Leicester Favorit, Spurs Juara Mengapa Tidak?

Claudio Ranieri (kiri) dan Mauricio Pochettino (gambar bbc.com)

Liga Primer Inggris baru melewati separuh jalan. Sebagian besar kontestan sudah memainkan 27 laga. Peluang juara sudah mulai terlihat. Sebelumnya, nama Leicester City santer disebut-sebut sebagai favorit juara. Kini Tottenham Hotspur perlahan tapi pasti mulai menunjukkan diri, tak bisa tidak dimasukkan dalam daftar kandidat juara pula.

“Semua orang berbicara tentang Leicester tetapi tidak ada seorang pun yang berbicara tentang Tottenham. Pelan, pelan, tenang, tenang mereka menang,”ungkap pelatih Leicester, Claudio Ranieri dikutip dari Daily Mail. The Foxes berada di puncak dengan 56 poin setelah Jose Ulloa menjadi pahlawan berkat gol tunggalnya ke gawang Norwich City, Sabtu (28/2) lalu.

Pada waktu bersamaan Tottenham pun memetik poin sempurna saat menjamu Swansea City. Gol Alberto Paloschi sempat membuat seisi White Hart Lane terdiam hingga separuh babak. Namun, Nacer Chadli dan Danny Rose tampil sebagai pembeda, memberikan Spurs tiga angka sekaligus menjaga jarak dengan Leicester.

Kini Spurs menjadi tim yang paling dekat dengan sang pemuncak klasemen setelah Arsenal tergelincir di laga ‘panas’ menghadapi Manchester United. Kedua tim hanya terpaut dua poin. Walau garis finis Liga Primer Inggris masih jauh di depan dengan 11 laga tersisa, Leicester hanya butuh konsistensi untuk mempertahankan posisi puncak. Hal yang sama pun dibutuhkan Spurs.

Armada Mauricio Pochettino berharap rentetan enam kemenangan beruntun terus berlanjut agar tetap menempel ketat Leicester dan siap menyalip bila sekali-kali pasukan Claudio Ranieri terpeleset.
Apakah Spurs mampu melakukan itu? Bila pertanyaan itu dilayangkan kepada Ranieri jawabannya tentu ya. Pria 64 tahun itu sangat mengagumi Spurs dan menganggap mereka sebagai pesaing terberat. Ranieri menilai Spurs adalah tim yang komplit.

“Tottenham kuat dalam segala situasi baik saat bertahan maupun menyerah. Mereka tahun betul apa yang mereka inginkan,”tuturnya.

Pernyataan Ranieri itu bukan isapan jempol belaka. Tengok saja jumlah kemasukan dan pemasukan yang ditorehkan Harry Kane dan kolega. Sejauh ini Tottenham menjadi tim dengan pertahanan terbaik dengan jumlah kemasukan paling sedikit. Gawang Hugo Lloris baru kemasukan 21 gol.
Banyak pengamat menilai bahwa tim yang dimiliki Spurs saat ini adalah yang terbaik dalam sejarah klub, menyamai skuad musim 1984/1985. Artinya Spurs harus menanti selama 31 tahun untuk kembali mendapatkan tim yang bagus. Bagus tak hanya dalam arti kokoh, juga bermain indah dan menghibur seperti pada masa Glenn Hoddle, Ossie Ardiles, Chris Waddle dan Clive Allen.

Bila 31 tahun lalu tim terbaik Spurs hanya finish di tempat ketiga, dengan selisih beberapa poin dari sang pemenangan Everton, Maka kali ini peluang untuk juara terbuka lebar. Skuad racikan Pochettino memiliki modal yang lebih dari cukup untuk mengulangi prestasi 55 tahun silam.
Pochettino memiliki modal skuad muda dengan tenaga dan semangat yang menggebu-gebu. Selintas kita menilai bahwa Spurs hanya mengandalkan Harry Kane seorang diri. Bahkan David Pleat, manajer Spurs sejak 1987-1989 sempat berpikir demikian mengingat kesukaan Pochettino memainkan formasi 4-5-1 dengan Kane sebagai ujung tombak, persis seperti Clive Allen pada musim 1987.

Namun Kane seorang diri tak ada artinya jika tak disokong oleh tim yang padu. Tak mungkin membayangkan Kane mencetak gol tanpa memperhitungkan pertahanan yang tangguh, permainan cepat dari kaki ke kaki, serangan balik mengagumkan dan passing akurat yang membuat lawan kelabakan. Selain Kane, sosok seperti Ryan Mason, Tom Carroll, Danny Rose dan Nabil Bentaleb yang dipertahankan John McDermott dan staf akademi patut disebut. Tak terkecuali, Eric Dier, Kieran Trippier dan Ben Davies yang kini baru diakui sebagai pembelian cerdas Pochettino.

Meski sebagian besar dihuni pemain muda tak berarti mental mereka pun ‘muda’. Dari waktu ke waktu mental bermain mereka kian terasah. Terbukti skuad muda Spurs mampu menyingkirkan tim kuat Italia Fiorentina dari pentas Liga Europa. Sambil menyingkirkan rasa sesal, pelatih La Viola Paulo Sousa angkat topi dan tak segan menyebut Spurs sebagai salah satu tim terbaik Eropa saat ini.
"Kami telah menunjukkan mentalitas yang besar musim ini dan saya pikir kami kuat: kami tahu itu,”ungkap kapten Spurs Hugo Lloris.
Claudio Ranieri (kiri) dan Mauricio Pochettino (gambar bbc.com)


Spurs telah memiliki modal untuk berbicara banyak musim ini. Ditambah lagi di pentas Liga Primer Inggris, mereka tak punya beban dan tekanan apapun kecuali hasrat untuk mengakhiri puasa juara selama 55 tahun. Bila itu tak terwujud setidaknya mereka telah menunjukkan diri sebagai salah satu tim yang patut diperhitungkan, dengan komposisi para pemain muda yang memiliki masa depan cerah.

Berbeda dengan Spurs dan Leicester, tim-tim besar lainnya terikat target tinggi dan tengah memikul beban besar karena nama dan sejarah besar serta investasi besar-besaran. Seperti Chelsea, sang juara bertahan yang tengah terseok-seok di papan bawah dan berusaha untuk menutup malu setidaknya dengan finish di papan tengah.

Demikian pula Arsenal yang sarat pemain bintang tengah menanti gelar liga setelah 12 tahun. Pun duo Manchester yang kini saling mengejar di posisi empat dan kelima, persis seperti mereka sedang berkejar-kejaran penuh nafsu di bursa transfer.

N.B: 
Pertandingan tengah pekan ini akan menentukan konstelasi papan atas Liga Primer Inggris: Arsenal vs Swansea (3/3)
West Ham vs Tottenham (3/3)
Liverpool vs Manchester City (3/3)

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 1 Maret 2016

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...