Mengapa Meksiko Tampil Sedemikian Memalukan?
Pelatih Meksiko Juan Carlos Osorio begitu
terpukul dengan situasi timnya yang diluluhlantahkan Chile/espnfc.com
Segala
sesuatu bisa saja terjadi di lapangan hijau. Tak ada yang mustahil sebelum
peluit akhir berbunyi. Sudah banyak contoh dan bukti untuk itu. Terkini, nasib
miris Meksiko di perempat final Copa America Centenario saat dicukur Chile
tujuh gol tanpa balas di Levi’s Stadium Santa Clara, California, Minggu (19/6)
pagi WIB.
Walau dalam
banyak ulasan dan prediksi peluang Chile untuk memenangkan laga tersebut
terbuka, namun kekalahan super telak itu sungguh di luar dugaan. Hampir tak
jauh berbeda saat Brasil dipermalukan 1-7 oleh Jerman di hadapan publik sendiri
di babak delapan besar Piala Dunia 2014. Kekalahan itu tak hanya melahirkan
kekecewaan mendalam. Bahkan jauh lebih dalam, luka besar yang menyayat kebesaran
dan harga diri, yang entah kapan tersembuhkan.
Persis
seperti itulah yang dialami Meksiko saat ini. Betapa tidak. Dengan materi
pemain yang mumpuni serta rekor 22 pertandingan tanpa kekalahan, El Tri bahkan
digadang-gadang sebagai salah satu favorit untuk berjaya di Amerika Serikat
kali ini.
Namun yang
terjadi di luar perkiraan. Segala kedigdayaan armada Juan Carlos Osario seperti
saat menggilas tim tersukses sepanjang sejarah Copa America, Uruguay di fase
grup tak berbekas sama sekali. Predikat sebagai jawara Grup C hilang lenyap
berganti nestapa.
Sebaliknya,
Chile bak mendapatkan momentum pelampiasan setelah tampil uring-uringan sejak awal
tahun. Di bawah kendali Juan Antonio Pizzi yang mengambil estafet kepelatihan
dari Jorge Sampaoli pada awal Januari, performa Alexis Sanchez
dan kolega jauh dari memuaskan. Tiga
kali menang dalam tujuh laga lebih dari cukup untuk meragukan kapasitas mereka
bersinar, apalagi, mempertahankan gelar Copa America.
Memalukan
Osorio
mengakui timnya tak hanya tampil buruk, tetapi memalukan. Seusai pertandingan
dengan besar hati ia mengakuinya.
Pria asal
Kolombia itu,dikutip dari espnfc.com,
dengan sesal mendalam berujar, "Saya ingin meminta maaf kepada orang-orang
Meksiko. Itu memalukan. Kinerja itu sangat buruk dan saya ulangi:.. Banyak
permintaan maaf kepada orang-orang Meksiko."
Walau
secara prestasi dan posisi di rangking FIFA, Chile sedikit lebih baik, namun
menurut pelatih 55 tahun, penampilan timnya jauh dari layak.
"Mereka
[berada di posisi] kelima di dunia untuk alasan yang baik, tapi saya ulangi
kami memiliki permainan yang mengerikan saat ini."
Lantas,
mengapa bisa sampai sedemikian memalukan dan mengerikan? Beberapa fakta tentang
pertandingan tersebut bisa dikemukakan.
Pertama, penampilan Eduardo Vargas dalam laga itu sangat
fantastis. Pemain 26 tahun itu memborong lebih banyak gol ketimbang brace atau dua gol ke gawang Bolivia di
fase penyisihan grup D. Guillermo Ochoa empat kali memungut bola dari dalam
gawangnya, masing-masing pada menit ke-44, 53, 58 dan 74. Quattrick itu mendapuknya sebagai pencetak gol terbanyak sementara
dengan torehan enam gol.
Namun, kemenangan
La Roja tak semata karena Vargas. Beberapa nama lain tak bisa ditampik. Arturo
Vidal dan Alexis Sanchez pun luar biasa. Vidal yang akan melewatkan
pertandingan berikutnya akibat suspensi kartu benar-benar bertaji di lini
tengah bahkan leluasa memberikan umpan manis ke lini depan.
Begitu juga
bek Jean Beausejour. Walau sudah berusia 32 tahun, bek Colo-colo ini seakan tak
pernah kehabisan eneri. Pergerakannya dari
sayap kiri benar-benar merepotkan barisan pertahanan Meksiko.
Kedua, di atas performa individu, kunci sukses Chile
sebenarnya adalah hasil kerja tim. Denga penguasaan bola 58 persen, soliditas
Chile tampak saat menekan maupun ketika ditekan. Justru saat ditekan, Chile
malah mendapat tambahan energi untuk balik menekan. Di babak pertama, torehan
dua gol, masing-masing di awal dan sebelum jeda adalah upah layak untuk
kekompakan yang mereka peragakan.
Apa yang
terjadi di 45 menit babak kedua tampaknya lebih sebagai kejutan besar. 15 menit
setelah jeda, Chile menggelontorkan tiga gol, sekaligus menegaskan dominasi
atas Meksiko. Situasi ini tak hanya mengubah konstelasi permaian. Pemandangan di
luar stadion mengguratkan kesan yang sama. Pendukung Meksiko yang semula
mendominasi Levi’s Stadium melakukan eksodus massal. Optimisme yang membuncah
sebelum laga, berganti shock.
Bahkan
Javier Hernandez harus turun tangan untuk menenangkan hati sejumlah fans yang
mulai bertindak tak sportif, membuang sejumlah benda ke lapangan.
Situasi yang
sama terjadi juga di bangku pemain dan pelatih Meksiko. Osorio seperti hanya
bertubuh. Jiwanya kelihatan melayang, pergi bersama rekor 10 pertandingan tak
terkalahkan.
Suasana Levi's Stadium
setelah babak pertama berakhir/gambar dari @shahanLA
Ketiga, penampilan Chile yang luar biasa sungguh tak
diduga Osorio. Terlihat jelas ia sangat gelagapan untuk mengimbangi situasi
saat lawan sudah di atas angin. Beberapa keputusannya dalam laga ini mengundang tanda tanya.
Ochoa hampir
tak tergantikan di bawah mistar gawang. Namun performanya dalam laga ini kurang
memuaskan sehingga menimbulkan pertanyaan soal rotasi dengan dua kiper lain
yang ada di bangku cadangan. Selain itu ketiadaan Rafael Marquez membuat formasi
4-3-3 begitu labil. Ketiadaan pemain lawas yang bisa berposisi sebagai bek
tengah atau gelandang jangkar ini memungkinkan para pemain Chle leluasa
bergerak.
Selain itu
pertanyaan juga mengemuka terkait pemilihan Carlos Pena di babak pertama.
Pemain tengah itu adalah satu dari dua pemain yang tidak diturunkan pada
putaran sebelumnya. Namun tiba-tiba ia mendapat tempat di starting XI.
Hal lain
yang cukup mencolok dalam laga ini adalah keputusan Osorio melakukan perubaha
di babak pertama dengan memasukan Raul Jimenez. Keputusan ini sama sekali tak
mengubah situasi. Malah membuat keadaan menjadi semakin buruk.
Termasuk
juga memasukan bek Diego Reyes untuk menggantikan pemain sayap Jesus Manuel
Corona di babak kedua hanya sekedar melengkapi jumlah pemain di dalam lapangan.
Keempat, kekalahan ini adalah tanggung jawab bersama
sebagai tim. Tak bisa menyalahkan satu atau dua pihak saja bila melihat
bagaimana para pemain Chile begitu hidup di segala lini. Walau kunci permainan
Chile terpusat pada Sanchez, namun entah mengapa semua pemain Meksiko seperti
kehilangan semangat dan kreativitas untuk mengunci pergerakan pemain Arsenal
dan lini-lini lain yang menopangnya.
Ketika bola
datang dari kiri, Vargas dengan cepat bereaksi. Mantan pemain Valencia ini
leluasa menguasai bola dengan sempurna dan
mengarahkan tembakan yang begitu mudah memperdaya Ochoa.
Di sisi
lain, Javier “Chicharito” Hernandez yang digadang-gadang bakal menjadi pembeda
dalam laga ini nyaris tidak punya kesempatan. Lini serang Meksiko seperti
terisolasi dan para pemain sayap kehilangan kreativitas. Hector Herrera yang
biasanya lihai membuka dan memberikan dukungan dari lini tengah ketiadaan taji.
Akhirnya, setelah
Vidal memberikan umpan sangat manis kepada Sanchez yang berbuah gol di menit
ke-48, Chile benar-benar membenamkan Meksiko dalam jurang keterpurukan. Semua
kejayaan, strategi dan keyakinan tak berbekas. Sejak saat itu jumlah gol Chile
seperti tingal menunggu waktu. Tujuh gol tampaknya sebuah kemujuran, karena
sejatinya bisa lebih dari itu. Meninggalkan Meksiko dengan sesal dan luka yang
entah sampai kapan tersembuhkan.
"Kami
tidak memberikan Meksiko kesempatan. Kami adalah pemenang jauh dalam duel
individual. Para pemain ini menulis halaman yang paling cemerlang dalam sejarah
sepak bola Chili. Saya berharap kami dapat terus menambahkan untuk itu,"aku
Juan Antonio Pizzi dikutip dari The
Guardian.com.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 19 Juni 2016.
http://www.kompasiana.com/charlesemanueldm/mengapa-meksiko-tampil-sedemikian-memalukan_5766957ba423bdba07cfd359
Comments
Post a Comment