Nasib Formula One Selepas "Diktator" Ecclestone


Bernie Ecclestone (kiri) dan bos baru Formula One, Chase Carey/BBC.com
Setelah perusahaan raksasa dari Amerika Serikat, Liberty Media Corp mengakuisisi Formula One (F1) pada awal pekan ini, kini posisi Bernie Ecclestone semakin terasing dari dunia yang telah dilahirkan, dibesarkan dan dikuasainya selama 40 tahun terakhir. Bos baru F1 Chase Carey tidak lagi memberi tempat kepada pria Inggris itu untuk menjalankan bisnis dan kompetisi olahraga yang terkenal berbiaya mahal itu.

Seperti dilaporkan BBC.com, Carey hanya menawarkan pria sepuh 86 tahun itu jabatan kehormatan sebagai “chairman emeritus” meski jabatan tersebut tidak lebih dari penghargaan semata dan karena itu sudah pasti mendapat respon negatif dari Ecclestone. Menguasai, bahkan sampai-sampai dicap sebagai “diktator” F1 selama 4 dekade lantas ditepikan begitu saja tentu tidak bisa diterima dengan mudah. 

Tetapi Carey mengaku bahwa F1 butuh orang-orang baru yang lebih segar. Ecclestone dinilai terlalu individualis. Dalam bahasa Carey, “Bernie adalah one-man team.” Persis seorang diktator.  Perilaku tersebut, lanjut Carey, “tidak cocok dengan dunia saat ini.”

Atas dasar itu maka Liberty kini mempekerjakan mantan bos Mercedes, Ross Brawn dan eks sales executive ESPN, Sean Bratches untuk membantu Carey dalam urusan komersial dan olahraga.

Satu pertanyaan besar mengemuka. Bagaimana nasib F1 setelah lepas dari Ecclestone? Bagaimanapun juga harus diakui F1 menjadi besar karena Ecclestone. Sosok yang mengawali bisnisnya dari seorang sales suku cadang bekas, kemudian membesarkan F1 dengan menjual hak siar televisi dan iklan balapan yang bernama Grand Prix pada 1978.

Lobi dan kejelian membaca pasar yang telah terasah sebagai seorang tenaga marketing kemudian membuat F1 menjadi besar dan dikenal luas. Pasang surut terutama ancaman kebangkrutan 10 tahun silam berhasil dilalui. Berhasil menggandeng CVC Capital Partners sebagai pemilik adalah prestasi tersendiri yang terus dipertahankan hingga sebelum berpindah ke tangan Liberty. 

Semua itu tak lepas dari kerja keras Bernie. Begitu juga peran pentingnya memperluas ekpansi F1 keluar dari Eropa sebagai basis utama, seperti  negara-negara Timur Tengah, Tiongkok dan beberapa negara Asia lainnya. 

Sebagai pengganti Bernie, Chase Carey akan menghadapi tantangan besar. Pengalaman pria 63 tahun saat menjadi direktur eksekutif  (COO) 21st Century Fox Inc, raksasa media milik Rupert Murdoch memang dibutuhkan sekali untuk menarik pangsa pasar dan menggairahkan kembali bisnis F1 yang mulai lesu akhir-akhir ini.

Beberapa hal bisa dijadikan buktu. Malaysia sudah memutuskan tidak lagi menyelenggarakan ajang balap jet darat itu di musim 2017. Penjualan tiket F1 di Sirkuit Sepang menurun karena menurunnya animo penonton. Tidak hanya yang datang menonton di sirkuit, jumlah penonton melalui televisi berbayar juga menurun. Patut diakui di dunia balap, pesona F1 telah disalip MotoGP.

Menurunnya jumlah pemasukan ini berbanding terbalik dengan biaya penyelenggaraan yang harus disetor kepada pihak F1. Hal itu yang membuat sejumlah negara tengah berpikir serius untuk menjadi tuan rumah. Selain Malaysia yang sudah mengambil sikap, pihak Singapura, pemilik Sirkuit Silverstone, Inggris dan pengelola Sirkuit Hockenheim, Jerman juga belum mengambil sikap untuk memperpanjang kontrak atau tidak.
Animo fans menyemangati Lewis Hamilton, pebalap asal Inggris di Sirkuit Silverstone/BBC.com
Situasi ini juga sudah disadari oleh Carey. Meski begitu pihaknya sama sekali tidak pesimistis apalagi setelah tidak ada campur tangan Bernie. Carey mengaku F1 merupakan olahraga yang unik, ikonik dan telah mengglobal. Karena itu dibutuhkan cara-cara baru untuk membuat olahraga tersebut tetap hidup dan semakin berkembang. Liberty siap mengeksploitasi teknologi baru untuk merengkuh pasar yang luas.

Sejumlah skema sudah disiapkan. Bahkan Carey menyebutnya sebagai cara baru yang lebih baik. Tetap menjaga basis balapan di Eropa. Historisitas dan pasar utama di benua biru akan dijaga sekuat tenaga, termasuk siap menggunakan cara apapun agar balapan di Sirkuit Silverstone tetap berlangsung meski muncul spekulasi bahwa pengelola sirkuit legendaris itu akan mengakhiri kerja sama pada 2019.

Selain mengamankan pasar Eropa, pasar baru yang potensial di Amerika Serikat utamanya dan belahan dunia lainnya akan digarap intens. Menggenjot promosi dan memaksimalkan potensi besar sosial media yang tidak disadari atau sengaja diabaikan Bernie sebelumnya pun akan ditempuh. Selain televisi, internet juga adalah ladang bisnis menjanjikan.

Apakah cara-cara tersebut ampuh, dan cukup lengkap untuk formula baru bisnis dan kompetisi F1? Baru setelah terjun langsung Carey baru bisa merasakan seperti apa dan mengapa F1 bisa seperti saat ini. Menceburkan diri, merasakan  sendiri selanjutnya mengendalikan roda F1 butuh waktu dan proses yang tidak cepat. Dan kita hanya bisa menunggu hingga waktunya tiba. 

Tulisan ini pertama kali terbit di Kompasiana, 24 Januari 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...