{G5} Cara Engkau Mengabadikan yang Retak, Gaganawati
Deargana,
Seperti yang kau dan kita tahu, Kompasiana tak ubahnya kampung
besar. Siapa saja dari berbagai penjuru mata angin bisa berinteraksi. Bertemu rupa
lewat sapa dan kata.
Perjumpaan dijalin dengan bertukar pengalaman. Pun debat,
dan saling serang dengan gagasan dan pandangan berbeda. Menyangkut beragam hal,
yang kadang tak diduga dan disangka-sangka. Sharing
dan connecting, seperti semboyan
blog keroyokan ini, melebur dan berkelindan. Akhirnya, menyatukan kita.
Tak heran bila kemudian saya bertemu denganmu, Gaganawati
Stegmann. Entah, perjumpaan ini lebih sebagai sebuah kebetulan? Bisa jadi. Bila bukan karena lima tahun-mu ini, maka cerita
antara kita kan berbeda.
Bisa jadi, kita tak lebih dari penghuni kampung yang asing. Berjumpa
secara kebetulan dalam arus kesibukan Kompasiana yang tinggi saban hari. Bisa jadi,
antara kau dan aku sekadar angka dalam daftar panjang penghuni kampung besar
ini.
Momentum lima tahun-mu hampir saja lewat bila saja aku tak
bertumbukkan dengan gambar tumpeng kuning yang menggoda, dengan judul kecil
yang memikat. My 5th Anniversary; Ikut
Give Away, yuk!. Sejak itu, kisah ini pun berubah.
Membuka kisahmu, aku tersentak. Riwayatmu jauh berbeda dari
pemahamanku sebelumnya tentang para perantau. Walau aku juga berstatus yang
sama, pengembaraanmu jauh lebih jauh. Engkau melintasi negara dan benua. Menyapu
jarak budaya yang jauh, antara Timur dan Barat.
Dalam kesendirianmu di sana, di dalam ruang dengan segala
isi sosial, budaya, dan politik yang berbeda, engkau tetap tegar tengkuk pada
prinsipmu sendiri. Berbeda dengan anggapan umum, yang sempat membuatmu galau,
engkau tetap yakin dengan pilihanmu. Pilihan bebas yang membuatmu tak terbebani
ketika dimintai pertanggungjawaban.
Engkau setia dengan pekerjaan rumah, walau tekad berkarir sudah
kau tanam dalam-dalam. Menjadi istri bagi seorang Jerman dan ibu dari buah
cinta kalian, engkau tunai dengan hati riang dan kesetiaan yang utuh.
Namun, pilihan bebasmu itu tak membuatmu kehilangan
semangat. Apalagi mematikan gairah kreatifmu. Sama sekali tak seperti yang
dicemaskan banyak orang seperti yang pernah kau sebut: desperate housewife.
Justru dalam situasi demikian engkau menemukan dunia yang
membuatmu menjadi lebih berarti. Menulis untuk berbagi pengalamanmu. Lebih dari
maksud mengobati rindu pada Tanah Air.
Engkau berbagi dengan menari dan memasak. Tidak hanya untuk
mengabadikan talentamu. Lebih jauh, engkau merawat budaya yang telah mengalir
dalam darah dan menyatu dengan dagingmu. Di dunia Barat sana, engkau tetap setia dengan
ke-Timuran-mu.
Sudahkah kau baca Burung-burung
Rantau, hasil refleksi almarhum Y.B. Mangunwijaya? Ya, dalam arti tertentu,
pergulatan antara Timur dan Barat itulah yang sedang kau rasakan. Seperti maksud sang rohaniwan, engkau pun
berhasil sejauh ini, mengawinkan Timur dan Barat dengan caramu sendiri.
Seperti burung-burung rantau, engkau selalu terpanggil pulang
ke sarang dari mana engkau berasal.
Namun, bila sang burung akhirnya harus
pulang dengan raganya, engkau memiliki cara sendiri untuk menjawab panggilan
naluriah itu. Pulang dengan cara yang sedang kau tempuh saat ini. Menulis,
menari, memasak. Yang membuatmu selalu ingat ibu pertiwi. Menghindari jati
dirimu tercabut dan lepas.
Apakah kini kau masih merasa sendiri di sana?
Jangan..jangan. Engkau sejatinya tak sendiri. Dalam tarian, dalam tulisan,
dalam menu masakmu itu, engkau sedang berkomunikasi, berdiplomasi, dan berpromosi.
Engkau sedang merawat kebudayaan, merawat jati dirimu, merawat kebersamaan melintasi
ruang dan waktu.
Kehadiranmu di kampung besar ini sudah memberi tanda jelas.
Lima tahun lamanya engkau telah diuji dan berhasil membuktikan diri. Bagi saya
yang baru setahun di ruang ini, dan belum lama berkenalan denganmu, laku yang
sedang kau tekuni memberi banyak makna. Tak hanya tentang seribu tulisan. Tak
juga semata-mata tentang sejumlah buku. Apalagi hanya tentang aneka apresiasi
dan penghargaan.
Dalam laku yang kau tekuni saat ini, menyitir ‘Kwatrin
Tentang Sebuah Poci’ dari Goenawan Mohamad, engkau sejatinya
sedang ‘membikin abadi sesuatu yang kelak retak’. Yakni ketegaran seorang ibu, keterbukaan
seorang diplomat budaya, kreativitas seorang pelaku seni dan kesetiaan seorang
Timur.
Selamat merayakan hari jadi kelima di kampung kita ini. Selamat
Hari Ibu
dari Timur dan
Timur-nya Tanah Air
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 7 Mei
2016, dalam rangka memaknai lima tahun Kompasianer Gaganawatistegmann.
Terima kasih, Charles. Tulisannya bagus.
ReplyDeleteJadi tersanjung.
Semoga tetap sehat dan bahagia di manapun kamu berada.
Salam hangat.