Terima Kasih Riedl dan Timnas Indonesia

Para pemain Timnas Indonesiamerayakan kemenangan usai mengalahkan Thailand di laga final Piala APP 2016 di Stadion Pakansari, Bogor, Rabu (14/12/16)/Kompas.com/ AP PHOTO / ACHMAD IBRAHIM

Piala AFF Suzuki sepertinya menjadi pengecualian dari banyak turnamen internasional yang memakai format dua kali final. Bila mengikuti format umum seperti Piala Eropa atau Piala Dunia sekalipun maka timnas Indonesia sudah berpesta di Stadion Pakansari, Bogor, Jawa Barat, Selasa (13/12) lalu.

Turnamen yang mulai digulir pertama kali pada 1996 dengan nama Piala Tiger itu mulai menggunakan sistem  final kandang-tandang pada 2002. Saat itu Indonesia dan Thailand bertemu di final untuk kali kedua seperti dua tahun sebelum itu. Untuk kali kedua pula “Garuda” bertekuk lutut di hadapan “Gajah Perang.” Bila pada pertemuan perdana pada tahun 2000 Indonesia menyerah dengan skor 1-4, di laga itu Merah Putih terkulai setelah melalui drama adu penalti usai bermain seri 2-2 di laga pertama.

Tahun ini untuk kelima kalinya, plus 2004 dan 2010, Indonesia menjadi juara “runner-up.” Kemenangan tipis 2-1 belum cukup bagi Boaz Solossa dan kolega mengklaim trofi yang pernah bernama AFF Championship itu. Persis bertolak belakang dengan Indonesia, Thailand  pun berpesta untuk kelima kalinya setelah sebelumnya di tahun 1996, 2000, 2002, dan dua edisi terakhir.

Tampil di hadapan pendukung sendiri, Teerasil Dangda cum suis berhasil membalikkan keadaan. Dua kali Kurnia Meiga memungut bola dari gawangnya dan hingga peluit panjang dibunyikan Mohamed Abdulla Hassan Mohd dari Uni Emirat Arab, Indonesia gagal mencetak satu gol untuk memperpanjang nafas harapan. Sepasang gol Siroch Chatthong di menit ke-37 dan 47 mengantar Thailand ke podium juara dengan keunggulan agregat 3-2.

Stadion Rajamangala, Sabtu (17/12) malam WIB pun menjadi panggung kedigdayaan Thailand. Para pemain Indonesia tidak bisa berbuat banyak selain angkat topi kepada armada Kiatisuk Senamuang untuk quintrick Piala AFF itu.

Kekalahan Indonesia ini sepatutnya tidak perlu terlalu didramatisir. Di satu sisi Thailand patut menuai apa yang mereka tabur melalui pembinaan sepak bola yang terukur dan terencana. Melihat performa Thailand dalam satu dekade hampir tidak ada yang bisa menyaingi selain Vietnam yang juga sama-sama berpacu maju.

Thailand sudah naik satu tingka di atas negara-negara Asia Tenggara. Negeri Gajah Putih itu hampir berdiri sejajar dengan negara-negara Asia Timur dan Arab sebagaimana tercermin di kualifikasi Piala Dunia 2018 Zona Asia. Thailand menjadi satu-satunya wakil ASEAN yang mampu menembus babak ketiga, atau fase terakhir kualifikasi menuju Rusia.

Di sisi lain, pencapaian Indonesia ini sudah melebihi target dan melampaui ekspektasi banyak pihak, untuk tidak mengatakan mengagetkan banyak orang. Dengan persiapan yang minim, bermodal empat laga uji coba, Indonesia mampu menggasak tim-tim dengan persiapan yang lebih matang seperti Vietnam di babak semi final.

Bisa saja lolosnya Indonesia ke babak final tak lepas dari campur tangan Dewi Fortuna yang menyata di babak semi final. Namun kita tidak bisa menafikan begitu saja perjuangan Boaz dan teman-teman yang dalam keterbatasan waktu persiapan mampu membentuk tim yang disegani.

Patut diakui Indonesia terjun ke ajang dua tahunan ini dalam situasi yang benar-benar tak mendukung. Abnormal, bisa jadi. Baru bangun dari mati suri setelah kompetisi terhenti selama satu tahun, timnas langsung diterjunkan ke Filipina dan Myanmar.
Pemain Thailand Siroch Chatthong (biru) menendang bola hingga membobol gawang Indonesia dalam laga final Piala AFF di Bangkok, Thailand, Sabtu (17/12/16)/Kompas.com/AP PHOTO / WASON WANICHAKORN

Bagaimana bisa membentuk tim yang solid dalam rentang waktu tak lebih dari empat bulan? Bagaimana membangun soliditas dan kerja sama antarpemain yang selama 12 bulan “menganggur”? Dengan hanya bermodalkan dua sampai tiga pemain yang tetap aktif bermain lantaran berkiprah di mancanegara, nyaris mustahil mengimbangi tim sekelas Thailand yang telah lama dibangun dengan jenjang persiapan yang matang dan terukur.

Pemanggilan Alfred Riedl, pelatih Austria yang dua kali gagal mempersembahkan Piala AFF, sempat mengundang pro kontra. Meski banyak yang memaklumi kebijakan PSSI, tidak sedikit yang menyambut dengan cibiran karena pria yang kini berusia 67 tahun itu sudah dicap gagal.

Tetapi dengan ketenangannya yang khas, mantan pelatih Laos dan Vietnam itu mulai membangun kembali kekuatan Garuda yang telah terkulai. Meski turnamen ini diperlakukan tak ubahnya ajang uji coba untuk membongkar pasang pemain, kini terlihat potensi Indonesia. Sejumlah pemain muda seperti Hansamu Yama Pranata dan Manahati Lestusen yang menjadi pahlawan Indonesia di semi final muncul ke permukaan sebagai harapan masa depan.

Kepala Hansamu tak lagi berbuah gol. Demikianpun Manahati tak bisa memberikan kado di hari ulang tahun ke-23 pada hari ini. Begitu juga Riedl tak bisa menutup karir kepelatihannya –mungkin terakhir-di Indonesia dengan trofi.

Namun Riedl dan timnya sudah membangkitkan kembali gairah masyarakat Indonesia yang sempat putus asa dan apatis dengan pemerintah dan PSSI. Setahun tanpa kompetisi, dan selama itu yang mengemuka adalah seteru, membuat pencinta sepak bola memalingkan wajah dari stadion-stadion bahkan dari layar televisi.

Sejak Indonesia menembus dan melampaui target lolos fase grup, perlahan-lahan perhatian masyarakat mulai tertuju pada Riedl dan timnya. Semangat itu bahkan meletup-letup ketika Indonesia berhasil menjungkalkan Vietnam dan meruntuhkan nama besar Thailand.

Di mana-mana orang-orang mulai ramai berbicara lagi tentang timnas. Boaz dan teman-teman mulai merebut ruang pemberitaan baik di media konvensional maupun di jagad maya. Wali kota Bandung, yang memang gila bola, bela-belain mewarnai pipinya seturut bendera Indonesia dan mengambil bagian bersama para suporter di Pakansari.
Presiden Joko Widodo menyaksikan perjuangan timnas Indonesia di final Piala AFF 2016 via laptop di Iran, Rabu (14/12/16)/tribunnews.com/@Jokow

Setelah menonton langsung leg pertama semi final kontra Vietnam di Pakansari, Presiden Joko Widodo semakin ketagihan dan tak bisa berpaling lagi. Saat kunjungan kerja ke Iran, Jokowi masih sempat menengok laptop untuk menyaksikan final pertama via live streaming. Bila tidak ada agenda yang benar-benar mendesak, sepertinya Jokowi berniat untuk terbang ke Bangkok memberikan dukungan langsung. Sebagai gantinya orang nomor satu di negeri ini yang lebih menggemari musik rock itu menjanjikan bonus hingga Rp12 miliar bila mampu membawa pulang trofi ke tanah air.
Meski kini iming-iming belasan miliar itu gagal direngkuh, timnas sudah berbuat banyak untuk Indonesia. Selain membangkitkan gairah terhadap sepak bola, timnas pun telah merekatkan Indonesia yang tengah diterpa isu sektarian berlatar agama, suku, ras dan golongan.

Saat sentiment SARA semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini, skuad “Garuda” menjadi penawar melalui penampilan yang menghibur dan menggetarkan. Hampir semua masyarakat serentak melepas segala kepentingan, dan melupakan berbagai isu dan ancaman primordial dan sektarian yang digerakkan tangan-tangan antikemajemukan. Semua masyarakat satu suara dan satu semangat untuk mendukung timnas Indonesia.

Sejak Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok “keseleo lidah” di Kepulauan Seribu tiga bulan silam yang kemudian memantik amarah pemeluk Islam yang merasa dinista, ruang hidup bernegara dan bermasyarakat pun mulai panas. Begitu juga dengan aksi seorang warga yang diduga tak waras menikam tujuh bocah SD di Sabu Raijua, NTT beberapa waktu lalu, lantas menyusul kejadian serupa tetapi oleh oknum berbeda terhadap delapan warga di Bandung, Jawa Barat, sumbu amarah masyarakat pun dipantik. Begitu juga laku seorang pegawai Mahkamah Agung yang marah dan mencakar seorang polisi di jalanan di Jakarta Timur, membuat ruang bersama kita mulai disesaki kata-kata kasar.

Dan timnas tidak hanya telah memainkan peran pelipur lara di sepak bola domestik, hasil tersebut sudah lebih dari cukup untuk kembali menyatukan tali silaturahmi, dan ikatan persaudaraan dan persautan yang tengah mengalami masa ujian sulit. Seperti kita berteriak lepas-bebas dan mengepalkan tinju member semangat saat berbicara tentang timnas kali ini, seperti itu pula laku kita terhadap Indonesia Raya. Sebagaimana kerja keras dan kerja bersama Boaz yang Nasrani dan Hansamu Yama yang Muslim misalnya, demikian semestinya sikap kita sebagai bangsa.

Riedl dan timnas telah memenangkan trofi yang jauh lebih bernilai bagi nusantara. Sekali dua kali terima kasih dan berbagai bentuk apresiasi sepertinya tidak cukup untuk itu.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 17/12/2016.



Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...