di Maria yang kini berseragam raksasa Ligue 1, Paris Saint-Germain dan  Banega yang membela klub Spanyol, Sevilla, menjadi penting di saat Messi hanya bisa duduk manis di bangku cadangan.

Nama lain yang tak bisa dilupakan adalah Javier Mascherano.  Pemain bernama lengkap Javier Alejandro Mascherano ini adalah anugerah tersendiri bagi Argentina dengan talenta mutlifungsi. Baik di timnas senior yang dibelanya sejak 2003, maupun Barcelona sejak enam tahun lalu, pemain yang kini berusia 32 tahun itu siap dipasang sebagai bek atau gelandang. Kuat sebagai gelandang, pemain ini pun kokoh kala berada di barisan pertahanan. Tak heran di usianya yang tak muda lagi, baik timnas maupun klub masih tetap membutuhkan jasanya.

Di balik nama besar mereka, satu hal tak bisa dilupakan yakni tempat dari mana mereka berasal. Messi dan Di Maria adalah kelahiran Rosario. Sementara Mascherano, walaupun lahir di kota tetangga San Lorenzo, dibesarkan pula di kota yang terletak di provinsi Santa Fe itu.

Berjarak 180 mil atau sekitar 310 km di sebelah barat laut Buenos Aires, ibu kota Argentina, Rosario merupakan kota yang memiliki tradisi sepak bola yang kuat. Boleh dikata, walau menjadi kota terbesar ketiga di Argentina, wilayah berpenduduk sekitar 1,2 juta jiwa itu, dibesarkan dan membesarkan diri dengan sepak bola.
Betapa tidak. Seperti kota-kota lainnya yang mendewakan sepak bola, penduduk Rosario tersegregasi dalam dua kelompok besar.  Masing-masing membaptis diri sebagai pengikut Newell Old Boys dan Rosario Central, dua klub besar di Argentina.

Pertemuan kedua tim, tak ayal menjadi derby paling sengit di Argentina, setelah Boca Juniors dan River Plate.  Walau tak sejaya Boca dan River Plate, Newell dan Rosario adalah klub ikonik dengan sejarah yang panjang.
Didirikan pada 1903, jauh setelah Rosario pada 1889, nama Newell melejit setelah ‘disentuh’ pelatih Argentina saat ini. Setelah ditangani mantan pelatih Argentina, Marcelo Bielsa, Newell di bawah Tata Martino mampu menembus babak semi final Copa Libertadores pada 2013. Jika tak ada Ronaldinho yang menjadi tumpuak klub Brasil, Atletico Mineiro, maka peluang Newell ke partai puncak terbuka lebar.

Sementara itu Rosario harus membangun kembali kejayaannya setelah mendekam di kasta kedua sepak bola Argentina, Nacional B, sebelum mendapatkan pamor saat ini. Dengan sentuhan tangan dingin Eduardo Coudet yang mempersembahkan mahkota Divisi Primera tahun lalu bagi Boca Juniors, Rosario menjadi kekuatan yang diperhitungkan di Copa Libertadores edisi terkini. Sayang Atletico Nacional mendepak mereka dari ajang bergengsi di Amerika Selatan itu.

Di tengah hiruk pikuk fanatisme antara kedua pendukung, Rosario adalah rahim yang melahirkan bibit-bibit potensial. Saat ini hampir sebagian kekuatan Argentina adalah jebolan Rosario. Selain Messi, Banega, Di Maria, Mascherano, ada pula bek Nicolas Otamendi.

Otamendi yang kini merumput di Inggris bersama Manchester City sempat tampil saat menghadapi Panama sebelum ditarik keluar karena cedera. Ada pula kiper cadangan Nahuel Guzman dan Ezequiel Lavezzi. Bila tak dibekap cedera, Ezequiel Garay akan melengkapi sumbangan Rosario bagi Argentina di Copa America saat ini.
Tak hanya para pemain yang sudah jadi itu. Rosario serupa sumur tak pernah kering bagi kehidupan Albiceleste. Di masa datang, setelah generasi Messi cs, Argentina bakal bertumpu pada Angel Correa, Mauro Icardi, Franco Cervi dan Giovanni Lo Celso. Tak sampai di situ, bakal bersinar pula Gaston Gil Romero, Victor Salazar dan Franco Escobar.

Bila Romero, Salazar dan Escobar masih butuh waktu untuk ‘menjadi’, empat nama sebelumnya sudah bersinar. Correa, 21 tahun, adalah tumpuan di lini depan Atletico Madrid saat ini. Sementara Icardi (23 tahun) menjadi tulang punggung di lini seranga Inter Milan. Cervi dan Lo Celesto pun siap melebarkan sayap di panggung Eropa di mana keduanya akan segera bergabung dengan klub Portugal Benfica dan Paris Saint-Germain, mengikuti jejak seniornya Di Maria.

Dengan usia yang masih muda, mereka pun siap menjadi harapan Argentina di masa depan. Sebenarnya kans mereka untuk membela Tim Tango di Copa America kali ini terbuka lebar. Namun bintang yang berjibun di timnas Argentina membuat mereka tersisih. Tak perlu cemas. Olimpiade Rio de Janeiro, Agustus nanti menanti mereka.

Kenangan
Generasi emas yang menghiasi Argentina saat ini tak lepas dari asuhan Rosario. Iklim kompetitif di wilayah tersebut menempa bibit-bibit muda menjadi pemain besar.

Banega sendiri memiliki pengalaman saat ‘beradu’ dengan Messi saat keduanya masih bocah.
"Saya berada di kategori usia yang lebih rendah, tapi ayah saya adalah pelatih dari kelompok usia 1987 dan ia meminta saya untuk bermain di divisi itu," ungkap Banega kepada La Nacion seperti dikutip bleacherreport.com.

"Itu hanya membuang-buang waktu karena kami akan bermain melawan kurcaci dan ia membuat kami semua terlihat bodoh. Dia kecil, pakaian tampak terlalu besar baginya, tapi apa yang ia lakukan sungguh terlalu baik,"lanjut pemain 27 tahun itu.

Akhirnya kita tahu, pesona Messi yang sudah terlihat sejak kecil itu menghantarnya ke klub besar yang membuatnya menjadi seorang bintang. Namun Messi tak bisa melupakan Rosario. Selain sebagai tempat kelahiran, di tempat itu ia ditempa sebagai seorang pesepakbola profesional bersama Newell’s Old Bpys sebelum doboyong ke Spanyol pada tahun 2000.

Selain lingkungan bola yang membesarkan mereka, sejarah masa lalu pun menempa mereka. Rosario adalah salah satu pusat industri Argentina sebelum kejayaannya terkoyak pada periode 1990-an.

Setelah asap industri tak lagi membumbung dari cerobong-cerobong asap, masyarakat setempat pun harus bergulat mencari hidup sendiri-sendiri.

Banega mengisahkan bahwa setelah kemunduran industri Rosario, saat usianya masih belia, kehidupan mereka sangat susah. "Semua yang tersisa bagi kami seperti makan lumpur basah; itu adalah didikan keras," kenang Banega.

Di Maria harus membantu kehidupan keluarganya dengan mengambil pekerjaan di gudang batu bara. Masih ingat momen emosional saat Di Maria mencetak gol ke gawang Chile? Selebrasi sentimental dengan mencium kaus bertuliskan “Granny, I Miss you so much” adalah bentuk penghormatan dan ucapan terima kasih kepada sang nenek yang menghembuskan nafas beberapa jam sebelum laga itu.

Lebih dari itu, sang nenek adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah masa lalu. Sang nenek adalah saksi penderitaan sekaligus sumber inspirasi dan motivasi Di Maria.

"Dia membuat kepala saya tetap tegak dalam kondisi apa pun," tandas Di Maria.
Aksi mengharukan Angel Di Maria di Copa America Centenario/Mirror.co.uk


Sementara Messi, walau berasal dari latar belakang keluarga yang lebih kaya, tetap tak bisa menampik krisis tersebut.

Krisis pada 2001 yang berdampak pada devaluasi peso, membuat Newell tak bisa lagi mengeluarkan dana lebih untuk membiayai perawatan hormon pertumbuhan Messi. Saat ada tawaran dari Barcelona, pilihan Newell melepas Messi adalah yang terbaik. Saat berusia 13 tahun Messi pun terbang ke Catalonia.

Lahir dari lingkungan dan mencecap masa lalu yang sama akhirnya turut membentuk mereka menjadi seperti sekarang ini. Selain talenta yang mengagumkan, soliditas dan solidaritas yang mereka tunjukkan saat berseragam Albiceleste adalah anugerah lain yang tercurah dari Rosario. Walau dalam bahasa Spanyol berarti anak laki-laki, Rosario sebenarnya lebih dari itu. Sepertinya lebih tepat disebut ibu yang telah melahirkan bakat-bakat mengagumkan yang memasyurkan Argentina kini dan kelak.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 13 Juni 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...