Menyambut Era Baru Bulu Tangkis China Selepas Li Yongbo


Li Yongbo berpose dengan 5 medali emas yang diraih para pemain China di Olimpiade London 2012/AP

Sebuah pukulan bagi bulu tangkis China datang dari Super Series Singapura Open. Bukan tentang para pemain, tetapi sang kepala pelatih, Li Yongbo. Dalam sebuah wawancara dengan media, pria yang kini berusia 54 tahun itu mengisyaratkan akan segera meletakkan jabatan yang dipegangnya selama 24 tahun terakhir.

Lebih dari dua dekade Li dan tim nasional China seperti dua sisi dari sebuah mata uang. Di balik kesuksesan bulu tangkis Negeri Tirai Bambu itu pasti ada Li di belakangnya. Begitu juga sebaliknya. Nama Li semakin bersinar dan dikenal luas berkat sentuhan tangan dingin dalam sistem dan organisasi  yang mewujud prestasi bulu tangkis negara di Asia Timur itu.

Li memang telah menjadi besar sebelum menjadi kepala pelatih tim nasional. Ia adalah spesialis ganda putra, berpasangan dengan Tian Bingyi. Era keperkasaan mereka sejak pertengahan 1980-an hingga awal 1990-an. Deretan gelar internasional berhasil diraih, bersaing dengan pasangan legendaris Korea Selatan Park Joo-bong dan Kim Moon-soo. Selama sekitar delapan tahun kedua pasangan itu bersaing di berbagai panggung bulu tangkis.

Meski begitu Li/Tian setidaknya berhasil mencatatkan beberapa prestasi gemilang seperti dua kali menjadi juara dunia di tahun 1987 dan 1989, “hattrick” All England tahun 1987, 1988 dan 1991 dan beberapa turnamen individu lainnya. 

Kontribusi keduanya pada tim nasional juga mewujud tiga gelar Piala Thomas yang diraih secara beruntun, tahun 1986, 1988 dan 1990. Selain itu medali perunggu yang diraih di Olimpiade Barcelona 1992, di mana saat itu Indonesia berhasil membawa sepasang medali emas dari nomor tunggal melalui Alan Budikusuma dan Susi Susanti.

Sebagai pemain, Li terkenal dengan daya refleks, kecepatan dan kekuatan yang mengagumkan. Ketiga keunggulan ini menjadi trisula maut yang membuatnya mampu berpadupadan dengan Tian sebagai pasangan tangguh.

Prestasi sebagai pemain, ditambah kemampuan kepelatihan, membuat Li tidak susah menjawab kepercayaan untuk memimpin armada bulu tangkis negaranya. Tidak hanya mumpuni dalam mentrasfer ilmu, kepribadiannya juga menjadi faktor lain yang membuat anak asuhnya seperti dilecut untuk lekas berprestasi. 

Salah satunya adalah kewibawaan dan pengaruhnya yang begitu signifikan di tim nasional. Nyaris tidak ada seorang pun, apalagi pemain, yang bisa membantah apalagi melawan kehendaknya. Ia seperti “diktator” yang kuat kuasanya membuat siapa saja menurut tanpa mengeluh, juga sosok berkharisma dengan wibawa dan keandalan yang patut diturut. 

Bisa jadi karena besarnya pengaruh Li membuat sejumlah bintang dengan patuh mengikuti arahan untuk membuat lelucon yang tidak lucu di Olimpiade London 2012. Ganda putri unggulan pertama Yu Yang dan Wang Xiaoli misalnya, dengan gampang menurunkan level kualitas mereka, menunjukkan permainan layaknya pasangan yang baru berlatih tepok bulu. Seakan-akan 4.800 penonton di Wembley Arena dan ratusan juta pasang mata di seluruh dunia adalah kawanan manusia lugu yang dengan enteng memahami ketika kok dengan begitu mudah tersangkut di net, atau bulu angsa tak bisa menyeberang dalam posisi sangat ideal. 

Dagelan yang juga menyeret dua pasangan Korea Selatan, Jung Kyung-eun dan Kim Ha-na, serta Ha Jung-eun dan Kim Min-jung, serta Greysia Polii dan Meiliana Jauhari dari Indonesia, itu kemudian menjadi skandal besar dalam sejarah bulu tangkis dunia. Ironisnya para pelaku yang menodai sportivitas itu adalah tiga negara yang kebesarannya juga bergantung dari cabang olahraga tersebut. Perilaku memalukan itu lantas mencoreng reputasi mereka dan akan selalu dikenang sampai kapanpun.

Setelah kejadian itu, Li dengan jujur mengakui kesalahannya. Ia mengaku bertanggung jawab dan berutang maaf dari pencinta bulu tangkis China dan penonton televisi China yang telah terluka oleh tontotan tak pantas itu. 

Itulah satu dari deretan sisi gelap di balik perjalanan Li bersama bulu tangkis China. Lepas dari kontroversi, Li, seperti disinggung sebelumnya, adalah sosok besar yang belum tertandingi hingga sekarang. 

Nama lain yang bisa menjadi lebih besar pengaruhnya hanyalah Wang Wen Jiao. Pria kelahiran Solo ini tidak akan pernah dilupakan masyarakat China. Ia adalah peletak dasar sistem bulu tangkis China sehingga digelari bapak bulu tangkis China.

Bila Wang bisa disebut sebagai pioner yang membuat peta jalan bulu tangkis China, Li adalah aplikator yang menerjemahkan kerja rintisan Wang menjadi prestasi. Di tangan Li, China nyaris tak tertandingi. Regenerasi seperti tak pernah mengenal ujung. Setali tiga uang dengan prestasi, baik individu maupun tim.

Salah satu puncak prestasi Li sebagai kepala pelatih adalah saat Olimpiade London. Lupakan sejenak skandal itu. China sapu bersih medali emas saat itu. Tambahan lima emas itu melengkapi koleksi 18 medali emas di ajang Olimpiade dalam enam tahun terakhir. 

Bila ditambah trofi lainnya, bisa disebut antara lain 10 trofi Piala Sudirman, 9 gelar Piala Uber dan 5 buah Piala Thomas. Secara individu ia rutin mencetak juara dunia. Li bahkan punya hasrat mencetak 100 juara dunia. Sayang menjelang Kejuaraan Dunia di Glasgow, Skotlandia, Agustus mendatang Li keburu mengundurkan diri. Padahal ia hanya butuh delapan orang lagi untuk mewujudkan ambisi tersebut. 

Belum diketahui secara pasti kapan Li mengestafetkan jabatan tersebut. Begitu juga masih dalam status rahasia pekerjaan Li selanjutnya. Beredar kabar, ada tugas lain, dengan ruang lingkup dan tanggung jawab yang lebih besar, yang lebih membutuhkannya. Tentu masih dalam ruang lingkup olahraga.

Di samping itu Li mengaku seperti dikutip dari badmintonplanet.com dirinya butuh penyegaran. Ternyata prestasi demi prestasi itu tidak lantas membuat rasa lelah tak pernah datang. Rentang waktu tiga windu tidak pernah bisa digadai dengan apapun untuk membuatnya terhindar dari capek.

Ada maksud  lain yang lebih penting. Kesengajaan yang lebih berdasar. “Saya berpikir inilah waktunya bagi generasi lebih muda untuk mengambil alih kepemimpinan dalam tim.”

Meski Li bukan bagian dari kita, karena kita juga bisa menyodorkan orang-orang seperti Fung Permadi, Lie Sumirat, Christian Hadinata dan masih banyak lagi untuk dibanggakan, setidaknya keberadaanya di dunia bulutangkis turut memberi pengaruh. Saat melihat China, saat itu pula wajah pria kharismatik yang berulangtahun setiap 18 September itu muncul seketika. Ia hadir sebagai lawan yang disegani dan musuh yang ingin ditaklukkan, sekaligus sosok yang patut ditiru karena dedikasi dan prestasi yang membuat China hebat. Tidak ada yang bisa menyangkal aura kompetisi dan hasrat berprestasi yang ia sebarkan di balik nama besarnya itu.

Era kepemimpinan baru bulu tangkis China telah datang. Terima kasih Li!

Tulisan ini terbit pertama di Kompasiana, 12 April 2017.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing