Toure dan Schweinsteiger, Dibayar Mahal untuk Tidak Bermain?

Toure dan Guardiola/Dailymail.co.uk

Secara ekonomis mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak produktif jelas merugikan. Siapa yang mau merogoh kocek untuk hal yang tidak memberikan nilai tambah tertentu? Beramal, atau sumbangan sukarela, barangkali. Namun, tidak dalam dunia bisnis.

Namun dalam dunia sepak bola prinsip ekonomi itu tak selalu berlaku. Terkadang dengan sengaja dilanggar seperti dalam kasus Yaya Toure dan Bastian Schweinsteiger. Sejak suksesi kepelatihan di Manchester City dan Manchester United terjadi di awal musim ini, keduanya lebih banyak, atau selalu, dibangkucadangkan.

Pelatih baru City, Pep Guardiola enggan menggunakan tenaga Toure. Bahkan nasib pemain internasiol Pantai Gading itu setali tiga uang dengan beberapa pemain bintang The Citizen yang kemudian dibuang ke luar dari Etihad Stadium, seperti Joe Hart dan Samir Nasri.

Bahkan eks pelatih Barcelona dan Bayern Muenchen itu hakulyakin mencoret pria 33 tahun itu dari daftar skuad untuk Liga Champions musim ini. Belum lama ini dengan sengaja Guardiola tak menyertakan saudara Kolo Toure itu dalam sesi pemotretan skuad City.

Nasib serupa dialami pula Schweinsteiger. Sejak Jose Mourinho menyebrang dari Stamford Bridge, kandang Chelsea menuju Old Trafford, Schweini, sapaan manis Schweinsteiger, langsung dicoret dari rencana besarnya membangun Setan Merah.

Pada salah satu kesempatan, Mourinho langsung meramal bahwa gelandang 32 tahun itu sangat sulit mendapat tempat di United. Artinya, tak ada pilihan lain bagi mantan kapten timnas Jerman itu, bila ingin terus merumput, selain angkat kaki.

Mourinho tampaknya berbeda rencana dengan pendahulunya Louis van Gaal yang ngebet menggoda Schweini untuk meninggalkan segala kemapanan di Allianz Arena. Bila kita mengingat proses transfer pemain berambut pirang itu pada musim panas lalu, masih sulit kita lupakan betapa dramatis dan melankolisnya suasana saat itu. Kepergian Schweini diiringi ratap dan sesal segenap pemain Bayern Muenchen kala itu.
Statistik penampilan kedua pemain musim ini/BBC.co.uk

Namun yang terjadi kini, setalah setahun berlalu, sosok yang melenggenda di Jerman itu seakan kehilangan nama. Mou lebih tertarik dengan “mainan” barunya seperti Zlatan Ibrahimovic, Paul Pogba dan Henrikh Mkhitaryan-yang karena itu turut mengubah formasi tim. Memberikan peran baru pada sang kapten Wayne Rooney-yang sekarang tengah mengalami krisis kepercayaan-dan pemain muda Marcus Rashford semakin menyingkirkan nama Schweini dari daftar.

Tim yang sedang menjadi pusat sorotan tentu saja lebih banyak menyerap konsentrasi dan fokus  Mou ketimbang memikirkan nasib Schweini seorang. Apalah arti Schweini bagi tim impian yang sedang dibangun?  Masa depan klub secara keseluruhan jauh lebih penting ketimbang karir Schweini. Seperti laporan Dailymail.co.uk belum lama ini bahwa pemenang Piala Dunia 2014 itu tak lagi  masuk daftar aset klub.

Seperti Toure yang terdepak dari pentas Eropa, Schweini pun demikian. Saat rekan-rekannya berjibaku di penyisihan grup Liga Europa di markas Feyenoord, ia ditinggal sendiri di Manchester. Bedanya, rekan-rekannya tertunduk malu di kandang lawan setelah  pencetak gol semata wayang Wilhena memperdaya David De Gea, Schweini tengah bersantai ria menikmati romantisme sebagai pengantin baru bersama petenis jelita Ana Ivanovic di lapangan golf. Bila saja Mou tahu apa yang dilakoni Schweini kala itu, bisa dipastikan tak ada sesuatu yang lebih istimewa untuk dikomentari.

Di balik masa-masa suram yang tengah dialami kedua pemain itu, anomali prinsip ekonomi itu berlaku. Gaji yang diterima keduanya tak mengalami kekurangan sedikitpun. Bayaran 225.000 poundsterling tetap mengalir ke rekening  Toure saban pekan. Sementara upah yang diterima Schweini dalam jangkawa waktu yang sama tak kurang dari 80.000 poundsterling.

Bila dikalkulasi, dalam posisi tak bermain, untuk 10 bulan tersisa sebelum masa kontrak empat tahun berakhir, pemain jangkung itu akan mendapat 10 juta poundsterling atau setara Rp 169,126 miliar. Seandainya keduanya bertahan hingga akhir 2017, maka pengeluaran untuk gaji mereka menginjak angka 20 juta poundsterling atau sama dengan Rp 338,25 miliar.
Schweinsteger dan istrinya Ana bermain golf saat skuad United lainnya tampil di penyisihan grup Liga Europa di markas Feyenoord/Dailymail.co.uk.

Nominal tersebut tampaknya tak berlebihan untuk kedua pemain besar itu. Siapa yang tidak mengenal dan mengakui prestasi mereka selama ini. Memenangkan 14 gelar liga, dua gelar Liga Champions, Piala Dunia dan Piala Afrika, tampaknya lebih dari cukup untuk mendapatkan bayaran tinggi.

Menghargai prestasi dan kualitas mereka, sejak tahun ini hingga 30 Juni lalu, gaji Schweini menggelembungkan gaji untuk seluruh anggota tim United sebesar 4,5 %. Sementara itu, pada 31 Mei 2015, gaji Toure menyerap 5,1 % dari total tagihan upah The Citizen. 

Namun dengan bayaran yang stabil sebesar itu untuk 13 kali penampilan Schhweini dengan lima dari antaranya sebagai pemain pengganti sungguh tidak adil. Apalagi untuk sosok sekaliber Toure dengan upah yang begitu tinggi namun baru sekali tampil yakni di babak playoff Liga Champions menghadapi Steau Bucharest pada akhir Agustus lalu.

Belum laga dengan  prospek mereka yang bakal semakin buram, paling banter mendapat satu-dua kesempatan tampil di pentas domestik, hingga masa kontrak berakhir atau dilepas sebagai pemain gratisan, kehadiran mereka tak ubahnya pekerja yang mendapat gaji secara “buta”. “Makan gaji buta”, demikian kita mengistilahkannya. Dengan istilah lain, keduanya dibayar untuk tidak bermain.
Membaca situasi keduanya secara lurus dengan logika ekonomi, jelas aneh. Namun menurut ahli keuangan Kevin Roberts, pendiri Sport Business Group, konsep membayar pemain yang tidak bermain tidaklah seaneh yang dibayangkan.

"Jika Anda melihat sebuah klub sepak bola secara ketat sebagai bisnis dan pemainnya sebagai aset, hal itu tidak begitu aneh sama sekali," ungkapnya seperti dikutip dari BBC.co.uk.

Menurutnya fenomena kedua pemain hebat itu bisa dianalogikan seperti investasi perusahaan pada teknologi atau mesin yang kemudian menjadi usang, atau disusul kemajuannya. Perusahaan tidak memiliki pilihan lain selain mengeluarkan banyak uang untuk membeli barang baru untuk menggantikan yang lama atau memindahkannya ke suatu tempat sampai perusahaan tersebut memutuskan apa yang harus dilakukan dengan barang-barang tersebut.

“Pada dasarnya itulah yang telah terjadi di sini, meskipun kita jelas berbicara tentang manusia dan siuasi yang jauh lebih emosional,”simpulnya.

Ya, benar, sekalipun Toure dan Schweini tak lebih dari aset dalam industri raksasa sepak bola, keduanya tetaplah berbeda. Tak bisa menyamakan mereka dengan benda mati yang mudah dicampakkan begitu saja dan diganti yang baru.

Meski kantong keduanya tak bakal kempis karena dicadangkan berbulan-bulan, jelas mereka tak menerimanya sebagai berkah. Mendapat bayaran dengan tanpa  mengeluarkan keringat sedikitpun pasti menjengkelkan. Malah bisa dimaknai sebagai bentuk pelecehan mengingat bayaran setinggi itu tak hanya merupakan ganjaran atas prestasi yang telah ditorehkan, namun juga bayaran yang menuntut pembuktian dan pertangungjawaban.

Tak heran bila menepinya kedua pemain itu menuai aneka reaksi. Dari kubu Toure misalnya, sang agen, Dimitri Seluk yang disinyalir menjadi sebab menepinya Toure, marah besar. Bahkan ayah Toure sampai ikut campur meminta Pep kembali memberikan tempat kepada sang putra.

Keduanya seperti tak rela Toure dibuang. Selain telah melegenda bersama Manchester Biru sejak 2010, Toure juga telah memberikan andil untuk dua gelar Liga Primer Inggris (2012, 2014), Piala FA (2011), dua gelar Piala Liga (2014, 2016), dan Community Shield (2015), sehingga terlalu hina dibuang begitu saja.
Seluk dan Toure bersama trofi Liga Champions saat masih bersama Barcelona/Dailymail.co.uk

"Bagi saya, hal yang sangat aneh (terjadi) di Manchester City karena Yaya bermain dengan mereka bertahun-tahun, (Joe) Hart bermain dengan mereka bertahun-tahun, saya tidak tahu, (Vincent) Kompany bermain bertahun-tahun, dan (ia) datang sebagai pelatih baru dan mengatakan, 'Oke, pemain ini keluar seperti anjing',” celoteh Seluk, asal Ukraina itu.


Well,  sekeras apapun protes dilancarkan, tetap saja otoritas di tangan setiap pelatih. Tak peduli seperti apa masa lalu dan prestasi mereka dan seberapa besar ongkos yang telah dan akan terus dikeluarkan. Seperti Kevin Roberts katakan di atas, seorang pemain sesungguhnya tak lebih dari sebongkah mesin yang siap dibuang atau diganti kapan saja. 

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 27 September 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...