Hitam-Putih Kisah Anak Negeri di Bilik Itu


Ilustrasi anak-anak sedang bermain game di warnet/gambar dari http://matahari.xyz.

Hampir saban hari saya selalu ke tempat itu. Keterbatasan sarana tak berpelukan dengan kebutuhan yang terus membayang, akhirnya menuntut saya ke sana. Letaknya tak jauh dari rumah membuatnya mudah dijangkau. Namun, tak mudah untuk mendapat tempat di sana.

Setiap kali menjangkau tempat itu pemandangan hampir selalu tak berubah. Rerata pengunjungnya berasal dari kalangan yang itu-itu saja. Bila bukan kaum remaja belasan tahun, maka yang tampak adalah bocah-bocah SD. Mereka saling berbaur dalam ruangan yang lebarnya tak seberapa namun cukup panjang dari muka ke belakang.
Mungkin, saya segelintir dari pengunjung kalangan dewasa ke atas. Tak pelak saat datang ke tempat itu muncul rasa berbeda, bahkan terasing.

Hal lain yang tak berubah adalah penampilan ruangan tersebut. Pada jam-jam tertentu, terutama setelah lepas jam sekolah, kondisinya sangat ramai. Bahkan, saat saya berkunjung pada pagi hari, ada pula pelajar-lengkap dengan pakaian seragam-duduk manis di tempat itu. Ditemani cemilan dan teh kotak yang dengan sengaja di jajakan di tempat itu, mereka serius bertekun, tak peduli waktu sekolah telah tiba. Atau dengan sengaja melewatkan panggilan jam sekolah. Dengan tahu dan mau absen ke ruang belajar.

Bisa dibayangkan seperti apa suasananya saat liburan tiba. Tuntutan pekerjaan yang tak mengenal waktu libur, atau hasrat ingin tahu yang tak mengenal istirahat, membuat saya pun selalu ke tempat itu. Sejak pagi hingga kembali pagi tempat itu tak pernah sepi.

Ada yang sekadar datang untuk bertemu tempat dan menikmati keramaian itu. Ada pula yang berniat untuk mengambil tempat. Untuk itu, di saat arus kedatangan sedang tinggi, ada yang harus terlibat saling dorong berebut tempat, atau dengan perasaan tak sabar duduk menempel di belakang kursi temannya, menanti giliran.
Hal lain yang tak berubah adalah kondisi ruangan di dalamnya. Jangan bayangkan suasana yang teduh, nyaman dan bersih. Beberapa kipas angin kecil yang terpasang di beberapa sudut jauh dari kata membantu untuk mengusir hawa panas di siang hari, dan pengap yang selalu membayang.

Sisa-sisa potongan rokok, dan debu rokok menempela di sana-sini. Meja, yang tentu saja semula bersih, seiring bertambah waktu, terlihat jelas kekotorannya. Bahkan, kondisi tersebut terkesan tak berubah. Mungkin dengan sengaja dibiarkan petugas di tempat itu karena lelah mengantisipasi kebiasaan yang terus terjadi.

Bisa dipastikan punting-puntung rokok itu adalah sisa pembakaran yang dilakoni para pengunjung. Tentu saja, sebagian besar dari kalangan remaja dan anak-anak. Saat melihat mereka berdamai dengan suasana tersebut, dalam hati, saya hanya tersenyum kecut, sembari bertanya, sampai kapan semua ini berlangsung.

Terpapar
Itulah potret warung internet (warnet) yang selalu saya datangi. Hingga kini, walau tak rutin lagi ke tempat itu, pemandangan serupa tak jua berubah. Kehidupan warnet tersebut belum juga menemui titik jeda, apalagi kata akhir. Sebagai sebuah bisnis, selama masih diminati, selam itu pula warnet itu hidup.

Gambaran singkat di atas, bisa saja subjektif dan lokal. Pengamatan saya bisa saja terbatas karena toh saya tak berumah di tempat itu. Di tempat-tempat lain, kondisinya bisa saja berbeda.

Seiring perkembangan teknologi yang memburu, kini siapa saja bisa dengan mudah mengakses segala sesuatu dengan menggunakan perangkat telepon genggam. Dari genggaman tangan kita sudah bisa menggenggam dunia.

Ironisnya, warnet tetap saja bergeliat. Untuk satu dan lain hal, warnet tetap strategis. Di saat telepon genggam bermasalah, atau dirasa kurang membantu, warnet menjadi pelarian. Bagi sebagian orang, terutama anak-anak dan remaja, warnet menjadi ruang ideal untuk  berkumpul dan bertemu rekan sebaya. Di sana mereka tak hanya melakukan interaksi biasa. Permainan atau game menarik, biasanya merekatkan mereka.

Tak ada masalah dengan game. Dalam sebuah diskusi di Jakarta, seperti dilaporkan Kompas.com, 30 November 2014, Scot Osterweil, creative director dari MIT Education Arcade, mengaku bahwa game atau video game membantu sosialisasi dan kreativitas anak.

Berlatarbelakang pengajar sekaligus desainer permainan edukatif, ia telah menciptakan sejumlah permainan elektronik seperti Zoombisnis yang diyakini tak hanya memberikan hiburan, juga membantu mengasah logika lewat permainan teka-teki tersebut.

Bahkan, minat dan bakat anak untuk menggauli game dengan sengaja diwadahi lewat kursus atau belajar bahasa pemrograman seperti yang digalakan Amanggi Soemardjan, pendiri Clevio Coder Cam. Selain itu, game-game edukatif juga bertebaran dalam aneka rupa dengan itikad untuk membantu proses belajar anak.

Kehadiran game-game yang mengandung kekerasan bahkan mempertontonkannya nyaris sempurna mengudang kecemasan tersendiri. Dalam permainan Grand Theft Auto V, para pemain mengendalikan tiga tokoh utama yakni Trevor, Michael dan Franklin dalam aksi saling tembak diiringi dialog penuh umpatan.  

Dalam pengamatan Amanggi, game tersebut, juga Counter Striker dengan warna serupa, sangat diminati pelajar sekolah dari beberapa tempat yang didatangi.

Tak semua tujuan baik itu sampai dan tepat sasaran. Para pengguna terutama remaja dan anak-anak kemudian terpikat dan terikat pada pesonanya yang memikat. Meski paparan kekerasan tersebut terhadap perilaku anak masih bisa diperdebatkan, namun yang pasti tak sedikit yang lepas kendali. Mereka mengalokasikan waktu bermain berlebihan hingga memangkas saat-saat penting untuk belajar, bersosialisasi dengan teman dan keluarga serta lainnya. Mereka kemudian menciptakan dunianya sendiri. Di warnet itu mereka mengisolasi diri, melarikan diri dari ruang pergaulan.

Dari pengamatan saya terhadap fenomena warnet di atas, ada sejumlah remaja selalu menjadi langganan di tempat itu. Saat bertandang di pagi hari, saya menemukan wajah mereka tampak lusuh. Lelah. Pertanda mereka telah berada di tempat itu selama berjam-jam. Bisa jadi, mereka menghabiskan malam di tempat itu. Sungguh kasihan tubuh mereka.

Bilik asmara
Ruang kebebasan yang terbuka lebar memungkinkan siapa saja untuk mengakses materi apa saja.  Bahkan, situs-sutus berbahaya seperti berbau kekerasan dan pornografi mudah diperoleh. Termasuk, bagi remaja dan anak-anak.  

Meski tak mudah begitu saja menarik kesimpulan, keterbukaan itu membuat remaja dan anak-anak dengan mudah terpapar materi kekerasan dan pornografi yang kerap dikonsumsi. Bukan tidak mungkin, konten negatif tersebut menggerus jiwa dan mental mereka.

Warnet tertentu didesain seperti kamar-kamar kecil yang memungkinan setiap pengguna mendapatkan privasi. Namun, terkadang ruang pribadi itu salah digunakan. Dijadikan sebagai “bilik asmara.”

Anto, seorang warga Kaligawe, Kota Semarang, Jawa Tengah menjadi salah satu saksi. Seperti dilaporkan Kompas.com, 26 Agustus 2013, ia mengaku beberapa kali menangkap basah pasangan pelajar bercumbu, bahkan berhubungan intim di sebuah warnet di Semarang Timur.  

"Siang itu kebetulan saya juga sedang browsing. Bilik warnet persis di samping bilik warnet saya tiba-tiba bergoyang-goyang. Saya penasaran dan memberanikan diri untuk mengintip lewat sebuah lubang kecil. Saya syok, ternyata dua siswa berbaju SMP sedang berbuat mesum," tuturnya.

Masih menurut sumber yang sama, seorang warga Gajahmungkur bernama Agus pun mendapati kenyataan serupa.

"Sudah ada tiga orang tetangga saya yang mengatakan kalau mereka pernah berbuat mesum di situ. Ketiganya masih SMP," tuturnya. 

Pelajaran penting
Sejumlah kenyataan di atas menggambarkan secara jelas bagaimana hitam-putih warung internet saat ini. Pengawasan yang lemah dari orang tua dan kementerian Komunikasi dan Informatika memungkinkan remaja leluasa memanfaatkan tempat tersebut, termasuk untuk tujuan-tujuan sesat.

Bila hal ini tidak ditanggapi serius dan diselesaikan secara cepat dan tepat maka bisa berdampak serius pada perkembangan generasi muda. Dari tahun ke tahun eskalasi masalah miris yang melanda remaja dan anak-anak tak menunjukkan tanda-tanda baik.

Tahun ini saja banyak kasus kekerasan dan pemerkosaan dilakukan oleh remaja bahkan anak-anak di bawah umur. Kasus pemerkosaan keji 14 remaja pria, yang sebagian masih di bawah umur terhadap gadis 14 tahun bernama Yuyun di Bengkulu belum lepas dari ingatan kita. Demikianpun pembunuhan terhadap EP yang berusia 19 tahun oleh remaja di bawah umur.

Secara statistik, menurut Catatan Tahunan Komisi Nasional Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikutip Nurul Agustina dalam opininya berjudul “Pendidikan Seksualitas” (Kompas, Kamis 26 Mei 2016, hal.6), tindakan kekerasan dan pemerkosaan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2015 ada lebih dari 320.000 kasus, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 293.220 kasus. Ironisnya, sebagian besar dari antaranya melibatkan remaja dan anak-anak.

Belum lagi praktik aborsi akibat perilaku seks bebas serta kecanduan Narkoba yang masih marak di kalangan remaja.

Untuk itu, terkait warnet, sejumlah langkah strategis sekiranya perlu dilakukan segera. Pertama, mempertebal pendampingan dan edukasi dari pihak sekolah maupun orang tua tentang game dan ancaman dan bahaya negatif yang bisa terjadi di tempat itu.

Selain itu, menanamkan nilai-nilai tentang pergaulan yang sehat dan seksualitas sejak dini untuk menghindari anak-anak dan remaja dari pergaulan tidak sehat termasuk memanfaatkan warnet secara keliru.

Kedekatan guru dan orang tua terhadap remaja dan anak-anak bisa menjadi pintu masuk untuk menanamkan nilai-nilai positif itu. Sulit terjadi komunikasi, dialog dan transfer ilmu secara baik bila ada jurang antara orang tua dan anak, atau guru dan anak, atau antara guru dengan orang tua. Menyediakan waktu khusus di rumah, atau melalui kegiatan intra (materi pelajaran) atau ekstrakurikuler (dinamika grup, pendampingan rohani atau rekoleksi, dll), penanaman nilai-nilai tersebut bisa dilakukan.

Kedua, dibutuhkan langkah tegas dan kontinyu dari Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs porno sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sudah sejak lama, pemerintah melalui instansi-instansi terkait menggemakan komitmen untuk mengawasi secara ketat situs-situs berbahaya tersebut. Namun, masih mudahnya akses terhadap situs-situs tersebut mengindikasikan bahwa masih ada lubang yang perlu segera ditambal.

Ketiga, memberikan pengawasan terhadap keberadaan warnet. Tak sedikit warnet yang sudah menerapkan aturan yang melarang mengakses materi pornografi dan mendesain ruangan tanpa sekat-sekat atau bilik-bilik.
Tetapi, masih ada warnet yang memberikan kebebasan bagi siapa saja untuk mengakses internet dan mempertahankan layout “berbahaya” itu.

Akhirnya, agar semua rencana baik ini bisa berjalan dengan baik maka dibutuhkan kerja sama dan kerja bersama dari semua elemen. Menciptakan remaja dan generasi muda yang sehat secara fisik dan mental tak bisa hanya menjadi tanggung jawab satu-dua pihak semata. Mari kita bergerak bersama untuk  masa depan Indonesia yang lebih baik.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 25 Juli 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...