NOKAS, Melihat Timur dari Timur

 Foto: Istimewa/Youngsters.id

Kemerdekaan Indonesia yang telah memasuki dekade kedelapan, hemat saya, belum sepenuhnya membebaskan kita dari prasangka dikotomis Timur dan Barat atau Jawa dan luar Jawa. Meminjam paradigma postkolonial Edward Said,  Jawa masih dilihat sebagai sentrum atau oksidental sementara luar Jawa sebagai periferi atau oriental. Jawa diperlakukan sebagai pusat segala-galanya sehingga identik dengan kemajuan dan kemakmuran. Sementara Timur adalah wilayah abangan yang dilumuri atribut miring dan miris: keterbelakangan, ketertinggalan, kemiskinan, dan sebagainya.

Dikotomi tersebut jauh lebih terasa dan karena itu sangat menyayat hati, ketika menyertakan anggapan apriori bernada primordial. Jawa berarti unggul, utama dan nomor satu. Tendensi itu tak hanya soal kebijakan pembangunan, lebih dari itu, soal sikap dan persepsi.

Soal sikap dan cara bersikap adalah persoalan subjektif sehingga tidak bisa dijadikan alasan baik untuk membenarkan atau menegasikan prasangka itu. Urusan hati dan isi kepala tak ada yang bisa mengukur, sehingga bisa mengkonklusinya secara pasti. Namun perlu ditegaskan bila masih ada persepsi seperti itu, dengan tanpa perlu banyak alasan, selayaknya dibongkar, dan didekonstruksi untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, dan membentuk sikap yang benar, sebenar pernyataan bahwa tak ada yang lebih istimewa dari antara setiap makhluk yang berdiam di bawah lindungan Ibu Pertiwi. Di mana kita berada, jati diri kita tetap utuh-padu, dan tak pernah bisa direduksi dan digradasi oleh apapun dan oleh siapapun. 

Selain itu mengawetkan cara pandang dan cara bersikap bipolar seperti itu jelas-jelas bertentangan dengan semangat kebhinekaan, juga amat membahayakan ikatan ke”ika”an. Kemerdekaan sejak  71 tahun silam adalah antitesis kolonialisme yang sejatinya kita rawat dan pelihara bersama.

Namun demikian kita masih harus melewati jalan pembebasan yang panjang. Pada tataran tertentu kenyataan tersebut masih terpelihara. Derap pembangunan Jawa jauh meninggalkan wilayah-wilayah lain di Nusantara. “Kue” pembangunan lebih banyak beredar di Pulau Jawa, ketimbang wilayah-wilayah di luarnya yang sekadar mendapat “remah-remah” dari meja tuan yang berkuasa. Ekses yang dihadapi pun mengular panjang.

Dengan tanpa bermaksud memperuncing pembedaan itu, kehadiran NOKAS, film dokumenter karya sineas muda Nusa Tenggara Timur (NTT) Manuel Alberto Maia, memperlihatkan salah satu sisi buram itu. Berbeda dengan film-film lainnya bertema NTT yang diangkat dan digarap oleh sineas “luar”, NOKAS adalah produk yang lahir dari pengamatan dan ada bersama secara langsung oleh “orang dalam,” orang NTT sendiri.

Selama tiga tahun proses penggarapan, dengan bantuan alumni Eagle Awards yang cukup piawai di jagad film dokumenter, Shalahuddin Siregar,  Abe-sapaan akrabnya-menghadirkan kisah hidup dan cerita kasih seorang pemuda bernama Nokas (kemudian dipakai sebagai judul film).

Cerita bermula dari pertemuan Abe dan Nokas pada April 2013. Latar belakangnya sebagai petani muda yang lanjang menggelitik Abe. Nokas adalah anomali kaum muda NTT. Tak banyak memang anak muda NTT umumnya dan Kupang khususnya yang mau berkarib dengan dunia pertanian. Alih-alih memilih bertani, menurut Abe “Kebanyakan anak muda Kupang lebih memilih menjadi perantau ataupun nongkrong di tempat biliard yang bersebaran hampir di setiap gang.”
 Manuel Alberto Maia/http://www.rri.co.id

Bertani di Kupang yang beriklim panas dan bertopografi karang-tandus jelas bukan perkara mudah. Namun tidaklah semudah membalikkan telapak tangan untuk berkata tidak pada pertanian. Ironisnya tak sedikit wilayah lain di NTT  dianugerahi alam yang subur dengan potensi pertanian yang melimpah, namun kurang terurus.

NTT tidak hanya terbengkalai dari segi pertanian. Sektor-sektor lain seperti pariwisata pun setali tiga uang. Tak heran bila kemudian hadir orang-orang dari luar NTT dengan dan atas berbagai cara menjamah dan menggarap potensi-potensi itu. Protes dan penolakkan terhadap penguasaan aset dan sumber daya akhirnya mengemuka oleh sebagian kalangan orang NTT sendiri. Namun suara protes itu tampak lebih sebagai pukulan balik yang mendarat telak di ruang kesadaran setiap orang NTT, terutama kaum muda.

Dalam perjalanan setelah delapan bulan melakukan riset, Abe mendapati kompleksita kehidupan Nokas terkait urusan asmara. Film pun difokuskan untuk mendalami labirin perjuangan cinta Nokas (27 tahun) untuk menikahi kekasih hati, seorang gadis Timor bernama Ci. Sehari-hari Ci bekerja bekerja di rumah pemotongan hewan di Sumili, Kupang.

Budaya NTT umumnya belum sepenuhnya lepas dari urusan mahar atau belis. Tidak gampang menikahi anak gadis NTT. Sederet ritus dan ritual adat harus dijalani dengan aneka tuntutan dan kebutuhan. Tak pelak biaya sebuah pernikahan sejak tahap awal hingga naik ke pelaminan di sana cukup “wah”.
Salah satu adegan dalam film NOKAS/http://kupang.tribunnews.com.

Bagi Nokas perjuangan cinta itu menuntutnya untuk mengatasi keterbatasan finansial. Cintanya kepada Ci harus dipertanggungjawabkan dengan belis yang ditentukan keluarga wanita. Selaian mahar yang tak bisa ditawar-tawar, Nokas pun harus menanggung biaya pernikahan yang akan berlangsung di dua tempat. Sebagai seorang petani sederhana dengan latar belakang keluarga miskin jelas bukan urusan gampang. Di sini Abe memanggungkan Nokas yang “cinta mati” pada Ci, namun harus berjuang mati-matian untuk menikahinya.

Secara tematik Abe mengangkat realita aktual. Kenyataan seperti disinggung di atas masih menjadi menu harian masyarakat NTT, meski perlahan-lahan terutama dalam urusan perkawinan mulai mengalami perubahan. Urusan adat menjadi lebih rasional dan sederhana. Salah satu sebab lantaran pola pikir dan kesadaran masyarakat mulai berubah seiring kemajuan tingkat pendidikan.

Terlepas dari kualitas sinematik film tersebut, kehadiran NOKAS berbicara banyak hal. Tidak hanya tentang NTT hari ini, juga tentang orang NTT di jagad film saat ini.

Abe bukan yang pertama yang berbicara tentang NTT. Ia pun bukan baru pertama mengangkat sisi lain NTT. Berbeda dengan dua fim pendek yang sudah dibuat yakni Kaos Kupang (8 menit) dan Kabar Dari Medan (12 Menit), dapat dikatakan ini merupakan karya fenomenal pertamanya. Ia pun yang pertama sebagai orang NTT yang berhasil membawa masalah NTT ke panggung internasional.
Shalahuddin Siregar yang terkenal dengan film Negeri di Bawah Kabut. mengaku, "Banyak film yang diproduksi di luar Jawa, tetapi oleh pembuat film dari Jawa dengan sudut pandang Jawa. Sedikit sekali pembuat film dari luar Jawa yang 'suaranya' bisa terdengar di tingkat nasional, apalagi internasional.

Patut dicatat, NOKAS merupakan salah satu film yang terpilih untuk diputar perdana (world premier) di ajang Eurasia International Film Festival (EIFF) 2016 yang berlangsung pada 24 – 30 September 2016 di Astana, Kazakhstan.

EIFF, festival film internasional yang digagas National Academy of Cinema Arts and Science dan Kementerian Kebudayaan dan Olahraga Republik Kazakhstan merupakan salah satu festival film yang terbesar di Kazakhstan dan Asia Tengah.

Walau EIFF tak sebeken festival film Cannes, namun NOKAS telah lolos seleksi di level internasional dan akan bersaing dengan film-film dari Eropa, Amerika dan Asia di kategori Eurasia Docs. Beberapa pesaing Nokas antara lain Weiner (Amerika Serikat), The Farewell Tour (Kyrgyzstan & Estonia), Exotica Erotica Etc. (Prancis) dan Fire at Sea (Italia & Prancis karya Gianfranco Rossi).
Seturut kabar dari laman resmi EIFF (http://eurasiaiff.com/nokas/), Nokas sudah tayang perdana pada Senin, 26 September pukul 11.00 waktu setempat di Kinopark 11.Selanjutnya akan tayang di tanah air sejak awal tahun depan.

Selain mengharapkan kesuksesan Nokas di pentas internasional, Abe dan film-nya itu diharapkan membuka jalan bagi sineas-sineas lain dari NTT. 76 menit yang ditayangkan Abe jauh dari kata cukup. Masih banyak persoalan pelik di NTT khususnya yang belum tertangani sehingga butuh lebih banyak mata, telinga, dan hati sineas-sineas NTT lainnya. Film dengan segala kelebihannya bisa menjadi alternatif untuk memanggungkan kenyataan, mengurai labirin persoalan dan membongkar prasangka. Tentu, berbicara tentang semua itu oleh orang NTT sendiri akan jauh lebih mengena.

Namun, seperti film tanah air umumnya yang masih menjadi urusan kaum elit, tantangan yang dihadapi para sineas NTT ke depan bakal lebih pelik. Mereka tak bisa berjalan sendiri, seperti tersirat dalam pernyataan Shalahuddin Siregar, “Persoalannya adalah perkembangan produksi film ini masih membutuhkan dukungan infrastruktur lain selain teknologi, yaitu dana, jaringan dan keahlian.” 

Proficiat Nokas dan selamat datang sineas NTT.  

N.B
NOKAS
Durasi: 76 menit
Bahasa: Helong dan Indonesia dengan terjemahan Inggris dan Rusia.
Director: MANUEL ALBERTO MAIA
Producer: SHALAHUDDIN SIREGAR
Cinematographer: MANUEL ALBERTO MAIA
Editor: SHALAHUDDIN SIREGAR

Cast: LAASAR TAKLALE, ERNA NORWACI TAKLALE-HANAS, ZELAITIAL NOKAS TAKLALE, ATALYA TAKLALE

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Kompasiana, 28 September 2016.

Comments

Popular posts from this blog

Menjaga Rantai Juara Indonesia di Singapura Open SS 2016

Millennial Marzukiana, Strategi “Proxy War” Ananda Sukarlan untuk Bang Maing

Menulis Terus Sampai Jauh...