Copa America Centenario, Proyek Gagal Carlos Dunga

           HECTOR RETAMAL/Getty Images


"I do not fear dismissal, I am only afraid of death (Saya tidak takut pemecatan, saya hanya takut pada kematian)"

Demikian pernyataan yang keluar dari mulut Carlos Dunga, pelatih timnas Brasil tak berapa lama setelah timnya tersisih secara menyakitkan dari Copa America Centenario. Gol kontroversial yang santer disebut gol ‘tangan Tuhan’ dari striker Peru, Raul Ruidiaz saat kedua tim bersua di laga pamungkas penyisihan Grup B, Senin (13/6) pagi WIB lalu, sudah lebih dari cukup untuk memulangkan Selecao lebih dini.

Perayaan 100 tahun Copa America kali ini pun berganti duka bagi “La Canarinha” yang tengah mencari jalan untuk memulihkan nama baik setelah terpuruk dalam beberapa tahun terakhir. Sejak diporak-porandakan Jerman di hadapan pendukung sendiri pada Piala Dunia 2014, tarian Samba tak lagi terlihat.

“Jogo bonito” yang selalu lekat dengan nama besar Brasil pun tak mewujud prestasi di Copa America 2015 di Chile. Alih-alih menjadi momen kebangkitan, Copa America Centenario malah lebih sebagai kuburan baru bagi Brasil.

Bila di Chile, Brasil kandas di perempatfinal usai kalah adu penalti dengan Paraguay, kali ini kegagalan Brasil jauh lebih menyakitkan. Tersisih di fase grup di tangan tim yang kurang dijagokan. Sebagai pengoleksi delapan gelar Copa America dan lima gelar juara dunia, kandas di tangan pemilik dua gelar Copa America sungguh memilukan.

Alhasil, keterpurukan ini mengulangi catatan Copa America 1987 di Argentina yang mengisi lembaran sejarah Selecao dengan dua noktah hitam kegagalan di fase grup dari 36 kali partisipasi dengan 30 kali menembus semifinal.

"Semua orang melihat apa yang terjadi. Kami tidak bisa mengubah apa yang orang lihat. Saya tidak mengerti mengapa mereka empat menit berbicara tentang wasit dan asisten kemudian tanpa menyelesaikan apa-apa. Brasil tersingkir karena tidak bermain sepak bola,"ungkap Dunga mengkritisi keputusan wasit Andres Cunha yang bergeming dengan gol kontroversial menit ke-73 itu, dikutip dari Soccerway.com.

Apakah benar Brasil tersisih dengan tanpa bermain bola? Pantaskah Dunga mengkambinghitamkan Cunha sebagai aktor tunggal kegagalan Brasil di Copa America Centenario?

Memang tak bisa ditampik sebuah kesalahan kecil di lapangan hijau bisa berujung petaka. Satu gol saja sudah lebih dari cukup untuk mengubah sejarah. Namun, kekalahan Brasil di laga itu, tidak semata-mata karena gol problematis itu. Dengan penguasaan bola 64 persen, 11 kesempatan tembakan, berbanding terbalik dengan Los Incas yang hanya mendapat satu kesempatan saja, Willian dan kolega semestinya bisa berbuat lebih. Sumber daya bintang memadai sejatinya bisa berbuah banyak gol, ketimbang sekadar menyoal wasit dan Ruidiaz.

Proyek gagal

Sejak menangani Brasil untuk kali kedua usai era kegagagalan Luiz Felipe Scolari pada 2014, setelah sebelumnya bertugas pada 2006-2010, Dunga belum menunjukkan hasil signifikan. Kegagalan di dua turnamen mayor adalah bukti kasat mata.

Belum lagi, perjuangan menatap Piala Dunia 2018 melalui zona kualifikasi. Dari enam laga kualifikasi zona Amerika Selatan yang sudah dilakoni, Brasil baru meraih dua kemenangan. Di tabel klasemen sementara Brasil menempati posisi keenam, masih jauh dari kata aman untuk lolos ke Rusia.

Dengan sumber daya pemain memadai yang malang melintang di banyak kompetisi elit Eropa, hasil yang dituai tim Samba saat ini menjadi tanda tanya besar. Sejauh mana kinerja dan kualifikasi Dunga dalam meracik dan membangun tim? Apa perlu Brasil menanti seorang Edson Arantes do Nascimento alias Pele baru?

Hemat saya, tidak perlu menantikan sosok ‘dewa penolong” karena materi pemain yang dimiliki Brasil saat ini sudah lebih dari cukup. Ketidakcakapan dan kejelian Dunga-lah yang berbuah mismanajemen Brasil saat ini. Beberapa bukti bisa dikedepankan.

Pertama, kegagalan membangun kreativitas tim. Dua laga di Copa America Centenario menunjukkan secara jelas bagaimana antitesis Brasil dengan segala kreativitas, ide, dan imajinasi bola yang mengagumkan.
Yang ada kini adalah ketergantungan yang sudah sangat berlebihan pada Neymar. Akibatnya justru menjadi bumerang saat Neymar Jr itu menepi. Menghadapi Ekuador yang berakhir tanpa gol terlihat bagaimana Brasil tanpa striker Barcelona itu.

Demikian pun, kerinduan akan hadirnya sosok Neymar nyata pula saat laga kedua menghadapi Haiti. “Pesta besar” tujuh gol ke gawang tim Karibia itu lebih karena kelemahan mendasar tim lawan, ketimbang hasil permainan intensif Brasil. Tengok saja, saat itu, intensitas serangan Brasil sangat minim untuk kategori lawan dengan kualitas jauh di bawah.

Brasil benar-benar kehilangan roh Samba. Tanpa Neymar dan Douglas Costa, sosok yang diandalkan seperti Willian dan Philippe Coutinho yang cemerlang di musim sebelumnya bersama Chelsea dan Liverpool tak bisa berbuah banyak. Serangan yang dibangun tak jelas arah dan tujuan. Brasil benar-benar ketiadaan titik fokus dan ujung tombak.

Dari berbagai percobaan yang dilakukan dengan memasang Diego Tardelli, Robinho, Luiz Adriano, Ricardo Oliveira, Jonas dan sekarang Gabriel Barbosa berujung satu. Gagal. Striker belia yang cemerlang bersama Santos itu masih terlihat gamang memainkan peran. Alih-alih menjadi ujung tombak, pemain 19 tahun itu masih kurang cakap dalam penyelesaian akhir. Impotensi Barbosa saat ini mengingatkan kita akan sosok Fred yang dilumat “mesin” Jerman di Belo Horizonte dua tahun lalu yang berujung kekalahan memalukan 1-7 di babak semi final.

Kedua, salah strategi. Apakah Dunga belajar dari pengalaman atau tidak, namun yang pasti strategi yang dimainkan di Copa America ini jelas menunjukkan kelemahan, untuk mengatakan kesalahan. Dengan filosofi organisasi dan efisiensi, Dunga tampak ceroboh dengan mengabaikan lini tengah. Tanpa holding player jelas Brasil akan kehilangan keseimbangan.

Setelahan kehilangan Casemiro karena suspensi, pelatih 52 tahun itu berjudi dengan memasang Lucas Lima. Sebagai pemain kreatif, pria 25 tahun itu tak perlu diragukan lagi. Kepada pemain Santos itu sudah disemat predikat sebagai pemain paling lihai dan kreatif di Campeonato Brasileiro musim lalu.

Lucas Lima bermain impresif saat menghadapi Peru namun tak memberikan dampak signifikan, Jim Rogash/Getty Images

Namun, kehadiran Lima sama sekali belum menyentuh inti kebutuhan Brasil. Bukannya mengubah gaya bermain, perjudian yang dilakukan Dunga justru lebih pada formalisme bentuk.

Menghadapi Peru, Dunga mengubah formasi dari 4-1-4-1 menjadi 4-2-3-1. Jelas formasi ini membuat Brasil kehilangan keseimbangan. Lima lebih memainkan peran ofensif, ketimbang menjaga agar pergerakan tim tak limbung. Malah Lima mencaplok ruang yang semestinya menjadi sasaran empuk Coutinho yang gemar memotong dari sisi kiri. 

Ketidakakuratan Dunga meracik komposisi tim berbanding lurus dengan kelambanan strategis. Dalam posisi terjepit, saat tim kehilangan keseimbangan dan kreativitas, semestinya dibutuhkan solusi cepat. Minimal ada rencana B yang bisa dimainkan. Pertandingan pertama dan terakhir, menghadapi Ekuador dan Peru, nir gol adalah potret lemahnya Dunga mengantisipasi situasi saat lawan bermain lebih taktis.

Untuk tim sekelas Brasil semestinya ada cara lain untuk mengubah startegi. Namun, hal seperti itu tak kita temukan. Bahkan di laga terakhir, selama 90 menit penuh, Dunga ‘keukeuh’ dengan formasi 4-2-3-1. Satu-satunya pergantian yang dilakukan hanyalah memasukan Gabriel Barbosa. Apa arti deretan pemain potensial di bangku cadangan?

Dalam kondisi seperti ini terlihat bahwa Brasil telah kehilangan roh, semangat dan kreativitas. Ketiadaan ujung tombak mumpuni berpelukan dengan ketergantungan yang sangat pada Neymar. Saat Neymar tak ada maka terlihat jelas rupa kepelatihan Dunga yang karut-marut.

Dengan kegagalan ini, serta target emas di Olimpiade Rio kurang dari dua bulan ke depan, apakah Brasil masih tetap bertumpu pada Dunga?

Menanggapi berbagai rumor miring terkait masa depannya di timnas, Dunga berujar, “Ketika Anda bekerja untuk tim Brasil, Anda tahu bahwa kritik akan datang secara intensif saat hasil tak datang. Di Brasil kami ingin semuanya berubah dalam dua menit, tetapi dalam sepak bola Anda harus bersabar. Saya tidak takut pemecatan, saya hanya pada kematian.”
Apakah dua tahun bukan waktu yang panjang, Dunga?

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 14 Juni 2016.

http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/copa-america-centenario-proyek-gagal-carlos-dunga_575fb2469993732c077b4a15


Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing