Tommy Sugiarto, All England dan Mental yang Membelenggu

Tommy Sugiarto (badmintonindonesia.org)


Kurang dari sepekan lagi All England 2016 akan dimulai. Turnamen bulu tangkis tertua sekaligus salah satu yang paling bergengsi akan dihelat di Birmingham, Inggris sejak 8-13 Maret ini. Ajang akbar yang memasuki edisi ke-106 itu menjadi bidikan sekaligus idaman setiap pebulutangkis dunia. Mereka tak hanya ingin tampil mencari nama, dan memburu ‘kue’ dengan nilai total 550.000 USD. 

Para pebulutangkis pun ingin merebut 11.000 ribu poin yang bakal jatuh ke tangan sang juara. Jumlah poin sebanyak itu lebih dari cukup untuk ditabung dan menjadi modal berharga untuk digerai saat penghitungan poin Olimpiade Rio de Janeiro pada Mei nanti. Dengan sisa waktu yang sedikit ini, turnamen Yonex German Open 2016 menjadi ajang ‘pemanasan’ yang pas. Tak heran sejumlah pebulutangkis Indonesia pun dikirim mengikuti kompetisi di RWE Sporthalle, Mulheim an der Ruhr yang sudah dimulai sejak 1 hingga 6 Maret nanti. 

Kendala 

Sayang tak semua pemain bisa ambil bagian pada turnamen level grand prix gold ini. Tunggal putra masa depan Indonesia Anthony Ginting dan Jonatan Christie serta finalis tahun lalu Della Destiara/Rosyita Eka tak bisa tampil karena terkendala visa. Peluang untuk mendapatkan 7.000 poin dan ‘kue’ hadiah dengan nilai total 120 ribu USD pun menguap. 

Ketakhadiran sejumlah pemain muda di ajang tersebut di sisi tertentu menjadi kesempatan mematangkan diri jelang All England. Apalagi ini akan menjadi kesempatan perdana bagi Jonathan Christie, Ihsan Maulana Mustofa dan Anthony Sinisuka Ginting untuk ambil bagian di turnamen legendaris yang mulai digelar sejak 1899 itu. 

Di All England kali ini mereka tak dibebani target tinggi mengingat tingkat persaingan yang sangat tinggi yang sudah dimulai sejak babak kualifikasi. Bahkan Jonatan dan Ihsan (unggulan kedua kualifikasi) berpeluang ‘saling bunuh’ untuk mendapatkan satu tiket babak utama. Sementara Anthony (unggulan tiga kualifikasi) bila mampu melewati babak kualifikasi berpotensi jumpa pemain top di babak pertama. Walau harus saling jegal lebih dini diharapkan mereka tetap mempertontonkan penampilan cemerlang seperti di babak kualifikasi Piala Thomas di Hyderabad, India pada awal tahun ini. 

Lantas, bagaimana dengan tunggal putra terbaik Indonesia, Tommy Sugiarto? Di India lalu Tommy tampil kurang maksimal. Di partai puncak saat berhadapan dengan Jepang, pemain yang kini berperingkat sembilan dunia itu menderita sakit. Entah mengapa saat tampil di ajang pemanasan German Open, Tommy belum juga menemui titik balik. Tommy langsung kandas di babak pertama. 

Menghadapi pemain Belgia berdarah Indonesia, Yuhan Tan, Tommy menyerah setelah berjuang tiga set dengan skor 21-12, 17-21 dan 19-21. Secara peringkat Tommy jauh lebih diunggulkan. Pebulutangkis 28 tahun itu menghuni rangking 57 dunia. Selain itu, di pertemuan pertama di New Zealand International Challenge 2011 lalu, Tommy berhasil meraih kemenangan. Itu pun Tommy harus berjuang tiga set, 21-11, 18-21 dan 21-11. 

Terlihat jelas Tommy belum bisa lepas dari ‘masalah’ menahun. Konsistensi. Di awal pertandingan Tommy begitu digdaya. Yuhan yang merajai bulutangkis Belgia tak bisa berkutik. Set pertama berakhr dengan skor 21-12. Namun di set kedua performa Tommy menurun. Sebaliknya Yuhan meningkat. Dengan skema mirip set pertama, Yuhan mampu unggul jauh di awal set (1-6, 5-11) dan hanya memberikan 17 poin kepada Tommy. 

Set penentuan tiba, Tommy belum juga ‘move on’. Alih-alih bangkit, Tommy sudah harus tertinggal sejak awal set. Sempat mengimbangi di pertengahan game, Tommy gagal merebut set terakhir yang akhirnya menjadi milik Yuhan. Tommy memiliki tugas berat untuk memperbaiki performa jelang All England. Di ajang superseries premier itu lawan dan beban yang dipikul Tommy akan lebih berat. 

Putri? 

Berbanding terbalik dengan sektor putra, di bagian putri Indonesia masih menaruh harapan pada Greysia Pollii/Nitya Krishinda Maheswari. Ganda putri terbaik tanah air itu menjadi harapan Indonesia tak hanya di All England nanti tetapi juga di German Open kali ini. Greysia/Nitya ditempatkan sebagai unggulan pertama di turnamen German Open ini. Pada pertandingan pertama hari ini, keduanya akan menghadapi ganda non unggulan asal USA, Eva Lee/Paula Lynn Obanana. Hampir semua aspek, baik peringkat maupun rekor pertemuan berpihyak pada Greysia/Nitya. 

Mereka sudah tiga kali bertemu dan semuanya dimenangi Greysia Nitya. Pertemuan terakhir di Korea Open 2015. Saat itu Greysia/Nitya menang  straight game, 21-11 dan 21-14.  Meski diunggulkan, Greysia/Nitya tak bisa jemawa. Pengalaman tahun lalu bisa menjadi pelajaran yakni keok di babak kedua. Menghadapi wakil Korea Selatan Chae Yoo Jung/Kyung Jung Eun, Greysia/Nitya kalah 17-21 dan 16-21.  Tentu, sebagai unggulan pertama target yang dipatok dan diusung Greysia/Nitya di turnamen ini adalah juara. 
Lindaweni Fanetri (badmintonindonesia.org)


Selain itu, turnamen ini pun menjadi ajang pemanasan jelang All England dimana keduanya ditempatkan sebagai unggulan kedua di bawah pasangan kembar dari Tiongkok, Luo Ying/Luo Yu. 

Di sektor tunggal putri, Indonesia menaruh harapan pada Lindaweni Fanetri. Setelah Maria Febe Kusumastuti kalah di babak pertama dari tunggal Thailand, Busanan Ongbumrungphan, Lindaweni diharapkan bisa melangkah lebih jauh. Setidaknya hingga mencapai target delapan besar. 

"Linda kalau kondisi oke paling nggak bisa sampai delapan besar. Linda ditarget lolos perempat final. Ini untuk meningkatkan kepercayaan diri dia. Selain itu juga untuk mengamankan posisi ke Olimpiade. Kondisi Linda saat ini usai dari India mulai membaik," ungkap Edwin Iriawan, pelatih tunggal putri dikutip dari Badmintonindonesia.org.  

Pertanyaan, mengapa Lindaweni tak bisa ditargetkan juara? Bila sekadar menyebut target tentu bisa. Namun, sang pelatih bersikap realistis dengan kondisi terkini Lindaweni. 

Yang dikatakan Edwin sekaligus menjadi representasi dari situasi umum yang sedang mendera sektor tunggal putri tanah air. Performa sektor ini jauh tertinggal dan terbelakang dibandingkan sektor lain. Tak ada tunggal putri kita yang menembus 10 besar atau 20 besar BWF. Peringkat tertinggi tunggal putri Indonesia adalah Maria Febe di urutan 21 dunia. Sementara Lindaweni empat tingkat di belakangnya. Bellaetrix Manuputty? Jangan tanya lagi, Bella sudah terlempar dari 50 besar dunia lantaran cedera tak kunjung membaik. Bella pun terancam terdepak dari Pelatnas Cipayung bila kondisinya tak membaik dalam enam bulan ke depan. 

Pertanyaan mendasar, mengapa sektor putri bisa sedemikian tragis? Saya teringkat ‘curhat’ pelatih tunggal putri, Edwin Irawan saat memberikan evaluasi usai Kualifikasi Piala Uber 2016 di Pelatnas Cipayung beberapa waktu lalu. 

Menurut Edwin, kualitas para pemain putri Indonesia sejatinya tak kalah dibandingkan para atlet mancanegara. Namun, jumlah bibit petenis putri yang sudah sedikit semakin diperparah dengan mental bertanding yang melempem. Alhasil kumpulan minoritas ini semakin inferior, baik dari segi penampilan maupun persaingan prestasi. 

“Secara kualitas teknik pemain kita tak kalah. Namun saat masuk lapangan semuanya tertunduk liat ke lantai,”kira-kira demikian ungkap Edwin untuk mengatakan adanya mentalitas ‘kalah’ sebelum bertanding. 

Bila dibandingkan negara-negara Eropa seperti Spanyol, tradisi dan sejarah prestasi pemain putri kita jauh lebih baik. Namun, mengapa Carolina Marin mampu mengatasi rasa rendah diri sebagai wakil dari negara yang tak memiliki nama dan tradisi dan kini bertengger di peringkat satu dunia? 
Carolina Marin (INDOSPORT.com)


Selain kualitas Marin yang unggul, pebulutangkis 22 tahun itu memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Marin pernah belajar dan mencuri ilmu di Indonesia, juga beberapa negara kuat lainnya. Tak heran bila prestasinya saat ini melebihi para pebulutangkis kita, bahkan para atlet Tiongkok sekalipun. 

“Marin orangnya mau belajar. Tekun berlatih. Apa pun ditanyakan sampai sekecil-kecilnya. Ia tak hanya belajar di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain,”kurang lebih demikian kesimpulan Edwin Irawan yang diamini mantan pebulutangkis putri Indonesia Yuni Kartika.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 2 Maret 2016

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/tommy-sugiarto-all-england-dan-mental-yang-membelenggu_56d69859a923bd93175177a9

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing