Korupsi, Seksualitas dan Gerakan Semesta Pendidikan

Ilustrasi dari Kompas.com

Josephus Ignatius Gerardus Maria Drost, salah satu tokoh pendidikan Indonesia, mengartikan pendidikan sebagai proses menarik keluar (ex-ducere) segala potensi untuk diaktuaisasikan, dikembangkan dan dimaksimalkan.
Dengan berpatok pada kata kerja dasar educare, kata bahasa Latin yang berarti usaha pemulihan, J.Drost mengidealkan muara pendidikan itu pada penemuan hakikat manusia sebagai makhluk istimewa yang pada gilirannya mampu hidup mandiri dengan pandangan hidupnya sendiri.
Namun, melihat wajah pendidikan kita saat itu ideal pendidikan ala J Drost itu bukan hanya jauh panggang dari api. Lebih dari itu, pendidikan yang dihidupi saat ini sudah mengalami kemerosotan yang mendekam dalam jurang  teknis-mekanis, koruptif hingga demoralisasi.
Beberapa bukti sahih bisa dikedepankan. Pertama, institusi pendidikan kini bukan lagi menjadi lembaga edukasi, tetapi  telah berubah menjadi sarang praktik korupsi. Dari data yang dipaparkan di halaman depan Kompas, 19 Mei 2016, disebutkan bahwa sekolah dan dinas pendidikan menjadi lahan subur praktik korupsi.
Besarnya alokasi anggaran untuk bidang pendidikan yang berpelukan dengan lemahnya pengawasan membuat bidang ini menjadi sasaran empuk praktik tercela itu. Beberapa modus korupsi yang mengemuka seperti penggelapan anggaran, penggelembungan anggaran, pemotongan anggaran, penyalahgunaan anggaran, proyek fiktif, laporan fiktif hingga pungutan liar.
Dari penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) selama 10 tahun terakhir, sejak 2006-2015, tercatat ada 425 kasus dengan jumlah tersangka 618 orang yang merugikan negara  mencapai Rp1,3 triliun.
Alih-alih melibatkan diri dalam usaha memajukan pendidikan, institusi pendidikan baik sekolah, maupun perguruan tinggi, entah di level pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota, serta aktor pendidikan baik kepala dinas, kepala sekolah, bendahara malah melibatkan diri dalam aksi tak patut dan sangat jauh dari idealisme dunia yang sedang digeluti itu.
Kedua, mengemukanya sejumlah kasus kekerasan seksual pada tahun 2016 ini dengan korban dan aktor masih berada di bawah umur, artinya masih dalam masa pendidikan. Beberapa contoh mutakhir bisa disebutkan. Pemerkosaan yang dilakukan bergerombol oleh 14 remaja laki-laki, yang sebagiannya masih di bawah umur, terhadap gadis 14 tahun berinisial Yy asal Bengkulu.
Belum lepas aksi gang rape itu, kita kembali dikejutkan dengan pembunuhan terhadap EP yang berusia 19 tahun oleh remaja di bawah umur. Tak hanya remaja sekolah yang terlibat, bahkan seorang kepala sekolah pun bertingkah bejat dengan menghamili remaja 16 tahun berinisial S yang merupakan siswi madrasah tsanawiyah di Yogyakarta (Kompas, Selasa 17 Mei 2016, hal.22).
Menurut catatan Nurul Agustina dalam opininya berjudul Pendidikan Seksualitas, berdasarkan Catatan Tahunan Komisi Nasional Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), ekskalasi tindakan kekerasan dan pemerkosaan di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2015 ada lebih dari 320.000 kasus, meningkat tajam dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 293.220 kasus (Kompas, Kamis 26 Mei 2016, hal.6).
Nurul menyimpulkan bahwa pelaku kekerasan terhadap anak khususnya, pada umumnya berasal dari lingkungan terdekat, antara lain keluarga, teman sebaya, sekolah dan lingkungan sekitar. Coba bayangkan, lingkungan-lingkungan yang disebutkan Nurul itu tak lain tak bukan adalah tempat di mana pendidikan semestinya disemai, bukan?
Akar
Dengan tanpa berpanjang-panjang menyebut deretan persoalan yang mendera dunia pendidikan kita, dua contoh di atas setidaknya sudah lebih dari cukup untuk menarik konklusi bahwa pendidikan di Tanah Air mengalami kemunduran.
Pertama, menyata bahwa pendidikan semata-mata dipahami sebagai urusan otak atau akal budi semata. Pendidikan mental, moral, karakter dan akhlak kurang mendapat porsi. Yang dikejar saban hari oleh para guru dan peserta didik adalah angka-angka yang pada gilirannya menentukan kenaikan kelas, kelulusan hingga akreditasi. Adalah sebuah kebanggan bila mampu mencetak lulusan dengan nilai mentereng. Apakah lulusan atau output itu benar-benar menjadi pribadi yang sudah terdidik, dalam arti segenap potensi sudah ditarik keluar dan diasah dengan benar, bukan jadi perkara lagi. Kasus korupsi yang berurat-akar di institusi pendidikan, serta persoalan kekerasan hingga kejahatan seksual itu, dalam arti tertentu adalah kegagalan dunia pendidikan menyentuh aspek nonkognisi.
Kedua, sekilas persoalan yang mengemuka di atas dibaca sebagai urusan institusi pendidikan yang nota bene disebut sebagai sekolah, dinas pendidikan, dan sebagainya. Namun jarang disebut bahkan disangkutpautkan denga keluarga dan institusi lainnya ketika sebuah persoalan mendera peserta didik.
Apakah persoalan kekerasan, baik dari kaca mata korban maupun pelaku, adalah murni ‘kekurangan’ dari institusi pendidikan formal? Bukankah pendidikan adalah juga urusan keluarga dan masyarakat umumnya?
Gerakan semesta
Patut diakui aneka persoalan di atas mustahil diselesaikan dengan dan hanya mengandalkan kerja satu dua lembaga saja. Persoalan yang mendera pendidikan adalah urusan dan tanggung jawab bersama, bukan hanya institusi pendidikan formal semata. Sebagai sebuah masalah bersama maka menuntut kerja sama dan kerja bersama baik keluarga, sekolah/lembaga pendidikan, masyarakat hingga pemerintah. Dengan kata lain, istilah gerakan semesta tepat untuk menggabarkan hal itu. Semua elemen yang terlibat dalam semesta pendidikan bergerak bersama.

Pertama, terkait kejahatan seksual terdapat rantai kerja sama yang bisa dibangun mulai dari konsep pendidikan seksualitas komprehensif baik yang berbasis sekolah, keluarga maupun komunitas.
Harus dipahami dan kembali ditekankan bahwa pendidikan seksualitas bukan soal cara berhubungan seks, kelamin atau perkelaminan. Seksualitas harus ditekankan sebagai totalitas diri seseorang sebagai manusia.
Bisa disebutkan konsep tepat tentang seksualitas menurut WHO yang menyangkut variable biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual, termasuk berkaitan dengan persepsi diri, harga diri, sejarah pribadi, konsep cinta dan keintiman, citra tubuh, kepribadian dan sebagainya.
Muara dari pendidikan seksualitas adalah menghasilkan individu yang mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, terlepas dari jenis kelaminnya. Pada titik ini memasukan Pendidikan Seksualitas Komprehensif Comprehensive Sexuality Education/CSE) menjadi penting.
Mengutip Nurul melalui CSE pada gilirannya akan mengarahkan seseorang untuk “mengenal tak hanya tubuhnya dan proses-proses reproduktifnya, tetapi juga emosi-emosinya dan sekaligus mengeloolanya. Tidak sebatas memahami fisik, tetapi memanfaatkan segenap fakultas intelektual dan spiritual yang ada di balik wujud fisik.”.
Gagasan CSE yang sudah diinisiasi sejak satu dekade lalu, dan kini diwacanakan oleh Menteri Pendidikan Anies Baswedan diharapkan akan ada kurikulum pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Konsep indah itu akan jauh lebih berarti bila keluarga sebagai lembaga pendidikan utama dan pertama turut ambil bagian untuk mengenalkan dan mempertegas dengan cara-cara yang lebih menyentuh. Sementara pemerintah dan masyarakat mendukung tidak hanya dengan menggagaskan kurikulum semata tetapi juga mengawasi pelaksanaan kurikulum tersebut.
Lebih dari itu, peran penting pemerintah masih dibutuhkan untuk memperhatikan faktor-faktor penting lain yang bertali temali dengan persoalan kekerasan seksual tersebut. Patut diakui masalah tersebut tak hanya terkait dengan urusan pendidikan semata. Tetapi juga anasir lain seperti urusan kemiskinan, ketimpangan gender dan urusan pendapatan.
Kedua, berkaitan dengan masalah korupsi. Selain dibutuhkan langkah tegas pemerintah untuk memangkas dan menindak tegas para pelaku, usaha mendasar yang perlu ditanam lagi-lagi adalah soal kurikulum. Apakah kurikulum yang ada saat ini adalah jalan yang tepat untuk membentuk karakter manusia Indonesia yang jujur dan antikorupsi?
Selain menjadi medan untuk memangkas perilaku tak jujur dan koruptif, lembaga pendidikan mesti menjadi ruang untuk melahirkan generasi jujur yang berani berkata tidak pada segala tindakan tak terpuji.
Sekolah melalui gerakan wajib belajar 12 tahun, serta keluarga mesti bersinergi untuk membentuk karakter manusia yang jujur dan berani berkata tidak pada korupsi. Rumah dan sekolah harus menjadi ruang menyemai nilai dan norma luhur dan jujur.
Saat ini kita menaruh harapan pada Presiden Jokowi untuk memperhatikan dunia pendidikan, sama seperti sektor-sektor lain. Selain menyasar praktik-praktik tak terpuji, menerapkan pendekatan teknologi informasi dengan pengadaan barang secara elektornik untuk mengikis peluang korupsi, reformasi kurikulum dan menggelorakan semangat pendidikan sebagai tanggung jawab bersama, tanggung jawab semesta.
Sebagai sebuah gerakan maka yang dibutuhkan segera adalah langkah nyata. Bukan mendekam pada tataran wacana, tetapi tindakan kasat mata. Praksis. Bila tidak, seperti bom waktu, kemerosotan dan kehancuran pendidikan akan meledakkan bangsa ini.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 29 Mei 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...