Kemanusiaan Terlindas Laju Kereta



 
Ilustrasi penumpang berdesakan di KRL/Tribunnews/Hasanuddin Aco
Pintu terbuka, setelah dari jarak beberapa meter sebelumnya masinis sudah berkabar. “Beberapa saat lagi KRL akan tiba di Stasiun Kebayoran, Jakarta Selatan.” Manusia tumpah tak lama setelah pintu otomatis itu menganga diiringi lenguhan dan kasak kusuk. “Permisiii.” “Ada yang mau turun, kasi jalan, kasi jalan.” 

Perempuan dan laki-laki, pun tua dan yang muda, berpenampilan parlente juga berdandan apa adanya berdesak-desakan, entah mencari jalan keluar, atau segera mengatur posisi pada celah-celah punggung dan bokong. Masinis hanya memberi waktu tak lebih dari satu setengah menit untuk aktivitas “turun-naik” penumpang. Waktu tunggu itu terasa amat berharga bagi penumpang di sekitar pintu kereta yang telah sekian menit terpenjara dalam gerbong yang penuh-sesak. 

Mereka bisa menyesap udara baru dari luar kereta. Begitu juga kepala-kepala berkeringat dengan penuh syukur menjemput hawa baru.Namun sembilan puluh detik bisa menambah siksa para penumpang yang terlanjur terjepit dan tak tak bisa bergerak walau untuk sekadar memutar badan. Di benak mereka hanya ada satu harapan. Kereta segera melaju, menuju stasiun tujuan. Dengan demikian siksa perjalanan berakhir sudah.

Di setiap stasiun pemberhentian itu kita hanya mendapatkan orang yang turun dan naik. Ya, sebagai moda transportasi umum, stasiun adalah tempat singgah untuk menurunkan dan menjemput penumpang. Tidak lebih dari itu.

Namun konteks stasiun KRL sebagai moda transportasi publik yang diandalkan warga Jabodetabek bisa menjadi lain. Seperti digambarkan sekilas di atas, stasiun adalah tempat menarik nafas lega, ruang pembebasan dari desakan, dan gesekan, serta tempat privasi dan kemanusiaan kita kembali. Seperti pagi ini, dalam perjalanan dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Tanah Abang, saya mendapatkan kenyataan itu secara kasat mata. 

“Sabar..sabar...ada yang pingsan.” Saya yang berada di antara kerumunan penumpang yang masih tersandera dalam gerbong kereta segera mencari-cari arah suara. Di pojok kursi, persis di samping pintu yang tengah terbuka seorang ibu terpaku. Wajahnya pucat, berlumuran keringat.

“Ayo dibantu..dibantu.”

“Ah orang pingsan masa disuruh jalan,” beberapa suara mengomentari laku dua pria yang berdiri di depan wanita itu. Keduanya mencoba menarik kedua tangan  wanita itu untuk diajak keluar. 

Percuma. Jangankan berjalan, berdiri saja wanita itu tak mampu. Ya, namanya juga pingsan. Seorang petugas kemanan stasiun segera masuk. Melalui handy talky, ia meminta masinis tidak segera menutup pintu.
“Tahan pa..ada yang pingsan...”sang petugas yang mulai terjepit pintu kereta yang mulai bergerak menutup mengulangi. Suara desis pintu terus terdengar. Sang masinis sepertinya tak sabar untuk segera melajukan kereta. Bisa jadi, sinyal hijau dan pekikan dari pengeras suara di stasiun telah memberi tahu.

Empat pria segera menggendong wanita itu keluar kereta. Dalam kebingungan, mereka pun menidurkannya di peron. Hanya berjarak beberapa cm dari pintu kereta. Tanpa menunggu lama keempat pria itu segera melompat ke dalam kereta. Pintu tertutup. Kereta melaju pergi.

Dari dalam kereta saya masih sempat menengok ke belakang. Ingin tahu bagaimana nasib wanita malang itu. Syukurlah, ada seorang wanita lain yang segera berada di dekatnya. Bisa jadi itu temannya, atau orang tak dikenal. Tak penting siapa wanita itu. Tergolek lemah dalam kesendiriannya ia benar butuh pertolongan.  
Saat semua orang menengok jam di tangan dengan raut gelisah, pemandangan seperti itu dianggap biasa. Tak lebih penting dari panggilan kantor dan pekerjaan, juga hasrat segera mengakhiri perjalanan penuh perjuangan dan penderitaan itu.  

Sebagai makhluk bernurani, pasti keempat pria itu dan para penumpang lain ingin memberikan pelayanan lebih kepada wanita malang itu. Tetapi mereka terlanjut  tersandera dalam rutinitas pribadi dan terpasung dalam geliat transportasi publik yang menuntun ketepatan waktu. Tetapi bagaimana bila keluarga atau sanak kerabat Anda mengalami hal seperti itu?

Kisah ini mungkin terlalu hiperbolis. Tetapi dalam satu perjalanan ini telah memakan dua “korban”. Sebelumnya di Stasiun Jurangmangu ada yang mengalami nasib serupa. Bedanya, perlakuan terhadap sosok malang itu jauh lebih baik. Sebelum kereta berhenti, empat petugas keamanan sudah menanti dengan tandu.
Bisa jadi insiden serupa pernah terjadi sebelumnya dalam kadar persoalan dan pelayanan berbeda-beda. 

Membludaknya penumpang terutama saat jam pergi dan pulang kantor hampir menjadi menu sehari-hari di setiap stasiun KRL. Meningkatnya animo pengguna KRL belum bisa diakomodasi dengan pelayanan mumpuni. Lajur dan jalur yang terbatas dan harus berbagi dengan kereta api, serta jumlah kereta yang terbatas, adalah sejumlah kendala. Sedang berbenah, menjadi dalih pembelaan utama. Namun sampai kapan pembenahan itu berjalan, dan berapa banyak “korban” lagi harus berjatuhan?

Lebih bijak
Saat pemerintah dan pengelola KRL sedang berbenah, para penumpang dituntut lebih bijak mengambil sikap dan membuat perhitungan.Sasarannya terutama tidak kepada orang lain, tetapi lebih kepada diri sendiri. Dari pengalaman si ibu yang malang itu banyak hal bisa dipelajari.

Pertama, pastikan Anda dalam kondisi fit saat menggunaan KRL pada jam-jam sibuk. Situasi umum sudah tergambar jelas. Tidak ada pilihan lain selain memastikan kita benar-benar dalam kondisi sehat untuk berebut tempat dan melewati perjalanan penuh perjuangan. 

Ibu hamil dan mereka yang sedang tidak sehat sebaiknya tidak memaksakan diri, meski di setiap gerbong kereta telah disediakan tempat duduk khusus. Selain jumlahnya terbatas, butuh perjuangan ekstra untuk menjangkau tempat tersebut dalam kondisi padat penumpang.  Selain harus beradu cepat, juga perlu kesabaran ekstra menerima sungut dan gerutu.

Bila ingin tetap menggunakan kereta sebaiknya berangkat lebih pagi. Untuk alasan kenyamanan, saya biasanya mengambil kereta sebelum Pukul 07.30 dari Stasiun Sudimara.

Kedua, jangan membawa bawaan berlebihan. Kabin di KRL sangat terbatas, apalagi untuk memuat semua tas dan bawaan penumpang. Dalam kondisi berdesak-desakan membuat Anda menjadi tidak nyaman bila harus menjaga segala tekek bengek yang dibawa. Selain itu membuat bawaan Anda terancam rusak, atau tas dengan ukuran besar berpeluang sobek karena gesekan. Jangan mengambil risiko membawa peralatan elektronik berukuran besar seperti laptop. 

Ketiga, penumpang wanita yang tidak menempati gerbong khusus sebaiknya tidak mengambil tempat di arena pintu kereta. Bila memungkinkan masuklah lebih ke dalam di antara deretan bangku penumpang.
Beberapa penumpang wanita biasanya memilih untuk menyempil di sudut pintu. Bila tidak, memilih menjadi orang terakhir yang masuk agar bisa mendapat tempat terluar. Posisi ini tetap saja melahirkan rasa tidak nyaman karena intensitas desakan di bagian pintu sangat tinggi. Begitu juga lalu lintas naik turun penumpang di setiap stasiun pada relasi perjalanan tertentu selalu tinggi.

Selain sikap bijak dari para pengguna, pihak pemerintah pun perlu mengambil sikap terhadap situasi sementara ini. Menyiagakan petugas di setiap stasiun, berikut fasilitas kesehatan memadai, amat penting.
Tak kalah penting, bersikap tegas terhadap para penumpang yang memaksakan diri masuk saat gerbong sudah benar-benar penuh. Terkadang ada sejumlah penumpang yang tetap mendesak masuk meski penumpang lain telah mengungkapkan keberatan.

Selain bergeming, tak sedikit yang berdalih bahwa mereka telah membeli tiket dan memiliki hak yang sama menggunakan kereta yang adalah transportasi bersama. Bila sudah demikian, apa yang bisa kita katakan? KRL tidak hanya telah melindas kemanusiaan juga sudah menggerus akal sehat. 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 16 Januari 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...