Proyek Baru Guardiola di Eropa Baru Dimulai
Pep Guardiola/Dailymail.co.uk.
Pada kesempatan makan malam dengan utusan pemerintah Catalan
untuk Britania Raya musim lalu, kepada salah satu petinggi Manchester City
ditanya tentang rencana baru mereka bersama Pep Guardiola. Sebagai mantan
pelatih klub raksasa Catalonia, Barcelona, mereka merasa perlu tahu dengan masa
depan pria Spanyol yang telah mewarisi kejayaan di klub itu.
Paling tidak pertanyaan itu mengarah pada jawabat atas
pertanyaan, apakah Guardiola dibeli semata-mata untuk menunjukkan kedigdayaan
finansial City? Apakah Guardiola kembali dimasukkan dalam proyek karbitan untuk
memenuhi rasa lapar dan haus akan gelar seperti terlihat jelas dalam beberapa
tahun terakhir?
Pertanyaan-pertanyaan itu terjawab dalam tulisan singkat Miguel
Delaney, jurnalis ESPN berjudul “Man
City want Pep Guardiola to deliver a legacy as well as Champions League.” Dari judul tersebut sudah tersurat apa
sesungguhnya yang dibutuhkan dan diinginkan Manchester Biru dari Guardiola.
Kehadiran Guardiola di Etihad Stadium tidak pertama-tama
untuk kejayaan semu, seperti terindikasi dengan pembelian bintang-bintang
selama beberapa musim terakhir yang ternyata tak berjalan sesuai harapan. Pelatih
yang terakhir kali menangani Bayern Muenchen itu tidak dibeli untuk meraih trofi di
atas bangunan tim yang rapuh, dan mudah hancur tak lama berselang.
Guardiola diniatkan seperti Guardiola di Barcelona. Sejak
naik kelas dari pelatih Barcelona B pada 2008, Guardiola memberikan andil besar
bagi pembangunan budaya dan karekter tim. Ia membangun tim dari rangkaian
pemain tepat dan pas di setiap posisi sehingga mudah membangun filosofi dan gaya
permainan sendiri.
Bermain cepat, aliran bola dari kaki-ke kaki, selain butuh
skill, juga kerja sama. Kolektivitas dan kekompakkan itulah yang membuat setiap
pemain mampu meredam ego dan menempatkan kepentingan tim di atas segalanya.
Karena itu, membeli pemain bintang adalah pertimbangan kedua, setelah kebutuhan
tim.
Empat tahun Guardiola di Barcelona, kita tidak hanya melihat
Barcelona sebagai tim yang dominan dengan ganjaran gelar-gelar bergengsi.
Melihat Barcelona kita pun melihat filosofi bermain yang khas-yang bisa jadi
tak dimiliki klub lain- yang dengan sendirinya memberi warna baru dan bukan
tidak mungkin pengaruh tersendiri bagi klub-klub lain. Dengan pertimbangan
filosofis tersendiri maka dengan sendirinya Guardiola memberi pengaruh pada
konstelasi pemikiran di setiap bursa trasfer.
Guardiola seperti itulah yang dikehendaki City. Guardiola
yang mampu membangun budaya dan menanamkan dasar yang kuat di kota Manchester. Seperti
dikatakan Delaney, setiap kali berbicara tentang Guardiola, City tidak terlalu
peduli dengan gelar-gelar yang telah ia raih. Mereka juga tidak terlalu risau
dengan peluang kegagalan yang kan membayang-seperti ekpektasi publik yang
meleset saat ia menangani Bayern Muenchen musim sebelumnya.
Toh, tak ada pelatih yang sempurna, yang mampu mengendalikan
dewi fortuna dan menyulap setiap peluang buruk menjadi emas. Dalam dunia
sepakbola, trofi dan kemenangan terkadang tak jauh dari keberuntungan karena
kesalahan satu pemain, karena salah eksekusi satu peluang, karena satu kartu
merah, atau karena satu peluang kecil.
Tak heran sejak kedatangannya di Inggris, Guardiola tidak
langsung royal berbelanja pemain seperti yang terjadi di era sebelumnya. Kita
tidak melihat City yang merogoh kocek dalam-dalam di bursa trasfer musim panas ini.
Dengan cermat ia melihat pos-pos mana yang butuh pembaharuan dan suntikan
tenaga baru. Dengan keberanian pula ia nekat meminggirkan hingga melepas
sejumlah pemain yang telah berada dalam lingkaran status quo. Nyaman dan tak tersentuh.
Joe Hart, Wilfried Bony, Eliaquim Mangala dan Samir Nasri
didepak. Sebagai gantinya Claudio Bravo diboyong dari Barcelona, Ilkay
Guendogan dirayu dari Borussia Dortmund, Leroy Sane dipinang dari Schalke serta
bek John Stones diikat dari Everton. Sejumlah pemain lain yang dipelihara di
masa kepelatihan Manuel Pellegrini sehingga membuat postur tim kelihatan tambun
dilepas dengan berbagai status. Termasuk juga tak kalah mengejutkan, menepikan
Yaya Toure, sosok jangkar yang diandalkan sebelumnya.
Lantas bila demikian maksud utamanya, apakah City tak perlu
gelar musim ini? Seperti disinggung sebelumnya, City tak terlalu risau bila
gagal meraih gelar musim ini. Bahkan Guardiola yang memiliki tangan dingin tak
dibebankan target gelar, apalagi trofi Liga Champions. Bila sampai City mampu
berbicara lebih jauh adalah bonus awal yang besar kemungkinan seperti jalan
kesuksesan Chelsea pada 2012.
City lebih mengincar tujuan jangka panjang dengan fondasi
kokoh yang telah ditanam Guardiola. Dengan struktur dan postur tim yang kuat
dalam lindungan iklim klub yang mendukung, maka City lebih siap bersaing secara konsisten dengan
tim-tim besar lainnya baik di level domestik maupun Eropa.
Secara matematis pertimbangan jangka panjang di kancah Eropa bisa seperti
ini. Pada awal musim 2018/2019, Lionel Messi akan berumur 31 tahun sementara
Cristiano Ronaldo 33 tahun. Ikon sekaligus tulang punggung dua raksasa Eropa,
Barcelona dan Real Madrid,yang selama ini diandalkan dan menjadi momok bagi
tim-tim lawan, perlahan-lahan kehilangan taji. Saat itulah rezim Guardiola
mengambil alih kejayaan.
Apakah skenario ini akan berhasil baik? Waktu yang akan menjawab. Setidaknya harapan
positif itu sudah mulai terlihat sejak awal kompetisi di pentas domestik,
hingga kemenangan heroik atas tim Jose Mourinho di derby Manchester beberapa
waktu lalu. Selanjutnya, kita akan melihat awal proyek baru Guardiola di pentas
Eropa, saat ditempa di penyisihan grup C Liga Champions, menghadapi Borussia
Monchengladbach tengah pekan ini, selanjutnya Celtic dan “jodohnya” Barcelona.
Pembagian grup Liga Champions 2016/2017:
gambar dari ESPNFCASIA.com.
Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 13 September 2016.
Comments
Post a Comment