Brexit dan Wajah Baru Sepak Bola Inggris

Ilustrasi dari Eurosport.com

“Sekarang mungkin tim untuk memenangkan trofi telah pergi, tetapi kami tim yang lebih baik dan lebih sukses karena kiper Denmark, Peter Schmeichel, kepemimpinan seorang Irlandia Roy Keane dan keterampilan seorang Perancis Eric Cantona.”

Itu adalah sebagian dari “curhat” David Beckham di jejaring facebook menanggapi referendum di tanah kelahirannya, Inggris. Dikutip dari BBC.com, pemain yang mengemas 115 caps bersama The Three Lions, sudah merasakan secara langsung bagaiman indah dan pentingnya persekutuan Inggris dan negara-negara Eropa lainnya.

Hal itu terbukti saat ia masih aktif sebagai pesepakbola. Kala membela Manchester United selama satu dekade, Becks pernah merasakan kontribusi para pemain dari negara-negara lain yang membawa kejayaan Setan Merah seperti pada periode 1990-an.

Bersama Peter Schmeichel yang kokoh di bawah mistar gawang, Roy Keane yang sangat tangguh sebagai gelandang bertahan dan karismatik dalam memimpin, serta si Perancis kontroversial, Eric Cantona yang berbahaya di lini serang, mereka mampu menancapkan kuku sebagai penguasa benua biru. Sebagian dari deretan prestasi yang mereka ukir yakni saat meraih treble alias tiga gelar pada tahun 1999.

Selain itu, Beckham masih merasakan kemudahan saat malang melintang di Eropa setelah meninggalkan Old Trafford pada 2003. Pria bernama lengkap David Robert Joseph Beckham itu sama sekali tak mengalami kesulitan berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain.  

“Saya juga mendapat keistimewaan saat bermain dan tinggal di Madrid, Milan dan Paris dengan rekan tim dari seluruh Eropa dan dunia.”
David Beckham saat berseragam Real Madrid/bbc.com

Tiga tahun di Spanyol bersama Real Madrid (2003-2007), dua kali jadi pemain pinjaman AC Milan (2009 dan 2010) setelah merumput di MLS bersama LA Galaxy, sebelum gantung sepatu di ibu kota Perancis bersama Paris Saint Germain tiga tahun kemudian, Beckham mengaku ia dan keluarganya benar-benar diterima oleh masyarakat setempat dan mendapat kesempatan untuk menikmati suguhan budaya berbeda. Kemudahan untuk menjangkau keberbedaan itu benar-benar memperkaya Beckham.

Namun, kondisi serupa yang dialami Beckham bisa saja tak akan terulang lagi setelah Inggris, melalui referendum, memilih “bercerai” dari Uni Eropa. Kemenangan kubu Brexit atas Bremain melalui proses pemilihan yang emosional,menegangkan dan ketat, oleh banyak pihak diklaim akan memberikan dampak turunan. Seperti yang dikatakan Beckham di atas, konsekuensi pemisahan itu bakal dirasakan pula oleh sepak bola Inggris dan Eropa.

Pertama, kebebasan bergerak terbatas. Bila dulu Beckham bisa leluasa bergerak dan berpindah dari satu klub ke klub Eropa, maka hasil referendum ini akan membatasi ruang gerak para pemain dari dan ke Inggris.

Para olahragawan umumnya dan pesepakbola khususnya yang mau berkarier di Inggris atau sebaliknya dengan sendirinya terikat pada regulasi dan izin. Sepak bola Inggris mensyaratkan para pemain non-Uni Eropa sebelum mengantongi izin kerja di Inggris harus memiliki pengalaman dengan timnas masing-masing selama dua tahun dengan presentase tertentu berdasarkan rangking FIFA.

Sebagai contoh, bagi pemain yang berasal dari negara dengan peringkat 10 besar FIFA diwajibkan tampil dalam 30 persen pertandingan internasional dalam dua tahun. Presentase penampilan untuk negara-negara dengan rangking FIFA di atasnya jauh lebih besar, masing-masing 45 persen (rangking 11-20 FIFA), 60 persen (rangking 21-30) dan 75 persen (rangking 31-50).

Berdasarkan laporan Mirror.co.uk berdasarkan studi tahun lalu, ditemukan bahwa 332 pemain asal Eropa yang tampil di Liga Primer Inggris, Championship dan Liga Skotlandia, tak memenuhi kriteria tersebut. Lebih spesifik menurut data Dailymail.co.uk, lebih dari 100 pemain yang kini tampil di Liga Primer Inggris terkategori gagal mendapat izin kerja.

Beberapa dari antara mereka adalah striker muda Manchester United Anthony Martial, ujung tombak West Ham Dimitri Payet serta pemain juara Liga Primer Inggris, Leicester N'golo Kante yang semuanya adalah muka baru di timnas Prancis.


Dimitry Payet/gambar dari Eurosport.com


Namun, pasca pemisahan ini, para pemain yang tak memenuhi kriteria tersebut tak bisa ditendang begitu saja dari Inggris. Menurut Dailymail, aturan tersebut tak bisa diterapkan secara retrospektif. Tetapi, di masa depan ada kemungkinan untuk  memberlakukan aturan tersebut.

Kedua, kehilangan pemain muda. Kegemaran klub-klub Inggris membeli bibit-bibit muda dari Eropa seperti Chelsea dan Manchester City, bakal dibatasi pasca pemisahan ini. Berdasarkan statuta FIFA pasal 19 tentang Status dan Transfer Pemain, yang sebelumnya mengizinkan transfer pemain di bawah umur antara usia 16 dan 18 tahun dalam Uni Eropa atau EEA (Wialayah Ekonomi Eropa) tak berlaku lagi bagi Inggris.

Ketiga, naiknya harga pemain. Turunnya nilai poundsterling terhadap Eurpa berdampak pada biaya transfer. Paling kurang hal itu terasa dalam jangkap pendek.

Walau Liga Inggris telah menjadi salah satu kompetisi yang matang terutama secara finansial, bahkan terus mencatatkan pertumbuhan lewat pemasukan dari iklan televise, sejumlah klub tampaknya akan berpikir dua kali untuk mendatangkan pemain bintang dengan harga yang bakal membengkak.
Sebagai contoh sebelum pemisahan nilai jual pemain Marseille Michy Batshuayi seharga 31 juta poundsterling, namun saat ini naik menjadi 34 juta poundsterling setelah kejatuhan pounsterling terhadap Euro. Hal ini tentu membuat West Ham bisa berpikir lagi untuk mendatangkannya.

Keempat, semakin memperlebar jurang antarklub di Inggris. Dengan segala konsekuensi seperti disebutkan sebelumnya, maka kesenjangan antarklub akan meningkat. Hanya klub kaya dan mampu saja yang terus memperkuat diri. Sebaliknya klub-klub kecil yang “kalah” secara finansial akan semakin terpuruk.

Salah satu agen sepak bola kenamaan Jonathan Barnett mengakui hal itu. Sebelum referendum, kepada The Daily Telegraph ia mengatakan, "Adalah penting bahwa jika kita ingin liga terbaik di dunia maka kita tetap di Uni Eropa."

Kelima, kans pemain Inggris merumput di La Liga sempit. Pasalnya regulasi La Liga hanya memperkenankan maksimal tiga pemain non-uni Eropa dalam skuad.

Real Madrid misalnya, akan dibuat pusing dengan kemenangan Brexit karena mereka harus berpikir keras untuk memperlakukan pemain Wales Gareth Bale yang sekarang digolongkan sebagai pemain non-Uni Eropa serta James Rodriguez dari Kolombia dan duo Brasil Danilo dan Casemiro.
Berhembus kabar Madrid akan mengikat Bale lebih lama di Santiago Bernabeu. Maka taka da pilihan lain selain mencoret salah satu dari mereka.

Berdasarkan paparan singkat di atas tampak jelas akibat buruk yang bakal ditanggung sepak bola Inggris. Namun ada pula berkah di balik keputusan tersebut. Aneka pembatasan menjadi kesempatan bagi Inggris untuk kembali membangun kejayaan sepak bola dengan bertumpu pada kaki sendiri.

Kecenderungan klub-klub elit untuk membeli pemain jadi bisa diganti dengan memaksimalkan potensi lokal dan menjadikan liga Inggris sebagai ajang mengasah para pemain setempat. Saatnya klub-klub Inggris-juga Skotlandia, Irlandia Utara dan Wales-membuktikan diri bertaji setelah mengalami kemunduran dalam persaingan di tingkat Eropa dalam beberapa tahun terakhir. Setelah keluar dari Uni Eropa, Inggris masih tetap menjadi bagian dari UEFA baik untuk berpartisipasi di tingkat klub maupun timnas.

Meski untuk itu ada harga yang harus dibayar. Pamor, daya tarik dan keuntungan finansial bakal menjadi taruhan. Demikianpun peluang untuk mengasah dan menyerap ilmu dari para pemain bintang non-Inggris dengan sendirinya berkurang.

Sebelum pemungutan suara pelatih Arsenal asal Perancis, Arsene Wenger angkat bicara. “Saya percaya dunia akan bertahan bila kita mencoba untuk bekerja bersama-sama-itulah yang saya percaya.” 

Namun, warga Inggris memiliki alasan dan sikap berbeda. Tak ada kata mundur, apalagi menarik diri. Saatnya sepak bola Inggris mulai bersiap untuk mengakrabi diri dengan situasi baru. Dan kita pun bersiap menyaksikan wajah baru sepak bola Inggris.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 25 Juni 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing