Anomali Jurgen Klinsmann

Jurgen Klinsmann/Associated Press

Dengan mengartikan kata anomali sedikit lebih lentur, sebagaimana sepak bola yang tak rigid, kita coba melihat anomaly (keanehan) yang dipertontonkan Jurgen Klinsmann, pelatih timnas AS yang baru saja digusur Argentina empat gol tanpa balas di babak perempat final Copa America Centenario, Rabu (22/6/16) pagi WIB.

Melatih Amerika Serikat sejak 29 Juli 2011, pria Jerman itu terbilang cukup dipercaya. Kepercayaan itu tentu tidak terbentuk dengan sendirinya. Kepercayaan adalah bayaran atas prestasi. Untuk negara sekelas Amerika Serikat yang lebih mengidolakan rugby, basket atau American bootball, melihat timnas tumbuh cepat adalah kebanggaan tersendiri.

Dua tahun setelah dibesut Klinsmann, AS merengkuh kejayaan dengan menjuarai Piala Emas CONCACAF dan sang pelatih diganjar predikat sebagai pelatih terbaik di zona Amerika Utara, Amerika Tengah dan Karibia.  Membangun tim dengan fondasi para pemain muda menjadi salah satu terobosan Klinsmann saat itu.

Tak hanya jago di zona sendiri, sentuhan tangan dingin pria yang kini berusia 51 tahun itu melebarkan sayap prestasi ke level dunia. Menembus babak 16 besar Piala Dunia 2014 di Brasil adalah prestasi tersendiri. Walau sedikit berbau keberuntungan, memenangkan persaingan dengan Portugal di fase grup menjadi catatan positif. Meski terhenti di fase knock out, AS tidak memberikan tiket perempat final secara  gratis kepada Belgia. Generasi emas Belgia dipaksa bermain hingga perpanjangan waktu dengan skor akhir 2-1.

Sejak itu, boleh dikata, euforia sepak bola di AS meledak. Pertumbuhan kompetisi domestik dalam wadah Major League Soccer (MLS) setali tiga uang. Para bintang veteran dari benua Eropa, mencapai titik popularitas tinggi sejak kedatangan David Beckham, datang silih berganti dan telah menjadi salah satu destinasi baru, mendahului liga kaya baru, Liga Super China.

Dengan modal tersebut Klinsmann bisa lebih leluasa memainkan jurus-jurusnya di timnas AS. Hampir tak terdengar suara miring menimpali ambisi, kebijakan dan keputusannya. Termasuk di ajang Copa America Centenario dimana mereka bertindak sebagai tuan rumah.

Mematok target lolos dari fase grup, mencapai babak semi final adalah prestasi. Tak pelak pemenang Piala Dunia 1990 bersama timnas Jerman itu langsung mematok target juara.

"Tidak ada alasan sama sekali mengapa kita tidak bisa menang Copa America," tuturnya dikutip dari foxsports.com.

 "Kami berkeliling dunia beberapa tahun terakhir untuk memainkan laga persahabatan yang sulit di seluruh Eropa dan di Meksiko dan kami meraih kemenangan Kami mengejutkan banyak orang -.tidak ada yang memberi kami kesempatan untuk keluar dari fase grup di [Piala Dunia] Brasil. Kami menyisihkan Portugal, kami meninggalkan Ghana di belakang."

Dengan pengalaman di pertandingan persahabatan dan Piala Dunia dua tahun lalu itu, dua kemenangan lagi menuju tangga juara Copa America, menurut Klinsmann bukanlah misi mustahil

 "Mimpi besar ? Mengapa tidak ini adalah tentang dua pertandingan."

Namun, Klinsmann tidak sadar bahwa dirinya sudah terperangkan pada kejayaan masa silam. Jiwa dan pikirannya terkesan belum move on untuk melihat kondisi terkini timnya. Dalam 18 bulan terakhir The Yanks mulai goyah-untuk mengatakan mengalami kemunduran.

Mereka menorehkan rekor buruk di Piala Emas 2015. Kalah di semi final dari tim kuda hitam Jamaika dengan skor 1-2 serta gagal mendapatkan tempat ketiga usai keok dalam adu tos-tosan dengan Panama, lebih dari cukup untuk mengguratkan noktah hitam bagi AS dalam 15 tahun terakhir.
Tak sampai di situ. Kalah di babak playoff menghadapi Meksiko untuk mendapatkan tempat di Piala Konfederasi, berlanjut dengan kekalahan memalukan dari Guatemala di kualifikasi Piala Dunia 2018.

Aneh

“Anda lihat malam ini mengapa mereka tim nomor satu di dunia,”ungkap Klinsmann seusai laga dikutip dari ESPNFC.com.

Pernyataan Klinsmann itu dalam arti tertentu bisa dipahami. Argentina sangat superior. Dengan menurunkan kekuatan terbaik, minus Angel Di Maria, La Albiceleste unggul di semua lini.

Namun di sisi lain, wajah The Yanks yang terlihat malam itu berbeda dengan yang terlihat selama ini. Armada Gerardo Tata Martino hanya butuh tiga menit untuk membuka gol pertama melalui Ezequiel Lavezzi yang mengisi tempat Di Maria. Gol-gol berikutnya-melalui Lionel Messi dan dua kali dari Gonzalo Higuain-pun datang dengan mudah, seperti tanpa perlawanan apa-apa.

Permainan ofensif dan agresif sebagaimana ditunjukkan di laga-laga sebelumnya sama sekali tak terlihat. Alih-alih menguasai laga, tuan rumah malah hampir tak diberi kesempatan memegang bola (dengan hanya 32 persen). Tak ada shot on goal berbanding lurus dengan tingkat kesempurnaan passing yang hanya mencapai 67 persen, berbanding 92 persen dari Argentina.

“Mereka tahu dengan tepat bagaimana mengorganisasi diri mereka dengan cepat. Mereka menekan dengan kuat saat Anda menguasai bola. Karena itu kami tidak memiliki kesempatan untuk mencetak gol,”aku Klinsmann.

Absennya tiga pemain kunci Alejandro Bedoya, Jermaine Jones and Bobby Wood  berdampak pada organisasi permainan Amerika Serikat. Namun situasi ini kurang ditanggapi secara jeli oleh Klinsmann dalam menyusun strategi.

Tengok saja starting XI yang diturunkan dalam laga itu. Alih-alih menurunkan pemain muda yang agresif, Klinsmann malah memilih pemain senior Chris Wondolowski  Pemain San Jose Earthquakes mati kutu di lapangan. Senioritas pemain 33 tahun itu tak memberikan kontribusi apa-apa kepada tim, selain mobilitasnya membantu lini tengah. Namun yang terjadi malah mala petaka. Kecerobohannya menjegal Lionel Messi berujung gol cantik melalui eksekusi tendangan bebas pemain bersangkutan dari jarak 25 yard hanya beberapa menit sebelum babak pertama berakhir.

Tertinggal dua gol di babak pertama semakin membenamkan tuan rumah. Alih-alih bangkit di babak kedua, AS malah semakin kehilangan kendali dan hanya terpusat untuk mempertahankan diri.

Walau sempat diragukan, kehadiran Kyle Beckerman dan Graham Zusi sebagai pengganti  Jones dan Bedoya cukup berperan untuk membentengi diri dari serangan Argentina. Sementara DeAndre Yedlin yang diakui punya kecepatan mampu sekali beraksi namun masih jauh dari harapan. Jauh di lini kedua dan sektor penyerangan benar-benar sepi.

Sepasang gol Gonzalo Higuain di babak kedua untuk memberikan salah satu kekalahan besar dalam sejarah AS adalah akumulasi dari sentuhan minus Klimsnann. Tak terlihat semangat dan daya juang dalam pertandingan besar seperti yang ditunjukkan semasa kepelatihan para pendahulu Klinsmann terutama Bob Bradley dan Bruce Arena.

Klinsmann telah mematok target untuk mencapai babak semi final Piala Dunia 2018. Namun, melihat kinerjanya saat ini keraguan pun membuncah. Kepercayaan yang masih kuat pada para pemain veteran adalah antitetis dari itikad regenerasi untuk membentuk tim yang kuat.

Beberapa pemain muda yang terpilih dalam daftar 23 nama untuk Copa America kali ini seperti Darlington Nagbe dan Kristen Pulisic kurang mendapat jam terbang. Mereka hanya mendapat dua kesempatan. Itu pun sebagai pemain pengganti.

Idealnya Nagbe, Pulisic diberi kans untuk mulai membangun persekutuan dengan Gyasi Zardes, Bobby Wood dan John Brooks sebagai harapan masa depan. Namun deretan veteran seperti Beckerman, Zusi dan Wondolowski masih belum juga beranjak dari tempat utama. Bila situasi seperti ini masih saja terjadi bagaimana dengan cita-cita tinggi Klinsmann itu?

"Seiring waktu, kami selalu mengatakan kami ingin memindahkan program ini ke tingkat lain. Saya pikir kami melakukan itu dari waktu ke waktu. Saya memiliki beberapa kemunduran dan ada juga banyak penjelasan dari [media] yang perlu dilakukan untuk penggemar sepak bola kasual atau penggemar sepak bola yang lebih emosional. Jadi kita masih pergi melalui banyak pendidikan, menjelaskan hal-hal tertentu mengapa yang terjadi ketika ada kemunduran,”Klinsmann berusaha membela diri.

Selain bertolak belakang dengan ikhtiar Klinsmann untuk masa depan sepak bola AS, kondisi ini pun sedikit banyak akan menggoyahkan reputasi dan melemahkan kepercayaan masyarakat setempat kepada mantan pelatih timnas Jerman itu.

Walau Copa America bukan Piala Dunia, namun pertandingan ini adalah tolak ukur untuk masa depan AS dalam menyambut Piala Dunia dua taun dari sekarang. Pelatih Brasil, Carlos Dunga, dan pelatih Paraguay, Ramon Diaz yang dipecat belum lama ini, adalah contoh betapa pentingnya turnamen ini.

"Hari ini adalah hari yang baik untuk menilai di mana kami berada dalam program secara keseluruhan. Kami jelas masih jauh...Ini perasaan yang aneh sekarang karena kami sampai ke semifinal, yang merupakan prestasi.Tapi itu bukan kekalahan yang mudah."

Apakah anomali yang dirasakan presiden sepak bola AS, Sunil Gulati itu pertanda buruk bagi Klinsmann? Kita lihat saja….

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 23 Juni 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...