Ketika Menjadi Saksi Pertarungan Dua Tunggal Muda Indonesia
Jonatan Christie/badmintonindonesia.org
Berbekal
tiket gratis usai memenangkan kuis ‘ringan’ yang dibuat komunitas Koprol-Kompasianer
Penggemar Olahraga (untuk hal ini perlu saya beri apresiasi kepada sang
penggagas, Bang Yos Mo), saya berkesempatan menyaksikan secara langsung pertandingan
babak perempat final BCA Indonesia Open Super Series Premier di Istora Senayan,
Jakarta, Jumat (3/06/2016).
Sepanjang
siang hingga malam saya leluasa melihat dari dekat suasana Istora yang oleh
pebulutangkis mancanegara disebut ‘angker’ tetapi bikin ‘kangen’ itu. Pun melihat
langsung, walaupun harus berjuang untuk mendapatkan sudut pandang yang baik, kiprah
para wakil Merah Putih yang sejauh ini hanya bisa dipantau lewat layar kaca,
pemberitaan media atau potongan-potongan informasi di sosial media.
Sedikit memburu
waktu dengan gelora dan semangat untuk segera melihat aksi para pebulutangkis
saya pun masuk melalui pintu 6 A. Membawa serta stempel kecil di tangan sebagai
tanda penonton ‘sah’ dan dipertegas dengan karcis berbentuk gelang yang
melingkar indah di pergelangan tangan kiri.
Jam sudah
menunjukkan pukul 15.00 WIB. Tentu saja saya sudah melewatkan beberapa
pertandingan yang telah dimulai sejak pukul 13.30 WIB. Termasuk absen
menyaksikan dari dekat kiprah ganda campuran Alfian Eko Prasetia/Annisa Saufika
menantang unggulan teratas dari Tiongkok Zhang Nan/Zhao Yunlei. Serta ganda
putri Rizki Amelia Pradipta/Tiara Rosalia Nuraidah menghadapi Eefje
Muskens/Selena Piek asal Belanda.
Kekalahan kedua
wakil Merah Putih itu langsung terobati oleh riuh rendah seisi Istora yang
menyemangati Ihsan Maulana Mustofa. Tunggal masa depan Indonesia itu sedang
berlaga menghadapi wakil Inggris, Rajiv Ouseph di lapangan utama.
Tubuhnya
kurus. Tingginya pun tak seberapa. Pandangan dari jauh semakin membuat pemuda
20 tahun itu terlihat mungil. Berbeda dengan Rajiv yang menjulang tinggi dan
sedikit kekar.
Secara
fisik cukup beralasan bila muncul keraguan bahwa pria asal Takismalaya itu
mampu merobohkan pertahanan Rajiv. Terbukti benar di game pertama Ihsan
kesulitan membongkar pertahanan tunggal 15 dunia itu. Ditambah lagi beberapa
kali serangan yang dilancarkan Ihsan menyangkut di net. Set pertama pun berakhir
dengan keunggulan wakil Inggris itu, 21-17.
Dalam
keadaan tertinggal, dukungan penonton kepada Ihsan malah semakin menjadi-jadi. Teriakan
Indonesia, Indonesia, berpadu irama kompak yang dihasilkan oleh dua balon udara
yang dipukul semakin menggila.
Set kedua dimulai, Ihsan belum juga menemukan titik balik. Seperti set pertama, tunggal nomor
29 dunia itu selalu tertinggal, bahkan hingga mencapai kedudukan 10-6. Sebelum
Rajiv mengunci interval pertama, Ihsan lebih dulu bangkit. Tujuh poin secara
beruntun diberikan secara cuma-cuma kepada Ihsan.
Sejak itu
Ihsan menemukan kepercayaan diri. Poin demi poin berhasil diperoleh hingga
pemain klub Djarum itu mengakhiri perolehan poin sang lawan di angka 12 untuk
memaksa rubber set.
Di set
penentu euforia penonton semakin menjadi-jadi. Pandangan mata pendukung Merah
Putih kompak tertuju ke lapangan satu. Dua partai yang sedang dihelat di
lapangan dua dan tiga kelihatan seperti angin lalu dan pelarian sesaat kala
Ihsan dan Rajiv rehat.
Kebangkitan
Ihsan berlanjut di set penentu. Sempat tertinggal di awal, Ihsan perlahan
tetapi pasti mengejar. Kesalahan sendiri hampir tak terlihat. Ia terlihat
sangat taktis dan tenang menghadapi Rajiv yang kelihatan semakin grogi.
Ketenangan itulah yang menjadi salah satu senjata Ihsan memenangkan
pertandingan dengan skor 21-12.
Ihsan Maulana Mustofa/badmintonindonesia.org
Setelah
Ihsan menang, suasana Istora semakin padat. Bangku-bangku utama hampir terisi
penuh. Hanya menyisahkan deretan kosong di sudut-sudut. Bisa dipastikan sudut
pandang yang tak bagus membuat tempat-tempat tersebut tak dilirik penonton.
Tak lama kemudian di lapangan yang sama muncul Anggia Shitta
Awanda/Ni Ketut Mahadewi Istirani. Keduanya menantang wakil Malaysia Vivian Kah
Mun Hoo/Khe Wei Woon. Dukungan penuh penonton tak banyak berarti. Sempat
membuat sang tetangga ketar-ketir di set kedua, keduanya pun menyerah kalah dua
set langsung 21-14 dan 21-19.
Sebelum keluar
suara dari pemandu acara,seisi Istora tiba-tiba bergemuruh hebat. Nada-nada
tinggi dari para wanita mendominasi. Ada apa gerangan? Tak berapa lama, nama
Jonatan Christie disebut. Saat memasuki lapangan remaja yang karib disapa Jojo
itu diteriaki habis-habisan oleh kaum hawa.
Tak hanya
bakat yang cemerlang, ketampanan Jojo rupanya membuat para wanita jatuh hati. Mendapat
sambutan luar biasa, Jojo tak terpengaruh. Rupanya ia sadar bahwa kehadirannya
di Istora bukan untuk memenangkan hati kaum wanita. Tetapi menghadapi Jan O
Jorgensen, tunggal senior Denmark.
Pemain 18
tahun itu mengawali pertandingan dengan keyakinan yang tinggi. Lebih dulu
mencuri poin dengan smash-smash keras membuat juara Indonesia Open 2014 itu
kewalahan. Set pertama berhasil direbut Jo dengan mudah, 21-14.
Sukses besar
di game pembuka membuat Jojo semakin dielu-elukan. Histeria kaum hawa semakin
hebat saat Jo mengganti baju. Beberapa wanita yang berada di sekeliling saya tak
henti-hentinya memuji sang idola. Saya pun hanya bisa tersenyum.
Di game
kedua, permainan Jo tak berubah. Langsung mencuri dan mengendalikan permainan
sejak awal. Dalam keadaan tertinggal Jorgensen semakin tak tenang. Berkali-kali
pemain 28 tahun itu mengarahkan pandangan ke sudut lapangan, seakan meminta
pertolongan pada sang pelatih.
Tak sampai
di situ, sebelum Jonatan menginjak angka 18, Jorgensen rela melepaskan ‘jimat’
yang melingkar di pergelangan tangannya. Ban tangan yang selalu menjadi ornamen
wajib ditanggalkan begitu saja. Seperti harta berharga yang tak lagi berarti
sama sekali.
Sebagai
pemain senior Jorgensen benar-benar menampilkan senioritasnya. Serangan dari
seisi Istora sama sekali tak melumpuhkannya. Sadar tak bisa melawan dengan
teknik, Jorgensen pun memainkan jurus pamungkas. Provokasi.
Serve tinggi yang diberikan Jonatan menjadi celah
Jorgensen beraksi. Beberapa gerakapan seakan memberi kesan tak puas dengan
kebijakan wasit yang tetap mengabsahkan serve
itu terbukti membuat konsentrasi Jo terbelah.
Selanjutnya
Jorgensen seperti menemukan momentum kebangkitan. Keluar dari tekanan. Sebaliknya
giliran Jojo yang melempem. Tak seperti Jojo sebelumnya. Set kedua pun menjadi
milik Jorgensen.
Di game
penentuan, Jorgensen kian percaya diri. Pemain rangking lima dunia itu balik
mengendalikan permainan. Smash-smash keras dilancarkan. Poin demi poin
diperoleh Jorgensen dengan mudah. Jonatan tertinggal 4-14.
Dukungan penonton
pada Jonatan tak juga kendor. “Jojo bisa…Jojo bisa…” terus bergema. Sang pemain
pun mampu menimba energi positif dari penonton untuk memperkecil ketertinggalan
menjadi 11-15.
Namun,
stamina Jojo kian terkuras. Sangat sulit bagi Jojo untuk meladeni permainan
agresif Jorgensen dalam kondisi fisik yang sudah tak lagi prima. Perolehan poin
salah satu pahlawan Denmark di final Piala Thomas 2016 melaju. Kesalahan demi
kesalahan yang dilakukan Jojo membuat pertandingan di game penentuan berjalan
begitu cepat hingga berakhir dengan skor 14-21 untuk kemenangan Jorgensen.
Tak
henti-hentinya Jorgensen mengepalkan tangan. Mulutnya pun menganga lebar
mengeluarkan patah kata yang tak tertangkap jelas wujud dan artinya karena langsung
ditelan oleh aneka suara penonton yang terpecah. Ada yang melampiaskan
kekecewaan atas kekalahan Jojo. Ada pula yang memberikan reaksi negatif pada
sang pemenang. Setelah pertandingan itu Istora langsung sepi dan senyap. Di luar
sana hari sudah malam. Bisa jadi sudah saatnya bagi para penonton untuk pulang.
Saya masih
sempat menyaksikan satu pertandingan lagi. Sebelum meninggalkan Istora, muncul
pertanyaan dalam diri: apakah besok di partai semi final suasana Istora akan
tetap seperti ini? Dengan hanya satu wakil yang memperebutkan tiket final akankah
Istora tetap menjadi primadona?
Saya
berharap dukungan kepada wakil semata wayang. Ihsan Maulana yang akan menantang
unggulan dua asal Malaysia Lee Chong Wei tak berkurang. Selain untuk
menyemangati satu-satunya harapan, walau peluang menang tipis, setidaknya
predikat sebagai penonton yang sportif dan suportif tetap dipegang hingga partai
pamungkas nanti.
Kontestan semi final berdasarkan negara (@badmintonUpdates)
Jadwal semi final yang disiarkan melalui TV (pertandingan dimulai pukul 13.00 WIB):
Gambar dari @BadmintonUpdates
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 4 Mei 2016.
Comments
Post a Comment