Rio Haryanto, Liyan dan Harga Diri Bangsa

Ket.gambar: Rio Haryanto (Kompas.com)


Arus berita tentang Rio Haryanto masih mengalir. Bahkan kini wacana tentang pembalap muda yang selangkah lebih dekat menuju Formula One semakin bercabang-cabang, menyentuh banyak sisi, memancing banyak suara pro-kontra, seiring semakin dekatnya tenggat waktu pembayaran uang muka 3 juta euro (Rp 45 miliar) dari 15 juta euro (Rp231 miliar) kepada tim Manor Marussia yang berpeluang dibelanya di musim ini. 

Sura publik terpecah-belah. Ada yang merasa iba dan haru melihat betapa gigih dan penuh perjuangan seorang pemuda untuk bisa berlaga di ajang jet darat paling bergengsi itu, sementara sebagai sebuah bangsa yang besar kita seakan tak bisa berbuat apa-apa.   

Namun ada pula yang menatap sinis dan separuh tak peduli melihat betapa mahalnya harga untuk sebuah kursi di tim F1, sementara Manor sendiri bukanlah tim unggulan dan masa depan Rio di ajang tersebut seakan masih berada di awang-awang. Sehingga bantuan dari Kemenpora sebesar Rp100 miliar dianggap berlebihan dan sebaiknya dialokasikan untuk sektor lain yang katanya jauh lebih penting. 

Tetapi saya kira, suara pesimisme, skeptis dan sinis itu, tidak semata-mata karena melihat nilai Rp100 miliar, tetapi karena pemahaman yang belum utuh tentang olahraga tersebut dan tentang siapa Rio di mata kita sebagai sebuah bangsa. 

Jangan kita merasa kaget bila dana yang dikeluarkan sebuah tim yang berlaga di F1 selama satu musim bisa menyentuh angka 158 juta poundsterling atau Rp3,2 triliun. Biaya sebesar itu dihabiskan untuk biaya operasi (akomodasi, perbaikan, bahan bakar, dll), biaya produksi (perakitan, supplier mesin, komponen kunci), upah (kru, pembalap, dll), serta penelitian dan pengembangan. Tak heran bila akhirnya setiap pembalap harus membayar alias menjadi pay driver. 

Bukan hanya Rio dan kepada Tim Manor saja. Tercatat hampir 80 persen dari total 23 pembalap yang berlaga di F1 musim lalu harus merogoh kocek pribadi. Itulah realitas olahraga tersebut. 

Lantas, haruskan Rio mundur karenanya? Saya kira, mundur bukan pilihan terbaik. Dan pada titik ini, pandangan kita pun harus berada di posisi. Rio tidak sebagai individu tetapi Rio sebagai bagian dari kita. 

Bila kita melihat remaja kelahiran Surakarta itu sebagai Lyan (yang lain), maka kita akan menatapnya dengan rasa geram karena menganggapnya terlalu menghaburkan uang. Bila kita melihat Rio sebagai The Other, maka kita hanya melihat dia sebagai pembalap an sich, dia yang membutuhkan dana ratusan miliar untuk tampil beradu dengan tanpa tahu pasti apakah akan menang dan awet di ajang wah itu. 

Sebaliknya, bila kita melihat Rio sebagai bagian dari kita, maka kita akan melihat Rio sebagai seorang remaja dengan bakat dan kemampuan unik, yang tak  semua orang pun bisa. Kita pun akan akan mafhum bahwa seorang remaja harus berjuang dan mengorbankan diri beradu sedari dini tidak demi kebanggaan diri  tetapi untuk menunjukkan diri bahwa Indonesia pun bisa hadir di F1. Bahwa dari antara 250 juta penduduk, ada yang bisa mengembangkan Merah Putih dan membuat Indonesia Raya bergema meski untuk itu ada harga super mahal yang harus dibayar. Pada titik ini, Rio tidak hanya dilihat dengan dana ratusan miliar, tetapi kita melihat Rio sebagai bagian dari kebanggan bersama kita, Rio adalah juga harga diri kita sebagai bangsa.

Bila demikian, maka bukan hanya APBN yang kita harapan sebagai satu-satunya juru selamat yang kini ramai diperbincangkan dan mengundang protes di sana-sini, tetapi gerakan bersama sebagai sebuah bangsa yang memiliki sumber kekayaan berlimpah dan puluhan juta masyarakat mampu bahkan dengan harta benda melimpah.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, Jumat 12 Februari 2016

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/rio-haryanto-liyan-dan-harga-diri-bangsa_56bda8216f7a617a10724e16

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing