Cinta Pada Tumpangan Pertama Mulai Goyah


Benturan antara dua Commuter Line (KRL) di Stasiun Juanda petang tadi amat mengagetkan. Saya mendapat informasi tersebut saat sedang bekerja tak jauh dari stasiun Jayakarta atau dua stasiun dari tempat kejadian. 

Saya tak perlu mencari tambahan informasi terkait nasib para penumpang serta awak rangkaian KRL 1156 dan KRL 1154 yang bebenturan itu. Saya sudah bisa membayangkan seperti apa situasi yang terjadi ketika dua kereta saling berbenturan apalagi pada jam sibuk seperti sore tadi. Meski baru beberapa hari menggunakan moda transportasi itu, saya sudah bisa berandai-andai aneka risiko yang bakal terjadi sesewaktu. 

Cinta pertama 

Hari ini tepat seminggu saya menggunakan KRL. Boleh dikata masih dalam masa ‘bulan madu’ menikmati ritme, irama, dan pahit-manis sarana transportasi tersebut. 

Saya sudah beberapa tahun berdomisili di Jakarta. Namun baru seminggu lalu saya memberanikan diri untuk menggunakan KRL. Berbeda dengan kantor sebelumnya, tempat kerja yang baru berdekatan dengan stasiun KRL. Beberapa puluh meter dari Stasiun Jayakarta. 

Teman-teman kantor menganjurkan KRL sebagai pilihan yang praktis. Hemat tenaga, tentu saja. Mengendarai sepeda motor dari Pamulang, Tangerang Selatan menuju Jayakarta bukan pekerjaan mudah. Jarak jauh, harus melewati sejumlah ruas jalan yang terkenal macet. Selain itu, terlalu sering menghirup udara knalpot dan terpanggang matahari, sungguh tak baik bagi kesehatan.

Namun saya kembali harus berpikir, bagaimana dengan jadwal kereta? Apalagi saya bukan pekerja kantoran yang memiliki jadwal kerja yang pasti, dari pagi jam sekian hingga sore jam sekian. Otomatis saat pulang kantor KRL selalu tersedia meski harus berdesak-desakkan. 

Sementara saya, selalu ada kesempatan pulang larut malam. Di atas pukul 22.00. Apakah masih ada kereta yang akan mengantar saya ke Stasiun Sudimara? Awalnya saya harus teliti menghitung waktu untuk benar-benar memarkir sepeda motor di salah satu stasiun terdekat dari tempat tinggal saya. 

Saya akhirnya benar-benar mencoba. Bingung pada awalnya? Jelas. Bagaimana membeli kartu, memasuki area stasiun, berada di peron yang sesuai, memperhitungkan gerbong yang sebaiknya dimasuki agar di stasiun selanjutnya tak ketinggalan kereta ke rute selanjutnya.

Perjalanan dari Stasiun Sudimara menuju Stasiun Jayakarta mengharuskan saya untuk transit di Stasiun Tanah Abang dan Stasiun Manggarai. Pernah saya terlalu cepat turun dan harus bergegas untuk kembali ke gerbong karena belum sampai di stasiun yang dimaksud. 

Saya pun harus ikut-ikutan berlari dan terpaksa berdesak-desakan naik turun tangga agar bisa segera mendapat kereta menuju stasiun berikutnya. Ketika banyak yang mengeluh saat jalur kereta tiba-tiba berubah, saya hanya bisa menatap dalam bingung sambil menyimpan catatan dalam benak: harus sigap dan cepat bertanya agar tak ketinggalan.

Saya juga harus menyiapkan kemungkinan terburuk jika terjadi gangguan seperti yang terjadi sehari kemudian. Pukul 22.00 saya berangkat dari Stasiun Jayakarta menuju Stasiun Manggarai. Di stasiun transit itu saya masih harus menunggu untuk menanti kereta selanjutnya menuju Stasiun Tanah Abang. Namun tak lama kemudian terdengar suara dari pengeras suara, “Kereta terakhir menuju Stasiun Parung Panjang tak menanti rangkaian kereta dari Stasiun Manggarai”.

Alamak. Artinya rangkaian kereta yang saya tunggu menuju Stasiun Tanah Abang tiba tidak pada waktunya. Kok bisa demikian? 

“Itulah mas salah satu kemungkinan buruk menumpang KRL. Gangguan listrik dan sebagainya pasti selalu mengancam. Apalagi kita yang menanti kereta terakhir harus selalu siap untuk menerima kemungkinan terburuk itu,”hubur salah satu penumpang. 

Akhirnya saya menumpang kereta terakhir dari Stasiun Manggarai menuju Stasiun Jakarta Kota. Dalam hati kecil saya bergumam, "begini nasib menumpang kereta transit". 

Goyah? 

Pengalaman tersebut tak menyurutkan semangat saya untuk terus menggunakan KRL. Apalagi sejauh ini saya sudah bisa memahami pergerakan ‘ular besi’ itu beserta seluk beluknya. Saya menjadi lebih percaya diri dan tak lagi tampak seperti orang kebingungan di antara kerumunan pengguna KRL. 

Lebih dari itu, saya merasakan banyak dampak positif ketimbang menggunakan sepeda motor. Tubuh lebih segar baik saat bekerja. Juga tak terlalu lelah saat pulang. KRL sudah mencuri hati saya bahkan sejak tumpangan pertama. 

Namun peristiwa tabrakan yang terjadi sore tadi sempat menggoyahkan cintaku pada KRL. “Menggunakan moda transportasi lain juga punya risiko,”gumamku dalam hati kecil.

Lebih dari itu, saya berharap agar pihak pengelola semakin jeli mengelola sarana yang menjadi pilihan terbaik bagi banyak orang.

Pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 23 September 2015

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/cinta-pada-tumpangan-pertama-mulai-goyah_5602b095999373af1dd767aa

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menanti Intervensi Pemerintah untuk Anak dengan Penyakit Langka

Menulis Terus Sampai Jauh...