Messi dan Pelajaran Penting tentang Kata Itu

Gambar dari Dailymail.co.uk



Messi benar-benar hancur. Hati pemenang lima kali Ballon d’Or atau pemain terbaik dunia itu luluh lantah. Kegagalan eksekusi penalti menjadi sinyal buruk yang akhirnya tergenapi dengan kegagalan serupa oleh Lucas Biglia.

Kalah 2-4 dalam drama adu penalti menghadapi Chile di final Copa America Centenario, Senin (27/6) pagi WIB, melengkapi hattrick kegagalan Messi dan Argentina di partai final turnamen mayor secara beruntun setelah sebelumnya di Piala Dunia 2014 dan Copa America setahun silam, atau empat kali ditambah final Copa America 2007 usai dibekuk Brasil tiga gol tanpa balas.

Putaran 358 hari setelah kalah di Chile itu, Messi akhirnya mengambil keputusan. Dalam nada emosional, striker Barcelona itu memutuskan gantung sepatu dari timnas Argentina. Seusai laga, kepada stasiun televisi Argentina, Messi coba menjelaskan keputusan penting itu, yang mana pada arti tertentu membuat kita pun mafhum.

“Keberadaan saya dengan tim nasional sudah berakhir. Ini bukan untuk saya. Ini final keempat. Keputusan telah dibuat. [Kemenangan] adalah apa yang paling saya inginkan. [Tetapi] itu tak datang juga,”ungkapnya dikutip dari Daily Mail.co.uk.

Keputusan Messi bisa dibilang mengejutkan. Bukan hanya para pencintanya yang masih ingin Messi berseragam La Albiceleste, sembari berharap puasa gelar timnas yang kini memasuki tahun ke-23 bakal berakhir, setidaknya di Piala Dunia yang tinggal dua tahun lagi di Rusia.

Rekan setimnya pun mengaku kaget. “Saya pikir Messi berbicara dalam situasi yang panas karena suatu kesempatan besar lolos dari kami,”ungkap kiper Argentina, Sergio Romero.

Selain penjaga gawang yang kini berseragam Manchester United, sahabat dekat Messi, Sergio Aguero pun setali tiga uang. Bahkan kedekatan yang telah terbangun selama ini, baik di dalam maupun di luar lapangan, membuat Aguero jauh lebih paham dengan suasana hati sahabatnya itu. 
Kita mungkin hanya bisa melihat raut wajah Messi dari jauh. Ekpresi kesal tertangkap kamera setelah sepakannya melambung dari mistar gawang Claudio Bravo. Seragam yang telah dikenakannya sejak 2005 itu  ditarik keras-keras.

Messi tak tenang saat kembali ke barisan rekan-rekannya. Ia hilir mudik saat para eksekutor lain tengah berjuang. Seusai Lucas Biglia menyusul nasibnya dan Francisco Silva memastikan kemenangan La Roja, Messi hanya bisa terduduk lemas di bangku pemain. Tangisnya pecah tak lama berselang.

Dalam raut wajah sembab, Messi berjalan menuju podium penganugerahan medali. Hatinya benar-benar luluh lantah saat melewati trofi Copa America Centenario di sampingnya.

Setelah peristiwa itu tak banyak yang tahu tentang Messi. Aguero yang tampil sebagai pemain pengganti dan sukses mengeksekusi penalti berkabar, “Ini adalah yang terburuk yang pernah kulihat ruang ganti. Lebih buruk daripada setelah dua final lainnya [Piala Dunia 2014 dan 2015 Copa America].”

Tak berlebihan Messi sedemikian terpukul. Kedigdayaan dan nama besar belum juga berarti bagi negara. Ia boleh saja meraup banyak gelar bagi Barcelona, yang mana telah meminangnya sejak berusia 13 tahun. Pun menggondol deretan prestasi individu yang berpuncak pada lima gelar pemain terbaik dunia alias Ballon d'Or.

Namun, semua itu seakan tak berarti apa-apa saat diminta untuk mengatasi rasa lapar dan haus gelar segenap warganya yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Ia boleh saja dielu-elukan dan dipuja-puji di benua Eropa, tetapi  dedikasi tertinggi bagi Argentina tak kunjung tercapai.
Saya pikir sudah cukup. Itu yang saya rasakan sekarang, apa yang saya pikirkan. Sebuah kesedihan yang luar buasa. Sakit tak menjadi juara,”tutur Messi lagi.
Gambar dari @br_uk


Cukup

Keputusan Messi akan berdampak luas. Secara negatif, akan melahirkan gelombang pensiun dari timnas Argentina. Messi saja yang baru berusia 29 tahun berani mundur, apalagi pemain yang jauh lebih senior seperti Javier Mascherano yang telah berusia 32 tahun.

Aroma pensiun besar-besaran itu sudah dihembuskan para pemain lain seperti yang diungkapkan Aguero.

“Messi mungkin tidak akan menjadi satu-satunya pemain yang meninggalkan tim nasional. Ada banyak pemain yang sedang mempertimbangkan untuk berhenti.”

Lebih lanjut, striker Manchester City itu berkata, "Saya rasa ini saatnya bagi kami untuk hengkang dari timnas dan memberikan kesempatan bagi para pemain lain." 

Keputusan pensiun dari pemain sekaliber Messi mengejutkan. Aneh, bisa jadi. Pasalnya, usianya masih memungkinkan untuk berdarmabakti bagi negaranya. Pencapaian melewati catatan Gabriel Batistuta sebagai pencetak gol terbanyak timnas baru saja tercapai. Bukan mustahil Piala Dunia 2018 masih bisa dikejar, walau untuk itu ia haru bekerja keras baik secara pribadi maupun tim. Atau setidaknya mempersiapkan jalan bagi Argentina menuju Rusia di babak kualifikasi yang kini masih berlangsung.

Selain itu, pemain besar lainnya seperti mantan kapten timnas Jerman, Philipp Lahm berani memutuskan penisun di usia 30 tahun. Bedanya Lahm yang kini masih menjadi tumpuan Bayern Muenchen mundur dengan kado manis, yakni trofi Piala Dunia 2014.

Di sisi lain, mundurnya Messi mengisyaratkan kebesaran hatinya untuk berkata cukup. Meski dalam hati gundah-gulana, Messi dengan sendirinya membuka jalan bagi para pemain muda untuk berbakti bagi negara. Messi membuka ruang regenerasi.

Berakhirnya era Messi tak berati berakhir pula kejayaan Argentina. Deretan pemain muda sudah siap mengambil peran. Di barisan depan, Argentina punya banyak pilihan. Ada striker muda Juventus, Paulo Dybala, pemain depan Atletico Madrid yang masih berusia 21 tahun, Angel Correa serta striker Inter Milan, Mauro Icardi.

Selain itu, ada juga pemain lain yang siap bersinar seperti Franco Cervi, Giovanni Lo Celso, Gaston Gil Romero, Victor Salazar dan Franco Escobar, serta masih banyak lagi.

Pensiunnya Messi maka akan berakhir pula ketergantungan Argentina pada pemain yang telah menyumbang 55 gol itu. Ketergantungan yang berakhir nir trofi itu, akan diubah dengan permainan yang lebih mengandalkan kolektivitas. Mungkin dengan soliditas itulah, Argentina dengan segala kebesarannya akan menuai prestasi.

Akhirnya, dari sikap Messi inilah kita belajar banyak hal. Tak ada yang sempurna di muka bumi ini, termasuk Messi. Ketidaksempurnaan itulah yang harus menyadarkan kita tentang arti penting kerja sama, dan kebesaran jiwa untuk memberi tempat kepada yang lain bila kita sudah di titik batas.

Di negeri inistatus quo hampir menjadi kata sakti dan barang langka yang terus dipegang teguh. Kata cukup, apalagi mundur hampir sulit terucap dari bibir para penguasa, dan mereka yang sudah duduk nyaman di kursi empuk kekuasaan, walau nyata terbaca sesungguhnya kehadiran mereka sudah tak berarti lagi. Seperti Messi, mereka yang gagal menjadi tumpuan harapan, cita-cita dan nasib banyak orang, mesti pula berani berkata cukup.
Terima kasih Messi.


 Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 27 Juni 2016.

http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/messi-dan-pelajaran-penting-tentang-kata-itu_5770eadab37a617f088f76e6





Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing