Ramires, Persipura dan Liga Kaya Baru
Bukan berita baru, bahkan hampir menjadi biasa, Liga Super
China semakin naik daun, menjadi primadona baru di jagad sepakbola. Seiring
ekspansi multidimenisional, menyapu hampir di semua bidang kehidupan, Tirai
Bambu pun mulai menancapkan kukunya di dunia sepakbola.
Negeri Asia Timur itu
benar-benar menunjukkan keseriusannya untuk turut memanfaatkan potensi ‘kue’
industri sepakbola. Dari data yang dirilis FIFA berdasarkan konsultan Deloitte,
Liga Super China mengalami pertumbuhan terbesar dalam lima tahun terakhir dan
kini telah menjadi salah satu pasar utama industri sepakbola (Antaranews.com).
Tahun lalu belanja pemain di seluruh dunia menembus rekor baru, menginjak angka
4,18 miliar dollar AS. Pertumbuhan yang signifikan, hampir setengah dalam
lima tahun terakhir. Seperti sudah bisa diduga, di jendela transfer musim panas
lalu Liga Primer Inggris paling royal berbelanja dengan menghabiskan tak kurang
dari 870 juta poundsterling (Rp18,8 triliun). Meski tak disebutkan angka pasti,
Tiongkok mencatatkan pertumbuhan terbesar.
Salah satu titik tumbuh industri
sepakbola Tiongkok terjadi saat Xu Jiayin membeli Guangzhou Evergrande.
Pembelian ini benar-benar mengejutkan karena sebelumnya klub tersebut
terhempas ke divisi dua Liga China.
Sang taipan membalikan pesimisme banyak
orang dengan perlahan-lahan memoles dan mengembangkan klub. Dengan modal sumber
daya manajerial yang baru, Xu melanjutkan terobosan dengan memboyong
salah satu pelatih terbaik dunia, Marcello Lipi.
Tak hanya pelatih top dengan
bayaran nyaris setara dengan klub elit Eropa, ia pun melakukan pembenahan tim
dengan mendatangkan para pemain dari Amerika Latin. Tak hanya gaji yang menjanjikan,
mereka juga dimanjakan dengan fasilitas wah.
Terobosan ala Romah Abramovich di
Chelsea dan Sheik Mansour di Manchester City ini terbukti jitu. Klub tersebut
pun menjelma menjadi salah satu raksasa. Tak hanya di kancah domestik tetapi
juga di tingkat Asia, di antaranya menjuarai Liga Champions Asia 2013.
Dampak
lebih lanjut, antusiasme masyarakat yang sempat terkikis akibat skandal suap
dan korupsi kembali tumbuh. Tak hanya menjadi penonton pasif, masyarakat pun
mulai mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah sepakbola.
Pada titik ini, Xi
mulai menuai apa yang telah dikeluarkan. Ia memanen investasi besar-besaran
yang telah digelontorkan melalui iklan dan sebagainya. Xi jitu
mengembangkan bisnis sepakbola di tengah pangsa pasar Tiongkok yang menjanjikan.
Bisa dibayangkan berapa banyak pendapatan yang diperoleh dari kue iklan
misalnya, yang menyasar bermiliaran pendukut Tiongkok itu.
Maka tak heran bila
Tiongkok menjadi primadona baru bagi para investor untuk berbisnis, sekaligus
magnet bagi para pesepakbola dunia untuk mengais rezeki.
Di tengah persaingan
sepakbola Tiongkok, Evergrande terus berbenah untuk tampil terdepan. Mantan
pelatih timnas Brasil Luiz Felipe Scolari didatangkan. Jose Paulo Bezerra
Maciel Junior atau karib disapa Paulinho rela meninggalkan Tottenham Hotspur
untuk bergabung dengan Scolari. Striker veteran Brasil, Robinho pun kepincut
untuk memberikan warna Samba di Evergrande.
Klub-klub Tiongkok lainnya pun tak
mau kalah. Shanghai Shenhua mendatangkan mantan bintang Chelsea Demba Ba dari
klub Turki, Besiktas. Berikut eks bintang Liverpool, Mohamed Sissoko dan
pencetak gol terbanyak timnas Australia Tim Cahill.
Klub Tiongkok lainnya
Shandong Luneng memboyong striker timnas Brasil Diego Tardelli. Sementara
Gervinho lebih memilih hengkang dari AS Roma untuk bergabung dengan Hebei China
Fortune Terkini, gelandang Brasil Ramires pun ikut bergabung. Ia meninggalkan
Chelsea dan Liga Super Inggris dengan segala kegemerlapannya untuk mengikat
kontrak dengan Jiangsu Suning selama empat tahun.
Dalam konstelasi bisnis
sepakbola Tiongkok, hengkangnya Ramires bukan berita wah. Pemain yang ditaksir
seharga 28 juta euro atau Rp442 miliar akan menikmati kemehawan yang siap
ditawarkan sepakbola Tiongkok.
Terbalik
Yang terjadi di Liga Super China
berbanding terbalik dengan kondisi sepakbola dalam negeri. Keduanya sangat
bertolak belakang, berbanding terbalik 360 derajat. Tiongkok berkembang maju,
Indonesia jatuh tersungkur.
Pemberitaan tentang Ramires dan Liga Kaya Baru itu
lebih sebagai parodi dan olok-olokkan bagi sepakbola kita. Lebih menyayat hati
melihat nasib miris para pelaku sepakbola dalam negeri. Salah satu klub terbaik
dan kebanggan Indonesia, Persipura Jayapura terancam nasibnya. Bakal
secara tragis menyusul rekan-rekan lainnya yang telah dibubarkan dan
pasrah para pemainnya kocar-kacir mencari penghidupan.
Di tengah iklim
kompetisi yang runyam dan kondisi organisasional yang carut marut, tim berjuluk
Mutiara Hitam itu terancam bubar. Saat ini manajemen sedang mengais sokongan
finansial dari tiga sponsor utama yakni Freeport, Bank Papua dan Semen Bosowa.
"Kami sudah menggelar rapat manajemen seminggu lalu. Keputusannya tim
terpaksa dibubarkan kalau belum ada kepastian dari pihak sponsor, karena
kontrak pemain sudah habis usai Piala Jenderal Sudirman," aku sekretaris
Persipura, Rocky Babena dikutip dari INDOSPORT.com.
Bila hingga awal Februari
belum ada kepastian dari ketiga sponsor itu maka jangan harap akan ada nama
Persipura di Piala Gubernur Kaltim dan Indonesia Super Competition. Mungkin
yang tersisa hanya nama-nama mantan pemain Mutiara Hitam yang berseliweran di
mana-mana. Situasi ini amat miris.
Sebuah ironi di tengah kekayaan sumber daya
alam dan bakat olah bola Papua yang luar biasa. Namun apa daya, iklim sepakbola
kita benar-benar gersang, paceklik kepemimpinan dan sangat sangat sepi
investasi.
Pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 28 Januari 2016.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/ramires-persipura-dan-liga-kaya-baru_56a90f98167b61fc0c490c66
Comments
Post a Comment