Piala Jenderal Sudirman dan Kemenangan Bersama


Piala Jenderal Sudirman baru saja berakhir, jatuh tepat pada peringatan 100 tahun hari lahir sang jenderal besar. Rinai hujan mengiringi dua tim terbaik, Mitra Kukar dan Semen Padang memperebutkan trofi yang dilumuri peluh pelari yang mengaraknya dari Purbalingga, Jawa Tengah hingga ibu kota. 

Tentu kita tak bisa mengharapkan kedua tim tampil klimaks. Sang alam sepertinya ingin terlibat memberi restu sekaligus tantangan tambahan bagi kedua kontestan. Dalam situasi tak siap itu, Naga Mekes dan Kabau Sirah telah berjuang memberikan yang terbaik. 

Secara statistik Semen Padang tampil apik di paruh pertama. Kabau Sirah pantas berbangga sejenak sebelum turun minum setelah Adi Nugroho memperdaya Shahar Ginanjar. Namun kehilangan Novan Setiawan membawa petaka di paruh kedua. 

Mitra Kukar dengan kekuatan tambahan trio Brasil, Rodrigo Dos Santos, sang pencetak gol terbanyak Patrick Dos Santos dan Arthur Cunna berhasil memanfaatkan celah yang ditinggalkan Novan. Keunggulan jumlah pemain membuat Mitra Kukar mendapatkan kepercayaan diri tambahan. Pemain senior Rizky Pellu berhasil menyamakan kedudukan. Dan pemain pengganti Yogi Rahadian memastikan kemenangan armada Jafri Sastra berkat gol indahnya di penghujung laga. 

Meski Mitra Kukar berhak atas trofi turnamen gagasan TNI yang dioperatori Mahaka Sports and Entertainment itu, Semen Padang patut diberi apresiasi. Di bawah arahan dan dorongan semangat Nil Maizar, Kabau Sirah mampu memberikan perlawanan hingga titik penghabisan. Semangat dan perjuangan Semen Padang membuat laga ini menjadi menarik dan dramatis. 

Muda bersinar 

Turnamen ini telah berhasil baik. Hampir tak ada gangguan dan masalah berarti hingga Presiden Jokowi dengan senang hati mengajak kita beramai-ramain meramaikan Gelora Bung Karno atau setidaknya mengambil waktu menyaksikan lewat layar kaca. 

Mitra Kukar memang menjadi juara. Naga Mekes menjadi pemenang. Namun hemat saya di balik euforia kesuksesan ini, ada kemenangan terselip yang patut diangkat. Ya, kehadiran para pemain muda dengan kemampuan mumpuni. 

Dengan tanpa mengabaikan para pemain lain beberapa nama patut disebut antara lain Irsyad Maulana, Adi Nugroho dan Rudolf Yanto Basna. Irsyad memiliki kecepatan dan skill yang mumpuni, terlihat jelas di patai final. Ia bersama Adi membuat Semen Padang berbangga dan hampir saja membawa pulang trofi ke tanah Minang. 


Sementara Rudolf Yanto Basna menjadi bagian penting di sektor pertahanan Mitra Kukar. Pemain muda kelahiran Papua, 12 Juni 1995 ini bahu membahu dengan para pemain senior untuk meminimalisir gol ke gawang Shahar Ginanjar. Berkat keuletan dan kerja keras, jebolan diklat Ragunan yang pernah menimba ilmu di Uruguay ini diganjar predikat pemain terbaik. Ia menyisihkan sejumlah pemain senior seperti Christian Gonzalez, Risky Pellu, Jandia Eka Putra dan Nur Iskandar. 

Patut diakui tampilnya para pemain muda ini tak lepas dari terobosan yang dilakukan penyelenggara yang mewajibkan setiap kontestan menurunkan minimal dua pemain U-21 di starting line up. Meski terobosan tersebut sempat menuai protes, namun ternyata membawa dampak positif dengan tampilnya banyak pemain muda potensial. 

Namun patut disayangkan, panitia sedikit alpa memberikan apresiasi kepada pemain muda. Dengan menerapkan regulasi tambahan itu, setidaknya panita menyiapkan penghargaan untuk gelar pemain muda terbaik. 

Antusias 

Salah satu perkembangan positif ditunjukkan kelompok suporter. Selama gelaran Piala Jenderal Sudirman nyaris luput dari pantauan sikap tak sportif yang ditunjukkan para pendukung. Kecuali aksi tak terpuji yang terjadi jelang laga Arema Cronus dan Surabaya United di babak delapan besar yang menewaskan beberapa pendukung Aremania. 

Terpisah dari insiden berdarah itu, Piala Sudirman menghadirkan atraksi menarik di pinggir lapangan. Kelompok-kelompok suporter berlomba-lomba memberikan sajian menarik untuk mendukung tim kesayangannya. 

Bahkan Mit Man (Mitra Mania) dan The Kmer’s rela datang jauh-jauh dari Tenggarong dan Padang untuk mendukung tim kesayangannya. Tak ketinggalan rombongan Aremania turut hadir meski harus mendukung tim lain. Demikianpun kelompok suporter tuan rumah, The Jakmania dengan senang hati memenuhi undangan panitia untuk datang memberi semangat. 

Memang patut diakui tingginya antusiasme kelompok suporter tak lepas dari stimulus yang diberikan panitia. Namun apa artinya hadiah Rp100 jika dibandingkan pengorbanan dan totalitas dukungan yang diberikan. 

Hanya saja sedikit disesalkan ketidak hati-hatian panitia menjaga ‘rahasia’ sang pemenang membuat publik bertanya ragu: jangan sampai kehadiran Aremania di GBK hanya untuk mendapatkan hadiah. Pasalnya beberapa jam sebelum kick off babak final beredar luas di jejaring sosial plakat dengan nama jelas yang pemenang. 

Namun di atas segalanya, hemat saya, semua kelompok suporter patut mendapat apresiasi. Kita semualah pemenang sesungguhnya. 

Sportif

Salah satu perbedaan mencolok dibandingkan Piala Presiden sebelumnya adalah sportifitas para pemain dan tim. Meski tak bisa dijadikan tolak ukur utama dan jaminan pasti,  namun tak bisa dielak gelaran kali ini tak dinodai aksi tak terpuji seperti protes berlebihan yang berujung aksi Walk Out (WO). 

Pada gelaran Piala Presiden, tim Surabaya United menodai semangat fair play dengan aksi WO di tengah laga babak 8 besar kontra Sriwijaya FC. Namun kali ini semua tim terlihat sportif dan menghargai setiap keputusan wasit. 

Pertanyaan, apakah lebih karena rasa takut disanksi RP 1 Miliar? Terlepas dari hal ini, panitia tampaknya sudah lebih siap dalam menyiapkan sebuah turnamen. Kembali dipercaya menjadi operator, Mahaka belajar banyak dari ‘celah’ yang terlihat di Piala Presiden. 

Meski pandangan tersebut sedikit naif dan terkesan meremehkan para pemain, namun patut diakui kali ini jalannya pertandingan jauh lebih lancar, kompetitif, dan sportif. Yang kalah bersikap legowo meski berstatus unggulan. Yang menang tak cepat berpuas diri walau tak dijagokan sebelumnya. 

Ini menjadi bukti bahwa keberhasilan pertandingan ini berkat dukungan semua pihak. Meski masih memiliki kekurangan, panitia sudah bekerja maksimal, para pemain telah memberikan diri secara total, tim-tim telah memberikan yang terbaik dan para ofisial pertandingan telah menjalankan tugas sesuai amanah. Keberhasilan turnamen ini adalah keberhasilan kita bersama. Kemenangan Mitra Kukar patut kita rayakan bersama. 

What Next? 

Pertanyaan penting lanjutan, apakah sepakbola nasional hanya berhenti di sini saja? Setelah Piala Jenderal Sudirman apa lagi? 

Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu segera mengambil sikap dan kebijakan untuk mempertahankan semangat positif yang tengah bertumbuh agar jangan kembali padam dan berujung apatis. 

Hemat saya, inilah momentum yang pas bagi PSSI dan Pemerintah untuk bergandeng tangan, melepaskan segala ego dan kepentingan primordial untuk menempatkan kembali kepentingan sepakbola nasional di atas segala-galanya. Jangan sampai konflik terus berlarut, insan sepakbola kembali resah dan dengan gelisah memilih jalan sendiri-sendiri.   

N.B: 

Distribusi gelar Piala Jenderal Sudirman: 

Juara: Mitra Kukar - Rp 2,5 miliar 
Runner-up: Semen Padang - Rp 1,5 miliar  
Suporter terbaik: Aremania - Rp 100 juta 
Wasit terbaik: Thoriq Al Katiri - Rp 100 juta  
Pencetak gol terbanyak: Patrick Dos Santos Cruz (Mitra Kukar, 7 gol) - Rp 100 juta  
Pemain terbaik: Yanto Basna (Mitra Kukar) - Rp 100 juta 
Tim fair play: PS TNI - Rp 150 juta 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana 25 Januari 2016
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/piala-jenderal-sudirman-dan-kemenangan-bersama_56a5670080afbd000e5b8ac5

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menanti Intervensi Pemerintah untuk Anak dengan Penyakit Langka

Menulis Terus Sampai Jauh...