Merah Putih di Lembaran Sejarah Dato Lee Chong Wei

Lee Chong Wei, juara tunggal putra Jepang Terbuka 2016/@LeeChongWei

Tua-tua keladi, makin tua makin menjadi. Demikian peribahasa yang sekiranya pas disematkan kepada sosok Dato Lee Chong Wei. Di usia 33 tahun, tepatnya menjelang 34 tahun pada 21 Oktober nanti, pendulum kiprah pebulutangkis kebanggaan Malaysia ini malah bergerak berlawanan dengan arus umum. Saat satu per satu pemain senior mulai berguguran, bahkan akhirnya memutuskan gantung raket,Sang Dato malah kian moncer.

Pencapaian di Jepang Terbuka yang baru saja usai menjadi bukti terkini.  Diajak Jan O Jorgensen bermain tiga set, Lee tak gentar. Dalam tempo 1 jam dan 10 menit, Lee menggagalkan asa tunggal senior Denmark itu untuk naik podium juara. Lee menang 21-18 15-21 dan 21-16.

Bukan kali ini saja suami mantan tunggal putri Malaysia Wong Mew Choo itu berjaya di turnamen level super series itu. Ini merupakan gelar keenam, sekaligus terbanyak sepanjang sejarah pagelaran itu. Sebelumya Lee naik podium utama pada 2007, 2010, 2012, 2013 dan 2014. Jumlah gelar Lee  dua kali lipat dibanding kawan seangkatan sekaligus seteru abadi dari Tiongkok, Lin Dan yang meraih gelar pada 2005, 2006 dan 2015.

Sebelum juara di Jepang Terbuka, Lee tampil baik di Olimpiade Rio pada Agustus lalu. Menyingkirkan sejumlah unggulan, termasuk menjungkalkan Super Dan yang berstatus juara bertahan untuk menggapai partai pamungkas menunjukkan bahwa Lee masih bertaji. Sayang di partai final Lee gagal lagi, seperti dua edisi Olimpiade sebelumnya.

Tiga kali beruntun tampil di partai puncak ajang multievent terakbar itu, Lee harus memendam kekecewaan lantaran berakhir dengan medali perak. Ia kalah straight set dari  jagoan Tiongkok lainnya, Chen Long, 21-18, 21-18. Namun, hasil tersebut tak menggodanya untuk segera berkata cukup.

Titik balik
Lee mulai berkarir sejak 2002. Dalam lembaran sejarah karirnya, nama Mohmed Misbun bin Mohd Sidek pasti mendapat tempat tersendiri. Mantan legenda Harimau Malaysia dengan nama panggilan Misbun Sidek itu pertama kali mencium bakat besar Lee. Sejak usia 17 tahun saudara sekaligus eks pelatih mantan pebulutangkis kawakan Malaysia lainnya, Rashid Sidek itu menempat Lee di tim nasional hingga perlahan tapi pasti berkembang menjadi pemain hebat.

Di tangan Misbun, selanjutnya diteruskan oleh Tey Seu Bock dan Rashid, Lee dan para pemain tunggal putra Malaysia ditempa dan dibesarkan. Tak kurang dari 65 gelar menghuni lemari prestasi ayah dari  Kingston dan Terrance itu.

Namun, di balik kibaran nama besar Lee saat ini, ada sosok penting lainnya. Dia adalah Hendrawan. Mantan tunggal putra Indonesia itu menjadi sosok kunci yang membangkitkan Lee setelah bebas dari jerat  doping pada  Mei 2015.

Bersama  Tey Seu Bock, Hendrawan mendampingi Lee-yang tersanksi doping sejak  September 2014- berjuang dari posisi 100-an dunia. Hebatnya, dalam kurun waktu tak kurang dari 14 bulan, Lee kembali ke jajaran elit dunia.

Mula-mula menjuarai Malaysia Open Super Series Premier, titik balik Lee disempurnakan di Indonesia Open Super Series Premier pada Juni 2016. Lee naik podium utama di Istora Senayan usai menjungkalkan Jan O Jorgensen dalam pertarungan tiga game, 17-21 21-19 dan 21-17.

Kemenangan itu tak hanya menyamai catatan sejumlah legenda bulu tangkis Indonesia seperti Taufik Hidayat dan Ardy Wiranata, yang sama-sama mengemas enam gelar juara.  Tambahan 11 ribu poin lebih dari cukup menggeser Chen Long dari puncak tangga dunia. Dan kemenangan di Jepang Terbuka belum lama ini mempertegas statusnya sebagai tunggal putra terbaik dunia saat ini.

Sebelum memberikan tongkat estafet kepelatihan kepada Hendrawan cs, Misbun seperti dikutip dari www.badmintonplanet.com, dengan tegas mengakui bahwa di tangannya Lee telah menjadi pemain terbaik dunia dan Lee akan terus mempertahankannya meski di bawah arahan pelatih lain.

"Ketika saya meninggalkan Chong Wei, dia sudah menjadi pemain nomor satu dunia. Dia berhasil menjaga peringkat bahkan setelah orang lain mengambil alih sebagai pelatih."

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa keandalan Lee menjadi faktor utama yang membuatnya mampu menjaga status tersebut. Dengan kata lain, walau berganti pelatih, Lee tetap bersikap profesional, dan benar-benar menjaga keunggulan itu.

Namun, kesuksesan Lee sama sekali tak bisa meremehkan peran orang-orang di belakangnya. Tak terhitung berapa banyak pihak yang ikut campur menjaga kebugarannya. Demikianpun tak bisa menafikan siapa saja yang ikut campur menjaga spirit bertanding dan mood berkompetisi serta sorakan penyemangat yang membuatnya seakan tak kehabisan energi. Pada titik ini sosok seperti Hendrawan tak bisa diabaikan.

Sebelum kontrak Hendrawan berakhir pada akhir tahun ini, Lee dengan tegas membantah berbagai spekulasi bahwa kontrak sang pelatih tidak akan diperpanjang. Terbukti, Federasi Bulutangkis Malaysia (BAM) akhirnya merestui keinginan Lee untuk tetap bersama Hendrawan dan tim nasional Malaysia hingga dua tahun ke depan.

Tujuh tahun di Malaysia bukan waktu  yang singkat dan karena itu Malaysia pun sangat berutang budi pada peraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan Juara Dunia 2001. Selain mendampingi Lee, ia juga perperan dalam mengasah tunggal masa depan Malaysia lainnya seperti Iskandar Zulkarnain and Tan Kian Ming.

Bahkan kepada Hendrawan, Malaysia kini menaruh harapan agar ia bisa melahirkan, setidaknya satu penerus Chong Wei. Tak tanggung-tanggung, kepada Hendrawan, BAM menargetkan medali emas di Olimpiade Tokyo 2020 nanti.

“Hendrawan harus bekerja untuk menciptakan satu lagi Chong Wei untuk memastikan pemain bisa menjadi pesaing kuat untuk medali emas Olimpiade,"tegas Misbun.
Hendrawan dan Lee Chong Wei/www.utusan.com.my

Ironi
Hendrawan mendapat tempat tersendiri di jagad bulu tangkis negeri tetangga. Di sana ia dipuja-puji. Kita pun tak kurang alasan untuk tidak merasa tersanjung.

Namun kondisi bulu tangkis dalam negeri sedang membutuhkan perbaikan serius. Mendengar Hendrawan berkibar di Malaysia hati kita seperti tersayat. Mengapa ia lebih memilih mengasah dan mengembangkan bulu tangkis tetangga sementara kita sedang berjuang merebut supremasi?

Entah mengapa Hendrawan begitu betah di Negeri Jiran. Konon kabarnya ia pernah dipanggil pulang saat Gita Wirjawan mulai menahkodai PBSI. Hanya Hendrawan dan induk organisasi bulu tangkis tanah air itu yang tahu mengapa ajakan tersebut bertepuk sebelah tangan.

Belum lama ini satu pelatih berhasil dibujuk pulang kampung. Meski prestasinya sebagai atlet tak secemerlang Hendrawan, nama Irwansyah cukup dikenal di sejumlah negara Eropa seperti Cyprus, Inggris dan Irlandia. 

Setelah 15 tahun berkarir di mancanegara, kini Irwansyah mendampingi Hendry Saputra menangani tunggal putra pelatnas. Di tangan mereka masa depan sektor tersebut digantung. Ditambah lagi saat ini Indonesia sudah memiliki bibit unggul dalam diri Jonatan Christie, Anthony Sinisuka Ginting, Ihsan Maulana Mustofa dan Firman Abdul Kholik.

Tiga nama yang disebut pertama kini berada di lingkaran 38 besar dunia. Mereka pun digadang-gadang sebagai penerus tunggal putra senior PBSI, Tommy Sugiarto dan pemain senior non pelatnas yang belum kehilangan semangat, Sony Dwi Kuncoro.  Namun sejauh mana mereka mengembangkan sayap prestasi, peran penting pelatih tak bisa disepelehkan.


Kita berharap jejak Irwansyah bisa diikuti oleh pelatih-pelatih lainnya yang masih berkarir di mancanegara. Terutama di sektor putri yang benar-benar membutuhkan reformasi teknis dan paradigmatis. Teknik dan metode kepelatihan, serta cara pembibitan tampaknya butuh pembaharuan. Seperti apa cara terbaik memanggil pulang mereka, apakah masih perlu kita bertanya pada rumput yang bergoyang? 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 26 September 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Menulis Terus Sampai Jauh...

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing