Gianni Infantino, FIFA dan Kita

Gianni Infantino (sumber gambar Dailymail.co.uk)

Tentu ada kekagetan ketika Gianni Infantino memenangkan pemilihan presiden FIFA dalam Kongres Luar Biasa organisasi tersebut di Zurich, Swiss, Jumat (26/02). Salah satu alasan, presiden Konfederasi Sepak Bola Asia (AFC) Shekh Salman lebih dijagokan mengingat tingkat popularitasnya cukup tinggi dan digadang-gadang mendapat dukungan dari Asia dan Afrika. 

Sebaliknya ada yang merasa ‘biasa saja’ saat pria kelahiran Swiss berusia 45 tahun itu memenangkan pemungutan suara, mengungguli Shekh Salman. Ada yang sudah menduga bahwa mantan sekretaris jenderal UEFA itu lebih berpeluang memanfaatkan momentum mundurnya Michel Platini setelah disanksi delapan tahun dan belakangan dikurangi menjadi dua tahun. 

Meski namanya paling akhir masuk dalam bursa pencalonan, ketimbang Pangeran Ali dari Jordania, berikut mantan sekjen FIFA Jerome Valcke serta politisi Afrika Selatan Tokyo Sexwale yang mundur di detik-detik akhir pemilihan, Infantino oleh banyak pengamat dan media asing disebut-sebut lebih mendapat tempat di hati para pemilih. Terbukti sempat dipepet Shekh Salman di putaran pertama dengan hanya selisih tiga suara (88 dan 85 suara), Infantino pun tak terbendung di pemungutan putaran berikutnya, Pria berkewarganegaraan Swiss dan Italia itu mendapat suara mayoritas, sebanyak 115 suara, jauh mengungguli Shekh Salman yang hanya mendapat 88 suara. 

Era baru 

Salah satu yang merasa kaget dengan hasil pemilihan ini tentu saja Diego Armando Maradona. Sang pemilik gol ‘tangan Tuhan’ itu menilai Shekh Salman dan Pangeran Ali lebih berpeluang dan layak menjadi orang nomor satu di badan sepak bola dunia itu. Salah satu alasan yang dikemukakan mantan bintang timnas Argentina dan klub Italia,Napoli itu menilai Infantino merupakan ‘orang dalam’, ‘kaki tangan’ Platini. Maradona mencurigai Infantino bakal mewarisi ‘dosa’ rezim Blatter dan Platini yang menempatkan FIFA lebih sebagai ladang bisnis dan tempat mencari popularitas diri. 

"Pangeran Ali dan Sheikh Salman lebih berpeluang. Infantino berperilaku seperti seorang pengkhianat. Dia punya kedekatan dengan Michel Platini. Saya ingin melihat Presiden FIFA yang peduli terhadap sepakbola dan Piala Dunia, bukan yang ingin jadi miliarder," kata Maradona dikutip dari INDOSPORT.com. 

Tentu kita bisa saja sepakat atau bersebelahan dengan pendapat Maradona. Namun yang pasti pendapat Maradona itu didorong oleh keinginannya agar presiden FIFA menempatkan diri pada posisi semestinya dan benar-benar berpihak pada sepak bola, bukan yang lain. Rezim Blatter yang duduk manis di atas menara gading kekuasaan selama 18 tahun sudah lebih dari cukup menggambarkan seperti apa riwayat FIFA di masa silam. 

Lantas, apakah Infantino tak bisa membawa semangat perubahan? Bila Maradona menjagokan Pangeran Ali dan Shekh Salman, pertanyaan pun tetap sama: apakah mereka mampu melakukan hal tersebut? 

“Banyak orang yang hidup dengan sepak bola dan bernapas dengan sepak bola setiap hari. Kita akan memulihkan ‘image’ FIFA dan rasa hormat kepada FIFA. Setiap orang di dunia akan memuji kita untuk apa yang kita lakukan terhadap FIFA…saya ingin menjadi presiden dari 209 dari antara Anda,”janji Infantino yang akan menahkodai FIFA hingga 2019 dikutip dari Sport Mole

Tampak jelas, Infantino memiliki itikad dan niat baik untuk melakukan pembenahan terhadap FIFA. Pria poligliot yang dikabarkan menguasai lima bahasa itu memiliki kerinduan yang sama dengan banyak orang yang ingin agar citra dan nama baik FIFA kembali pulih dan sepak bola kembali ke posisi sentral. Mengutip kata-katanya, "mengembalikan sepak bola kepada FIFA dan FIFA kepada sepak bola." 

Dengan yakin dan pasti, Infantino memaklumkan bahwa era lama, momen-momen penuh krisis dan skandal akan segera berlalu. Saatnya menyambut era baru yang dibangun di atas landasan ‘good governance’ dan transparansi. 

"FIFA telah melalui saat-saat sedih, saat-saat krisis, tetapi saat-saat itu telah berlalu. Kami perlu untuk mengimplementasikan reformasi dan menerapkan tata kelola yang baik dan transparansi. Kita juga perlu mendapatkan rasa hormat. Kami akan memangngkannya kembali melalui kerja keras , komitmen dan kita akan memastikan bahwa akhirnya bisa fokus pada permainan indah yakni sepak bola,"lanjutnya. 

Bos FA, Greg Dyke menyambut baik terpilihnya Infantino. Ia menilai Infantino bukan politisi sehingga berpeluang bebas dari segala kepentingan politis. Selain itu Dyke menyebut, Infantino bukan sosok primordialis yang mementingkan diri dan mau menang sendiri. 

"Dia bukan politisi dan dia tak ego, FIFA telah didominasi oleh ego untuk waktu yang sangat lama. Dia adalah tipe orang yang hanya akan melanjutkan pekerjaan...,"tutur Dyke.

Arah kapal 

Infantino boleh saja memaklumkan bahwa era baru telah tiba. Badai telah berlalu. Namun pada titik ini Infantino sejatinya belum benar-benar terputus dengan masa lalu, justru menghadapi tantangan pembuktian maha berat terhadap kata-kata tersebut. Dalam bahasa Gary Lineker, melalui cuitannya di jejaring twitter, menyebut bahwa Infantino sedang mengenggam ‘neraka’. 

Neraka itu adalah masalah yang saat ini sedang melilit FIFA dan belum menemui ujung penyelesaian yang total. Sejumlah pejabat tinggi FIFA sedang menghadapi tuntutan pengadilan Swiss dan Amerika Serikat terkait aneka skandal yang mereka lakukan. 

Dalam tulisan saya sebelumnya di tempat ini, terjeratnya sejumlah pejabat tinggi itu sama sekali belum membebaskan FIFA dari masalah. Bukan tidak mungkin pengakuan-pengakuan dan temuan-temuan baru masih berlanjut dan bisa menjadi bom waktu yang meledakkan eksistensi FIFA dan membalikkan anggapan pengadilan Amerika sebelumnya bahwa FIFA bukanlah ‘korban’ dari ulah oknum, tetapi oknum yang memelihara kejahatan terstruktur. 

Kini kuncinya ada pada Infantino. Dialah yang menggenggam kemudi kapal besar bernama FIFA. Ke mana ia akan mengarahkan biduk perjalanan FIFA? Ke pelabuhan damai dan teduh dengan modal paket reformasi yang sudah dirancang dan tinggal membutuhkan pengesahan? Atau masih terjerat dalam kepentingan primordial dan ‘tersandra’ pesanan oknum? 

Dyke mengaku yang paling dibutuhkan FIFA saat ini adalah reformasi ketimbang presiden baru. Namun perang penting presiden baru untuk menggerakkan roda reformasi itu tak bisa ditampik. 

Indonesia? 

Sekalipun tak memiliki hak suara di KLB FIFA kali ini, Indonesia tetap menyertakan perwakilan di KLB tersebut. Ketua Umum PSSI La Nyalla Mattalitti dan Wakil Ketua Umum PSSI Erwin Dwi Budiawan terlihat di antara para perwakilan kongres FIFA. 
Sumber gambar @LaNyallaMM1


"Hanya indonesia tidak punya suara di kongres FIFA ini karena sampai saat ini PSSI masih dibekukan oleh Menpora,”kicau La Nyalla di jejaring sosial twitter.

Kicauan dan kehadiran La Nyalla itu mengandung banyak makna. Pertama, kehadiran mereka pertanda bahwa Indonesia masih diperhitungkan terlepas dari kesahihan eksistensi PSSI sebagai perpanjangan tangan FIFA di Indonesia. De iure PSSI sejatinya sudah ‘mati’ di mata pemerintah yang ditegaskan melalui SK Pembekuan PSSI nomor 01307. Namun De Facto sesungguhnya masih ‘hidup’ 

Kedua, dan hemat saya jauh lebih penting, adalah persoalan yang melilit sepak bola dalam negeri menjadi perhatian serius FIFA. La Nyalla sempat memposting foto Sekjen FIFA Markus Kattner dan memberikan keterangan, “itu buktinya kalo ada yg ngomong tidak dibicarakan dikongres ini.”
Sumber gambar @LaNyallaMM1

Terlepas dari apa yang dibicarakan dan diputuskan tentang Indonesia dalam kongres itu, hal yang pasti bahwa praharasepak bola Indonesia juga menjadi perhatian serius dunia dan kita berharap ada sesuatu yang bisa dibuat Infantino untuk mengakhiri persoalan ini meski kunci utama penyelesaian itu ada di tangan kita sendiri.   

Sumber tulisan: 

BBC.com 

Dailymail.co.uk 

Sport mole 

INDOSPORT.com 

Twitter @LaNyallaMM1

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, Sabtu 27 Februari 2016.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/gianni-infantino-fifa-dan-kita_56d13b3e4123bd4e27af79aa

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing