PSSI, Alfred Riedl dan Perubahan yang Terpasung
Alfred Riedl/INDOSPORT.com
PSSI bergerak cepat. Usai sanksi FIFA berakhir, menyusul
pencabutan pembekuan oleh Menpora, induk sepak bola Indonesia pun bergeliat. Agenda
terdekat, Piala AFF pada November mendatang, membuat PSSI pun bergerilia
mencari pelatih untuk mulai membangun kembali serpihah-serpihan Garuda yang
sempat terkoyak.
Setelah melewati tahap seleksi, Jumat (10/6), PSSI pun memaklumkan
Alfred Riedl sebagai pelatih timnas. Penunjukan pria kelahiran Austria itu cukup
mengagetkan. Kekagetan terbesar, nama
pria 66 tahun itu tak pernah mengisi ruang wacana kandidat yang
belakangan mengerucut pada dua nama yakni Nil Maizar (pelatih Semen Padang) dan
Rahmad Darmawan yang kini berpetualangan di Liga Malaysia bersama T-Team.
Dengan tanpa menyinggung alasan ‘penyingkiran’ dua kandidat
tersebut, pelaksana Ketua Umum PSSI, Hinca Panjaitan mengaku keputusan tersebut
tepat adanya. Apalagi setelah melewati diskusi dengan Ketua Umum PSSI yang
tengah mendekam di hotel pro deo, La Nyalla Mattalitti.
“Kami berdiskusi dengan Ketua Umum dan internal kami yang
lain sebelum memutuskan ini. Ini adalah keputusan yang tepat. Yang jelas kami
punya pendapat sendiri,”ungkap Hinca seperti dilansir Antara.
Pertanyaan pun menyeruak, apakah keputusan tersebut tepat
adanya? Apakah Riedl merupakan sosok tepat membesut Garuda yang tengah terkulai
tak berdaya?
Tanpa merinci kualitikasi yang mengunggulkan Riedl dari para
kandidat lainnya, pihak PSSI menyebut bahwa penunjukkan tersebut lebih karena
alasan waktu. Riedl dianggap sebagai sosok yang mampu menyelamatkan keadaan.
Waktu penyelenggaraan Piala AFF yang kian mendekat menjadi dalih PSSI menunjuk pria
kelahiran 2 November itu.
Mengutip akun twitter PSSI, @pssi_fai, “Dalam waktu yang
singkat ini, PSSI harus bekerja cepat untuk mempersiapkan Timnas. Maka dari itu
langkah paling logis menunjuk Alfred Riedl sebagai pelatih Timnas Indonesia.”
Apa yang disebut logis oleh PSSI itu menjadi tidak logis bila
mengacu pada pernyataan Riedl usai ditunjukkan melatih timnas. Jelas-jelas, Riedl
mengaku tak tahu banyak tentang pemain Indonesia saat ini.
“Keadaan sekarang ini hampir sama seperti 2010 lalu. Saya
juga tidak tahu banyak tentang pemain Indonesia. Saat itu 12 dari 23 pemain
juga muka baru. Itu jumlah yg banyak, tetapi saat itu kami dapat mencapai
final,” ungkapnya dikutip dari INDOSPORT.com.
Bila sang pelatih tak mengenal baik kondisi mutakhir sepak
bola dalam negeri masih pantas dipilih meracik timnas yang tengah dikejar
waktu? Walau setahun terakhir mati suri, setidaknya lebih logis menunjuk
pelatih yang sedikit lebih tahu tentang kondisi persepakbolaan dalam negeri?
Tersurat dari pernyataan Riedl di atas, saat ditunjuk
melatih timnas pada 2010, dirinya sama sekali tak mengetahui kondisi sepak bola
Indonesia. Namun, saat itu di masa bakti pertama, ia sukses mengantar Indonesia
sebagai runner up Piala AFF 2010.
Apakah keberuntungan yang sama akan kembali menaunginya saat
ini? Sabar dulu. Setelah kesuksesan itu, Riedl diputus kontrak setahun
kemudian. Entah mengapa, dua tahun kemudian ia kembali dipanggil ke pangkuan
Merah Putih.
Setahun melatih, pada 2014 ia melepas jabatan tersebut
setelah Indonesia gagal total di Piala AFF tahun tersebut. Alih-alih mengulangi
pencapaian tahun 2010, Indonesia malah terbenam di fase grup. Lebih memalukan,
sejarah mencatat, Indonesia dipermalukan Filipina empat gol tanpa balas.
Seakan ‘buta’ dengan track
record Riedl ini, PSSI mempertegas penunjukkan Riedl dengan alasan
pengalaman dan profesionalisme. "Dia sudah memiliki pengalaman dan
profesional. Dan beliau juga sudah bersedia bergabung jadi tidak ada
masalah," ungkap Azwan Karim, Sekretaris PSSI.
Apakah itu yang disebut berpengalaman dan profesional?
Bukankah PSSI pun perlu belajar juga dari pengalaman agar tak sampai jatuh lagi
dalam kegagalan yang sama? Lantas, apakah pelatih lain tak ada yang
berpengalaman dan profesional?
Entah apa yang menjadi dasar utama penunjukkan yang
mengagetkan dan meragukan ini, publik Indonesia hanya berharap satu. Asa
perubahan tata kelola sebagai kata kunci yang harus dibayar mahal dengan silang
sengkarut PSSI vs Kemenpora yang berujung pembekuan itu benar-benar terlaksana.
Baru bangun dari mati suri, mustahil memimpikkan kejayaan
Merah Putih dalam sekejap. Di tengah derap kemajuan sepak bola bangsa-bangsa
Asia Tenggara yang telah melangkah maju, asa berjaya dalam waktu singkat
mustahil adanya. Implementasi cita-cita tinggi mirip dongeng Roro Jonggrang itu
tak lebih dari mimpi di siang bolong. Persis seperti cita-cita tinggi yang
dikumandangkan Riedl saat ini.
Justru yang kita butuhkan saat ini adalah langkah korektif dan
reformatif secara mendasar. Menata persepakbolaan secara transparan dan
terukur. Tak hanya untuk level senior dan untuk mengejar target mustahil di
depan mata. Tetapi untuk semua aspek terkait persepakbolaan dalam negeri.
Saya akan legawa bila Indonesia tidak menjadi finalis Piala
AFF 2016. Selain karena mustahil, yang kita butuhkan saat ini adalah perubahan,
termasuk di tingkat pelatih timnas senior.
Apakah semangat perubahan itu ada dalam diri Alfred Riedl?
Atau justru sebaliknya, memasung semangat perubahan itu?
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 10 Juni 2016.
Comments
Post a Comment