Sanksi Tinju Indonesia Berakhir, Putra NTT Menuju Juara Dunia



Tibo Monabesa/Antara
Pertandingan antara Tibo Monabesa dan Rene Patilano dari Filipina pada Sabtu, (21/1) malam  lalu mendai berakhirnya masa vakum pertandingan tinju internasional di tanah air. Nyaris empat tahun, sejak kematian Tubagus Setia Sakti pada  akhir Januari 2013 lalu, Indonesia mendapat sanksi dari World Boxing Council (WBC) untuk tidak lagi menggelar pertandingan yang ada dalam agenda badan tinju profesional itu.

Seperti diberitakan Kompas.com, Tubagus yang baru berusia 17 tahun meregang nyawa diduga akibat pendarahan otak yang dialami dalam laga menghadapi petinju senior Ical Tobida di ajang Nasional Ad Interim vesi Komisi Tinju Profesional Indonesia KTPI di stasiun televisi nasional, TVRI.  Wasit yang memimpin pertandingan harus menghentikan pertandingan di rende kedelapan dari12 ronde yang dijadwalkan setelah petinju asal Bandar Lampung itu beberapa kali mengangkat tangan, tanda tak dapat melanjutkan pertandingan.

Usai peristiwa naas itu pihak promotor mengaku bahwa tidak ada prosedur yang dilanggar. Mulai dari timbang hingga cek kesehatan sebelum beradu di atas ring dijalani tanpa cela. Meski demikian WBC tetapi memberi nilai merah pada Indonesia. Tubagus bukan korban pertama yang oleh WBC dicap tidak siap menyelenggarakan tinju profesional sesuai standar yang mengutamakan keselamatan petinju. Sejauh ini WBC dikenal dengan aturannya yang ketat dan tidak pernah main-main dengan prosedur dan standar keselamatan.
Perwakilan WBC di Indonesia, Chandru G.Lalwani kepada Antara saat itu beralasan, "Kasus tahun 2013 adalah kejadian yang sudah kedua kalinya terjadi di mana ada petinju yang meninggal karena pertandingan, dan sejak itu Indonesia dapat sanksi.”

Lebih lanjut Lalwani,  “Dari investigasi saya, penyebab kematian sebagian besar karena masalah kecil, seperti ambulans yang tidak bisa keluar karena terhalang mobil parkir atau kesiapan perangkat pertandingan." 

Setelah tragedi itu, pertandingan antara Tibo versus Patilano di GOR Cendrawasih, Cengkareng, Jakarta Barat beberapa waktu lalu itu menjadi momen pembuktian bahwa Indonesia bisa lebih siap untuk menyelenggarakan pertandingan tinju profesional. Meski bertanding di arena yang jauh dari layak dan tidak memadai setidaknya pertandingan yang berlangsung dengan lancar itu menjadi titik awal untuk menggairahkan kembali tinju internasional di tanah air.

Bagaimanapun publik tanah air patut mendapatkan tontonan yang lebih rutin baik di tingkat nasional maupun internasional. Animo masyarakat terhadap cabang ini tentu belum juga surut meski selama ini hanya bisa dinikmati melalui layar kaca. Dukungan langsung maupun tidak langsung seperti ini benjadi bagian dari stimulus kepada para petinju tanah air untuk berprestasi.
 
Menuju Juara Dunia
Indonesia hampir tidak pernah kehabisan bibit petinju berbakat, meski bisa dibilang dengan jari juara dunia dari tanah air. Tak lebih dari tujuh petinju yang pernah mengharumkan Indonesia dengan gelar juara dunia di beberapa kelas. Diawali Ellyas Pical, asal Saparua, Maluku yang menguasai kelas bantam junior IBF sejak 1985 hingga 1987.

Setelah Ellyas, dua tahun kemudian lahir juara dunia lainnya dari Ambon. Meski singkat, Nico Thomas tercatat pernah memegang sabuk juara dunia kelas terbang mini IBF pada 1989, sebelum kehilangan gelar tersebut pada tahun yang sama. 

Menanti cukup lama baru pada tahun 1995 juara dunia lainnya muncul. Adalah petinju asal Sumatera Utara, Suwito Lagola yang menguasai sabuk juara dunia kelas welter WBF selama dua tahun sejak 1995 sampai 1997.

Ahmad Tajid alias Ajib Albarado adalah juara dunia keempat dari Indonesia. Selama empat tahun, seja 1996 hingga 2002, Ajib merajai kelas welter junior WBF. Dua tahun berselang ada juara dunia lainnya, M.Rahman.

Rahman merupakan juara dunia di kelas paling ringan yang pernah dimiliki Indonesia. Sabuk kelas terbang mini IBF dikuasainya sejak 2004 hingga 2007. Sempat lepas sekita empat tahun, Rahman kembali merebutnya di tahun 2011.

Dari antara juara dunia lainnya Chris John tercatat paling lama menyandang status jawara dunia. Mantan atlet wushu berjuluk “The Dragon” itu merajai kelas bulu WBA selama satu dekade dan berhak menyandang gelar Super Champions atas eberhasilannya mempertahankan gelar sebanyak 10 kali tanpa putus.

Setelah masa jaya Chris berakhir Indonesia sempat memiliki juara dunia yakni Daud Yordan. Petinju berjuluk Cino ini pernah merebut gelar juara dunia versi badan tinju IBO di kelas featherweight dan lightweight di masa berbeda. Pada 14 April 2013 Daud kalah TKO di ronde 12 dari Simpiwe Vetyeka dari Afrika Selatan. Sejak itu Indonesia tak lagi memiliki juara dunia.

Lama menanti harapan munculnya juara dunia baru kini digantung kepada Daud dan para petinju muda lainnya. Kemenangan atas Rene Patilano misalnya membuka pintu bagi Tibo Monabesa untuk mengikuti jejak para pendahulunya.

Ellyas Pical, juara dunia pertama dari Indonesia saat menjadi juara dunia (kiri) dan setelah gantung sarung tinju/Bola.com
Tibo yang menang angka mutlak 119-112, 116-112, dan 117-111 atas Patilano berhak atas sabuk kelas terbang ringan WBC International Silver yang lowong sejak 2013. Tibo yang memiliki catatan sempurna atau tak pernah kalah dalam 14 pertandingan kini berada di peringkat 10 besar WBC, lompat dari sebelumnya di urutan ke-22.

Petinju yang berad di peringkat 10 besar berpeluang menantang pemegang sabuk juara dunia yang saat ini melingkar di pinggang Ganigan Lopez dari Meksiko. Namun demikian tidak mudah untuk merebut sabuk tersebut. 



Persiapan matang di satu sisi, di samping peran manajer untuk mengatur pertemuan antara kedua petinju. “Bisa tidaknya Tibo bertemu dengan juara dunia tergantung dari negosiasi antarmanajer petinju, seperti berapa nilai kontrak yang akan dibayar,”ungkap Mikko Marttinen, penata tanding asal Filipina yang mempertemukan Tibo dan Patilano kepada Kompas, (Minggu, 22 Januari 2017, hal.7).

Tibo yang berasal dari Kefamenanu, Nusa Tenggara Timur belum memiliki pengalaman internasional yang cukup  untuk menghadapi juara dunia. Petinju bernama lengkap Tiburtius Monabesa itu memulai debut pada 16 Mei 2012. Walau demikian petinju 26 tahun itu belum banyak jam terbang internasional. 

Salah satu laga internasional sekaligus debutnya terjadi saat menghadapi Kaichon Sor Vorapin pada Mei 2016 lalu. Petinju asal Thailand itu dipukul jatuh di ronde keenam pada laga yang berlangsung di  Dimyati Sports Hall, Kota Tengerang. Karena itu, masih kepada Kompas, pelatih sekaligus manajer mengagendangan dua pertandingan menghadapi petinju asing untuk mengasah mental dan kemampuan Tibo sebelum menantang juara dunia.

Kita tentu menyambut baik langkah dan perjuangan Tibo dan timnya. Ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memiliki juara dunia lagi. Selain itu, munculnya nama Tibo sekaligus melambungkan nama NTT sebagai salah satu lumbung petinju berbakat.

Jauh sebelum Tibo ada Anis Roga yang pernah tampil hingga ke Amerika Serikat. Belakangan muncul sederet nama seperti Maxi Nahak Rodriges, petinju asal Kabupaten Malaka juara WBC Asia kelas menengah usai memukul jatuh petinju tuan rumah Korea Selatan, Eun-chang Lee pada Juli 2016 lalu. 

Selain itu masih ada  John “Fox” Ruba asal Bajawa,Kabupaten Ngada, pemegang gelar welter junior nasional. Juga Philipus Rangga dan masih banyak lagi. NTT khususnya dan Indonesia umumnya memiliki potensi untuk kembali ke panggung tinju dunia, tinggal bagaimana kita menyiapkan jalan bagi mereka.  

Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 26 Januari 2017.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...