Kewaspadaan Bulu Tangkis Kita

Raut kecewa Anthony Ginting/Badmintonindonesia.org

Dua ajang bulu tangkis di dua bulan terakhir, Indonesia Open Super Series Premier dan Australia Open Super Series yang memasuki babak pamungkas, lebih dari cukup untuk membaca wajah perbulutangkisan kita saat ini. Dari berbagai sisi pembacaan, setidaknya ada dua gejala yang jelas mengemuka.

Pertama, performa pemain senior yang mengkhawatirkan. Hal ini tampak jelas pada sektor ganda putra dan ganda campuran. Dua jagoan, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan serta Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir benar-benar tampil diluar ekspektasi, bahkan jauh dari performa terbaik.
Di Indonesia Open, Hendra/Ahsan terhenti di babak kedua. Adalah pasangan muda Denmark, Mads Conrad-Petersen/Mads Pieler Kolding menjadi pengubur impian Hendra/Ahsan untuk mengulangi catatan manis tahun 2013. 

Didukung penuh suporter tuan rumah, pasangan nomor dua dunia itu menyerah di tangan ganda yang tengah naik daun itu dengan skor 19-21, 21-13, 21-18.

Alih-alih bangkit dari keterpurukan, penampilan Hendra/Ahsan tak juga membaik saat tampil di Negeri Kanguru. Giliran Koo Kien Keat/Tan Boon yang memberikan mimpi buruk bagi Juara Dunia 2013. Tampil di State Sports Centre, Sydney, Hendra/Ahsan takluk 21-17, 17-21 dan 19-21.

Setali tiga uang, nasib buruk mendera ganda campuran terbaik Tanah Air yang karib disapa Owi/Butet. Bermain di kandang, Juara Dunia 2013 itu kandas di babak kedua di tangah pasangan non-unggulan asal Denmark, Kim Astrup/Line Kjaersfeldt. 19-21 dan 17-21.

Di Australia Terbuka penderitaan Owi/Butet berlanjut. Malah keduanya harus angkat koper lebih dini di babak pertama. Lagi-lagi pasangan Denmark menjadi batu sandungan. Giliran Anders Skaarup/Maiken Fruergaard yang berjaya dengan skor 12-21, 21-18, 15-21.

Hasil buruk di dua turnamen tersebut menjadi kulminasi dari penampilan mereka sepanjang tahun ini. Setelah menjuarai Dubai Super Series Finals 2015 dan Thailand Masters 2016, gelar juara menjauh dari Hendra/Ahsan. Penampilan mereka sempat moncer di putaran final Piala Thomas di Kunshan, China. Namun, meredup setelah itu.

Owi/Butet. Sempat paceklik gelar super series sejak 2014, pasangan yang kini melorot ke rangking tiga dunia naik podium di Malaysia Open Super Series Premier tahun ini. Tetapi, setelah itu, salah satu pemain diterpa masalah fisik, yang pada gilirannya mengemuka sebagai dalih penurunan performa. Hingga kini Owi/Butet yang pernah dikenal masih jauh dari harapan.

Entah apa yang menjadi alasan mendasar di balik penurunan performa para jagoan ini. Namun kenyataan tersebut patut dikhawatirkan mengingat keduanya bakal menjalankan tugas berat membawa bendera Merah Putih di Olimpiade Rio de Janeiro, Agustus nanti.

Setelah Australia Open, mereka hanya memiliki sedikit waktu untuk berbenah. Evaluasi serius perlu dilakukan. Mendiagnosis dan menemukan titik lemah adalah syarat mutlak, sambil terus memompa kebugaran fisik dan mempertajam fokus. Urusan fisik perlu ditangani secara hati-hati mengingat usia mereka yang tak muda lagi serta riwayat cedera yang bisa kambuh kapan saja.

Kedua, berada di kutub sebaliknya dengan para senior, para pemain muda tampil memukau. Dengan tanpa mengabaikan sektor lain, tunggal putra mengisyaratkan masa depan cerah. Setelah masa keemasan Taufik Hidayat, Indonesia benar-benar merindukan sosok yang disegani.

Lama menanti, kini fajar harapan itu merekah dalam diri tiga pemain muda yakni Jonatan Christie, Ihsan Maulana Mustofa dan Anthony Sinisuka Ginting. Harapan ini bukan mengada-ngada. Tengok saja prestasi mereka beberapa waktu terakhir. Bergantian membuat kejutan dengan menjegal para senior dan pemain bintang menjadi bukti. Hasilnya, dalam waktu singkat, mereka berkejar-kejaran memperbaiki peringkat dunia.

Namun, di balik tren yang menggembirakan ini, terbersit alarm kewaspadaan. Bisa jadi,  lebih sebagai sinyal kelemahan yang perlu segera dibenahi agar tak terjerumus dalam euforia sesaat yang bisa menguburkan masa depan mereka.

Patut diakui usia mereka masih muda untuk sebuah karir profesional. Pesona talenta yang sudah terlihat, perlu terus diasah dari waktu ke waktu. Selain teknik, mental dan kebugaran fisik menjadi pekerjaan rumah mereka saat ini.

Dua alasan itu, hemat saya, masih menjadi tembok utama yang perlu segera dirobohkan.  Jonatan Christie misalnya. Berhasil membuat Lin Dan mati kutu di babak kedua Indonesia Open gagal berlanjut di babak selanjutnya. Bertemu pemain senior lainnya, Jan O Jorgensen, segala keunggulannya saat melibas Super Dan menguap hanya karena provokasi pemain senior Denmark itu.

Pada titik kritis, saat Jojo hampir membuat kejuatan lanjutan, Jorgensen menunjukkan senioritasnya. Perbedaan kematangan emosioanal antara keduanya terlihat menganga lebar. Kecakapan teknis tak banyak berarti saat fokus terbelah. Belum lagi fisik yang sudah terkuras.

Walau kalah, Jojo mendapat apresiasi dari banyak pihak, termasuk Jorgensen. Ia digadang-gadang menjadi penerus salah satu legenda Tanah Air, Taufik Hidayat.

Belum lama puja-puji itu berkumandang, Jojo tampil buruk di Austalia Open. Predikat sebagai pembunuh raksasa menguap di hadapan pemain non unggulan asal Korea Selatan Kwang Hee Heo straight set 21-15 dan 21-14 dalam tempo tak sampai setengah jam.

Gejala inkonsistensi terjadi juga pada Ihsan Maulana Mustofa. Performa apik di Indonesia Open gagal berlanjut di Australia Open. Seperti kompatriotnya Jojo, Ihsan pun tersisih di babak awal, dibekuk wakil India Sameer Verma, 22-20, 15-21 dan 21-15. Tak terlihat pesona pebulutangkis asal Tasikmalaya itu saat menjajal ketangguhan Lee Chong Wei di Istora, Senayan, Jakarta beberapa waktu lalu.

Hal yang sama pun terjadi pada Anthony. Tersingkir lebih dini di Indonesia Open, Anthony bangkit di Australia. Bahkan, juara dunia Chen Long dibuat tak berkutik. Juara bertahan asal Tiongkok itu dilibas dua game langsung 21-14 dan 21-17.

Namun, virus yang ditakuti kembali menyengat. Permainan taktis, sabar dan akurat tak terlihat di semi final. Semua itu menguap saat bertemu sesama pemain muda asal Korea Selatan Jeon Hyeok Jin. Peluang final yang sudah didepan mata pun sirna usai kalah 19-21, 21-16 dan 19-21.

Entah apa yang membuat performa para pemain muda kita cepat berubah. Yang jelas ketidakkonsistenan menggejala. Bisa jadi mental mereka masih labil. Bisa jadi pula alasan kebugaran. Hanya saja jangan sampai mereka mudah larut dalam puja-puji sesaat. Cepat berpuas diri dengan pencapaian yang ada.

Usia mereka masih panjang, segala potensi yang ada perlu diasah secara tepat dan padu agar segalanya tak layu sebelum berkembang, gugur sebelum dipetik.
Hendra/Ahsan di Australia Open 2016/Badmintonindonesia.org


Kunci satu gelar

Mengobati hasil mengecewakan di Indonesia Open, para pemain Indonesia lainnya tampil baik di Australia. Bersaing dengan Tiongkok, Indonesia menempatkan tiga wakil di babak final, setelah mengirim enam wakil di semifinal.

Bahkan Indonesia sudah dipastikan membawa pulang satu gelar juara dari sektor ganda putra setelah terjadi all Indonesian final antara dua pasangan masa depan Angga Pratama/Ricky Karanda Suwardi dan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon.

Angga/Ricky ke partai pamungkas setelah memenangkan perang saudara dengan Berry Angriawan/Rian Agung Saputro. Sementara  Kevin/Marcus menundukkan wakil Tiongkok, Liu Cheng/Zheng Siwei, 21-17 dan 21-11. Pertemuan ini mengulangi pencapaian di final India Open awal tahun ini. Saat itu, Kevin/Marcus keluar sebagai juara.

Satu tempat lain diisi oleh ganda putri senior Greysia Polii/Nitya Krishinda Maheswari yang menyingkirkan Yu Yang/Tang Yuanting, Tiongkok, straight set 21-18 dan 21-17.

Ganda nomor empat dunia ini akan berebut gelar dengan wakil Tiongkok lainnya Bao Yixin/Chen Qingchen. Kedua pasangan belum pernah bertemu. Di atas kertas Greysia/Nitya berpeluang besar meraih gelar.

Sayang, harapan Indonesia dari sektor ganda campuran kandas setelah Praveen Jordan/Debby Susanto menyerah dari pasangan muda Tirai Bambu Zheng Siwei/Chen Qingchen. Juara All England  2016 gagal menjaga momentum kemenangan di set pertama sehingga Zheng/Chen mampu memukul balik di dua set berikutnya dengan skor akhir 21-19, 11-21 dan 16-21.

Dengan kemenangan itu,  Tiongkok pun sudah berhak atas gelar ganda campuran. Zhen/Chen akan memperebutkan bagian dari total hadiah 1 juta dollar AS dengan rekan senegara Lu Kai/Huang Yaqiong yang lolos usai menguburkan satu-satunya harapan Malaysia Chan Peng Soon/Goh Liu Ying, 21-15 dan 21-12.

Secara keseluruhan, Tiongkok menempatkan satu lagi wakil di sektor tunggal putri melalui Sun Yu yang akan berhadapan dengan wakil India, Saina Nehwal. Sementara itu gelar tunggal putra akan diperebutkan Korea Selatan dan Denmark melalui Hans-Kristian Vittinghus.
Sumber:@BadmintonRI

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 11 Juni 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing