Seribu Makna Perjalanan “The Yanks” ke Seattle

CenturyLink Field/thedrinksbusiness.com


Setelah menuai hasil manis nan menentukan di Philadelphia pada Minggu, 12 Juni lalu, skuad Amerika Serikat pun melanjutkan perjalanan ke Seattle, Washington. Kemenangan tipis 1-0 atas Paraguay di laga pamungkas penyisihan Grup  A itu menjaga asa The Yanks di Copa America Centenario.

Perjalanan armada Jurgen Klinsmann ke CenturyLink Field, Seattle kali ini sarat makna. Tak semata-mata menziarahi khazanah kekayaan stadion dan fasilitas wah di negeri sendiri.  Tak juga sekadar menyapa dari dekat penggemar kulit bundar yang masih terbilang minoritas di antara popularitas american football dan bola basket.

Berebut kemenangan dengan Ekuador di babak perempat final di CenturyLink Field,  Jumat, (17/6) pagi WIB, bakal menorehkan banyak makna.  Hasrat dan ambisi saling memilin, menyatu menjadi sejarah.

Hasil kurang meyakinkan di laga pertama membuat wajah Klinsmann merah padam. Dipermalukan Kolombia di hadapan pendukung sendiri yang memadati Levi's Stadium, Santa Clara, California sungguh tak mengenakkan. Sontak angin pesimisme berhembus kencang menampar “The Stars & Stripes.” Posisi Klinsmann pun terdesak.
Namun, ledakan ke gawang Kosta Rika yang berbuah empat gol, serta kemenangan satu gol tak berbalas ke gawang Paraguay pelan-pelan mengubah segalanya. Skeptisisme pun berganti optimisme. Klinsmann pun menegakkan kepala.

"Tentang kami underdog adalah cerita lama. Saya sudah lelah mendengar cerita tersebut," tandas Klinsmann seperti dilansir ESPN FC.

Kini layar perjuangan Clint Dempsey, sang pahlawan yang memulangkan Paraguay, dan kolega telah terkembang. Laga menghadapi Ekuador menanti di depan mata. Menantang dengan tanya, apakah AS sanggup mengubahnya menjadi sejarah yang bakal dikenang dengan senyum mengembang?

Penuh risiko

Pertandingan menghadapi tim yang berjuluk “La Tricolor” diprediksi tak bakal mudah. Kemenangan tipis berkat gol semata wayang Darlington Nagbe di laga persahabatan pada bulan Mei, tak bisa dijadikan tolak ukur.  Demikianpun tren empat kemenangan dalam lima pertemuan mereka, belum bisa  mengkonklusi hasil akhir. Kali ini mereka berada dalam atmosfer yang berbeda. Tensi dan tekad pun setali tiga uang.

"Fase gugur sangat membutuhkan mental. bahkan sebenarnya itu adalah permainan mental,”tandas Klinsmann.
Sebagai satu dari dua tim Amerika Selatan yang belum pernah merengkuh trofi Copa America, Ekuador menatap AS dengan hasrat “membunuh”. Penantian selama 19 tahun untuk menjejaki babak perempat final pesta bola milik bangsa-bangsa Amerika Selatan ini tak ingin disia-siakan.

Dalam sejarah Copa America, ini merupakan pertemuan kedua di antara mereka. Pada Copa America edisi 1993, Ekuador menggulung AS di fase grup dua gol tanpa balas. Kali ini tak ada tawar menawar dengan aneka kemungkinan dan keberuntungan. Yang menang diganjar tiket lolos. Sebaliknya, kalah berarti satu:tersingkir. Karena itu, Ekuador pun tak mau membuang kesempatan emas ini.

Armada “Tiga Warna” yang diarsiteki  Gustavo Quinteros memiliki sumber daya pemain yang tak bisa diremehkan. Pelatih 51 tahun asal Argentina itu memiliki pemain depan berpengalaman. Ada Enner Valencia yang menimba pengalaman di Liga Primer Inggris bersama West Ham United serta  Jaime Ayovi   yang berpetualang di Argentina, Godoy Cruz Antonio Tomba.

Selain itu, masih ada Antonio Valencia, gelandang kreatif yang memperkuat klub Inggris lainnya, Manchester United. Pun compatriot Valencia di Liga Inggris, Jefferson Montero yang mengisi lini depan Swansea City. Ada juga Frisco Erazo yang menjadi tulang punggung lini belakang klub Brasil, Atletico Mineiro. Tak lupa pula penjaga gawang berpengalaman Alexander Dominguez.

Dengan materi pemain senior soliditas tim Ekuador pun sudah teruji. Kemenangan telak 4-0 atas Haiti di fase grup Copa America lebih dari cukup untuk menunjukkan hal itu. Sebelum itu, di zona CONMEBOL (Amerika Selatan) taji Ekuador sudah teruji dengan meraih hasil positif di babak kualifikasi Piala Dunia 2018. Saat ini mereka termasuk tim yang berada di papan atas klasemen sementara.

Namun, ujian kembali terjadi saat menghadapi pasukan Klinsmann yang bakal bermain dengan 12 pemain alias mendapat dukungan penuh dari pendukung sendiri.

Seperti diberitakan soundersfc.com,  usai menjalani salah satu sesi latihan di Seattle University beberapa hari lalu, Klinsmann hakulyakin akan besarnya dukungan dari pemain ke-12 itu. “Untuk memainkan pertandingan ini di depan pendukung Seattle sangat luar biasa bagi kami…luar biasa bagi kami untuk mengetahui bahwa kami memiliki pendukung di belakang kami dan memiliki kerumunan yang memahami itu.”

Lebih lanjut pemenang Piala Dunia 1990 berujar, "Seattle adalah tempat di mana kami tahu para fans akan menjadi 1.000 persen di belakang kami dan akan mendorong kami. "

Tetapi Klinsmann tidak bisa bergantung semata-mata pada faktor di luar lapangan itu. Hingga kini Klinsmann masih mencari-cari formula yang tepat. Bulan lalu saat menghadapi Ekuador Klinsmann  memulai dengan menempatkan tiga pemain di lini tengah dengan menampilkan Michael Bradley, Jermaine Jones dan Kyla Beckerman. Sementara bek tengah Steve Birnbaum ditempatkan di samping John Brooks dan Graham Zusi.
Formula yang dirasa kurang memuaskan itu diubah lagi. Bradley ditempatkan sebagai jangkar di lini tengah di depan empat bek, sementara Bobby Wood ditempatkan sebagai ujung tombak. Dengan kecepatan dan kecerdasan finishing, striker Hamburger SV ini dinilai memberikan angin segar bagi bongkar pasang formasi Klinsmann.

Namun, formasi yang dinilai sudah semakin padu itu dipastikan berubah lagi. Absennya DeAndre Yedlin karena akumulasi kartu merah membuat Klinsmann harus berpikir keras untuk menutup celah di barisan belakang yang ditinggalkan pemain Tottenham Hotspur itu.

Bukan tidak mungkin absennya pemain 22 tahun itu bakal mempengaruhi kekuatan tim, terutama dalam mengantisipasi pergerakan pemain sayap Ekuador Jefferson Montero. Saat kedua tim bertemu di laga persahabatan bulan lalu, Yedlin cukup ampuh meredam pergerakan Jefferson yang terkenal cepat, kreatif dan menjadi katalis serangan Ekuador.
 DeAndre Yedlin/espnfc.com


Bisa jadi menemukan pengganti yang tepat bagi Yedlin akan menjadi kunci untuk meredam urat nadi Ekuador. Karena itu Klinsmann dihadapakan pada pekerjaan berat untuk menemukan pengganti, atau mengambil risiko dengan memainkan aneka pilihan.

Beberapa kemungkinan yang bisa diambil pria Jerman itu antara lain mengembalikan posisi Fabian Johnson dari kiri kembali ke kanan seperti saat tampil di Piala Dunia 2014. Edgar Castillo kemudian akan mengisi posisi Johnson. Perubahan ini akan mengubah komposisi di lini belakang.

Kemungkinan lain lain adalah memasukan  Michael Orozco di sebelah kanan sehingga  Johnson tetap di posisinya. Pergantian ini bukan tanpa masalah. Kecepatan Orozcio bakal menjadi sasaran eksploitasi para pemain depan Ekuador yang memiliki kecepatan.

Sambil menunggu pilihan yang bakal diambil Klinsmaan satu hal yang pasti, sejak awal ia sudah meminta para pemain untuk tidak bergantung sepenuhnya pada satu atau dua pemain. Setiap pemain ditantang untuk mengambil berbagai kemungkinan yang terjadi. Tak terkecuali bila itu harus mengundang risiko.

"Saya ingin mereka lebih mengambil risiko. Bermain lepas dan apa adanya. Karena ketika Anda bermain ragu-ragu, cepat atau lambat mereka akan menghancurkan Anda. Karena lawan memiliki pemain yang bisa menyarangkan satu atau dua gol ke gawang Anda."

Sejarah

Pertandingan ini bakal melahirkan sejarah. Sejak memainkan pertandingan resmi pertama kira-kira seabad yang lalu, AS baru dua kali meraih kemenangan atas tim non-CONCACAF (wilayah Amerika Utara, Amerika Tengah dan Karibia) di babak knock-out. Kemenangan pertama saat mengalahkan Brasil di Piala Emas 1998, menyusul hasil positif atas Spanyol di Piala Konfederasi 2009.

Artinya, pengalaman AS menghadapi tim-tim di luar zona di kompetisi resmi terbilang minim. Kondisi ini bakal mendatangkan dilema bagi Klinsmann. Tak ada indikator dan tolak ukur di satu sisi. Namun menjadi kesempatan untuk  membuktikan taji AS sesungguhnya di sisi lain. Apalagi Klinsmann sudah mematok target tinggi untuk masa depan AS, mencapai semi final Piala Dunia 2018. Kemenangan atas Ekuador di laga ini sedikit banyak menyingkapkan kekuatan AS untuk mewujudkan ambisi Klinsmann itu.

Di pihak berbeda, Ekuador pun sedang menatap sejarah. Sekalipun target lolos fase grup sudah terlaksana, masih ada asa lain yang perlu dikejar.

“Kami telah mencapai satu tujuan, sekarang kami ingin bergerak maju. Sekarang kami harus menciptakan ketenangan pikiran.  Kami akan menghadapi pertandingan berikutnya seperti sebuah partai final,”tegas Quinteros mantap, dikutip dari fourfourtwo.com.

Akhirnya, di stadion berkapasitas 67.000 penonton itu kita akan menyaksikan hasrat, tekad dan sejarah seperti apa yang bakal terwujud. Apakah stadion multiguna itu akan menjadi sanksi terulangnya sejarah manis 2013, saat terakhir kali menggelar pertandingan kompetitif kualifikasi Piala Dunia antara tuan rumah menghadapi Panama yang berakhir dengan kemenangan 2-0?  Atau, markas dua klub American Football, Seattle Seahawks dan Seattle Sounders itu bakal menjadi kuburan bagi “The Yanks”?

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 15 Juni 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/seribu-makna-perjalanan-the-yanks-ke-seattle_5761595c7993735709891b2f

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing